Kamis, 06 Maret 2008

Kemiskinan di Kampung Masiran...

WAKTU seperti berhenti di Kampung Masiran. Tidak ada bising kendaraan dan kesibukan kota, apalagi polusi udara. Yang ada hanya deret pohon kelapa, para pembuat sapu lidi, dan kemiskinan…

Lepas tengah hari, ruas Jalan Galang Batang tiba-tiba menjadi teka-teki. Tak ada penunjuk jalan yang pasti kecuali kubangan-kubangan raksasa bekas penggalian pasir. Setiap bertanya ke penduduk di mana letak Kampung Masiran, arah penunjuk jalan yang mereka gunakan adalah danau-danau bekas galian pasir itu. Padahal mungkin ada puluhan danau di situ, yang bentuknya nyaris sama dan luasnya rata-rata lebih dari dua kali lapangan sepak bola.

Namun pencarian kampung yang terkenal karena kemiskinannya itu berakhir di sebuah persimpangan jalan berpasir yang di sudutnya berdiri sebuah pos jaga. Rudi Hartono, anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) Galang Batang, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan siang itu baru pulang dari kantornya yang berjarak sekitar delapan kilometer dari persimpangan itu.

“Mari ikut di belakang saya,” kata Rudi bersahabat. Dua kilometer jalan tanah merah pun kemudian dilalui, hingga sampai pada rumah pertama. Di tengah jalan tadi, Rudi sempat berhenti untuk memberikan boncengan pada Vina dan Fida, dua gadis kecil dari Kampung Masiran yang sekolah di sebuah SD di Kangka, sekitar delapan kilometer dari kampung itu.

“Mereka tiap hari seperti itu. Kalau tak ada orang jemput, mereka numpang kendaraan yang lewat sampai simpang. Setelah itu jalan kaki dua kilometer ke kampung,” kata Rudi usai memarkir sepeda motor buatan Jepang di halaman rumah panggung miliknya.
Vina dan Fida relatif masih beruntung, karena masih bisa mengenyam bangku sekolah. Tapi sampai ke jenjang pendidikan yang mana mereka bisa tempuh, masih jadi teka-teki. Kawan-kawan Vina dan Fida banyak yang putus sekolah. Bahkan ada yang sama sekali tidak pernah bangun pagi dan merasakan nikmatnya pakai sepatu baru berangkat ke sekolah.

Kampung dengan penduduk sekitar 37 kepala keluarga, atau lebih dari 100 jiwa itu memiliki tradisi pendidikan yang buram. Puluhan tahun, dari generasi berganti generasi, dari mulai sekolah bayar sampai biaya sekolah menjadi agak ringan karena ada dana bantuan operasional sekolah (BOS), baru ada satu penduduk asli kampung itu yang bisa menyelesaikan bangu madrasah tswanawiyah (MTs), setingkat SMP. Selebihnya, terpaksa berkubang dengan keringat menjadi nelayan, buruh bangunan, atau merantau ke Tanjungpinang yang juga kadang tak bisa memberikan mereka pekerjaan yang layak.
Maka hanya Syamsul Bahri-lah yang kemudian berhasil mengukir namanya di selembar ijazah MTs. Ia putra Ibu Rustati, seorang wanita berusia lebih dari 50 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai pembuat sapu lidi dari daun kelapa. Setelah Syamsul Bahri tamat, tidak ada lagi pemuda kampung yang ikut jejaknya.

Bahkan untuk Iwan kecil, seorang bocah kampung lainnya, tak pernah sekali pun merasakan nikmatnya mengeja “ini Budi dan ini ibu Budi”. Yang ia kenal hanyalah kambing-kambing tetangga yang saban hari kandangnya ia bersihkan. Dari sanalah ia mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membantu ayah ibunya yang telah renta.
Iwan tak bisa baca tulis, termasuk tak tahu umurnya kini sudah berapa. Saat ditanya persoalan itu, keningnya mengernyit. Pertanyaan umur adalah pertanyaan pelik bagi anak kampung seperti Iwan. “Kami sangat berharap ada program Kejar Paket A untuk anak-anak putus sekolah di kampung ini,” kata Rudy.

Memang, sejak beberapa bulan lalu, sudah digelar program Paket A untuk warga kampung. Namun itu masih sebatas untuk para orangtua saja. Sementara jumlah anak putus sekolah di kampung itu ada belasan.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bintan Ismail yang dikonfirmasi melalui ponselnya mengatakan bahwa sangat mungkin program Paket A maupun B untuk anak putus sekolah digelar di kampung itu. Saat ini, kata Ismail, pihaknya sedangmelakukan pendataan melalui kecamatan. “Sekitar Juni nanti programnya sudah bisa berjalan,” kata Ismail lagi.

Namun, untuk Kampung Masiran, sepengetahuan Rudi, sampai saat ini belum ada pendataan anak-anak putus sekolah. Ia begitu berharap, Juni nanti akan ada tenaga pengajar yang datang ke kampung itu untuk mengajari anak kampung baca-tulis.

Hidup dari Batangan Sapu Lidi

MUSIM angin utara yang terus berlangsung sejak November lalu menyurutkan warga Masiran untuk turun ke laut. Kini, mereka hanya mengais rezeki sebagai pembuat sapu lidi dari daun kelapa.

Bagi anak-anak sekolah, sapu lidi dari daun kelapa mungkin hanya sekedar pra karya menjelang kenaikan kelas. Tapi bagi Nyonya Sunah, Pakcik Kube, atau Nyonya Rustati, sapu lidi itu kemudian adalah sandaran hidup.

Petang yang semakin dekat di Kampung Masiran Rabu (27/2) kemarin dilalui Sunah (52) dengan memotong daun kelapa. Dari tiap helai daun itu, ia mengambil batang kecilnya, yang kemudian satu persatu dikumpulkan dan diikat hingga menjadi sapu lidi. “Sejak pagi hingga malam saye bikin sapu lidi ni,” kata Sunah, yang berasal dari Pulau Mantang Riau yang sejak kecil sudah menetap di Kampung Masiran, Desa Galangbatang, Kecamatan Gunungkijang, Kabupaten Bintan.

Dalam sehari, bersama suaminya, Pakcik Jamal (60), Sunah bisa membuat empat ikat sapu lidi yang masing-masing besarnya seukuran dua genggaman orang dewasa. Sapu-sapu itu ia kumpulkan, sambil menunggu seorang tauke datang dari Kawal. Biasanya sang tauke datang sekitar 20 hari sekali. Namun adakalanya ia juga bisa datang dua kali sebulan.

Seikat sapu lidi dijual Sunah seharga Rp 1.400. Artinya bila sehari bisa membuat empat ikat, penghasilan Sunah hanya Rp 5.600. Padahal saat ini, ketika pemerintah tak bisa lagi mengendalikan harga sembako yang melonjak sejak awal tahun 2008 ini, sekilo beras harganya sudah di atas lima ribu. Dulu memang ada beras raskin yang harganya sekilo sekitar Rp 1.500. Namun sayang, kini beras jatah kaum miskin itu sudah tak singgah lagi di Masiran.

Sunah dan Jamal masih lumayan, karena bisa membuat empat ikat sapu dalam sehari semalam. Tapi lihatlah Pakcik Kube (sekitar 60 tahun), dalam sehari bersama sang istri, ia hanya bisa membuat dua ikat sapu. Artinya sehari ia hanya akan mendapatkan uang Rp 2.800, atau hanya seharga dua bungkus kecil pembersih rambut yang iklannya kerap muncul di layar televisi itu. Baik Kube dan Jamal sendiri sudah tak bisa turun lagi ke laut. Selain ombak yang teramat ganas di musim utara, mereka juga telah sepuh.

Maka dengan caranya sendiri, diam-diam daun-daun kelapa yang tumbuh liar di tepi pantai menjadi juru selamat bagi orang-orang Masiran. Dari sekitar 37 kepala keluarga (KK) yang hidup di kampung itu, sekitar 20 KK di antaranya bergantung pada batang demi batang sapu lidi itu.

Bahkan Rustati telah membuat sapu lidi sejak sekitar 20 tahun lalu, saat harganya seikat hanya Rp 25 saja. “Sekarang dah Rp 1.400. Kami pon nak minta naik lagi jadi Rp 1.500. Saye nak bikin rumah sendiri. Sekarang masih menumpang di rumah anak,” kata ibu dari enam orang anak ini.

Mimpi-mimpi tentang kesejahteraan mungkin sudah lama mereka buang jauh-jauh. Kube, Jamal, Sunah, atau Rustati kini hidup dengan lebih menyuburkan semangat dan berdoa agar batang demi batang kelapa di kampung itu masih tumbuh subur. Sebab kalau kelapa sudah berhenti tumbuh, maka berhenti pula denyut nadi kehidupan di kampung itu.
Tanah Kampung Masiran sejak 20 tahun lalu menjelma menjadi rawa. Air naik sampai jauh ke darat, ke bawah rumah panggung mereka ketika musim utara. Dulu, ketika Kube atau Jamal masih kecil, orangtua mereka masih bisa menanam ubi jalar, sayur mayur, juga cabai. Tapi kini, jangankan sayur, ilalang pun sudah mulai enggan tumbuh. Hanya bakau-bakau saja yang semakin subur.

Di tanah yang seperti itu, air bersih kemudian menjadi barang langka. Penduduk kampung hanya mengandalkan sebuah sumur tua di ujung kampung. Namun air jernih itu lebih banyak kandungan garamnya. “Sampai di dasar sumur, ketam pun bisa hidup,” kata Rudi Hartono, anggota BPD Desa Galang Batang yang tinggal di kampung itu.
Petang itu, di seruas jalan berlumpur menuju pantai, kami melihat Pakcik Jamal tengah menggendong dua buah jeligen yang terisi air. Begitu melihat ada orang asing berjalan ke arahnya, Pakcik Jamal justru sembunyi di balik sebatang pohon kelapa tua. “Dia meang agak takut bertemu orang asing,” kata Rudi. Setelah dipanggil berkali oleh Rudi, baru Pakcik Jamal keluar dari persembunyiannya.

Tiap hari Pakcik Jamal bersama Sunah harus bolak balik ke sumur yang jaraknya sekitar 500 meter dari belakang gubuk mereka. “Kalau nak mandi, kami mesti ke sumur tu,” kata Jamal.

Lima Tahun Bermimpi Punya Surau

SETIAP Jumat pagi, mereka berjalan delapan kilometer (KM) untuk mencapai masjid terdekat. Lima tahun warga kampung bermimpi untuk punya surau kecil di tengah kampung. Tapi mimpi itu belum teraih.

Berhenti sudah aktivitas membuat sapu lidi dari daun kelapa di tiap Jumat pagi. Pakcik Kube memakai baju terbaik yang pernah dimilikinya. Sejak pagi, ia sudah siap-siap. Tepat sekitar pukul 09.00 WIB, ia sudah melangkahkan kaki meninggalkan gubuknya. Pakcik Kuber berjalan sejauh delapan kilometer untuk bertemu Tuhan, menunaikan ibadah wajib Shalat Jumat di masjid terdekat.

Sebuah sepeda balap tergantung di dinding rumahnya. Sepeda itu sudah menjadi barang rongsokan dan tidak bisa dipergunakan Pakcik Kube untuk sampai ke masjid. “Saye harus jalan kaki. Tapi kalau pulang, biasanye ade tumpangan,” kata Pakcik yang jujur mengaku tidak tahu umurnya sudah setua apa saat ini. “Saye tak paham berape umur saye, Pak. Terserah Bapak nak buat berape, buat sajelah,” kata Pakcik Kube, tersenyum, lalu menghisap sebatang tembakau yang dilinting dengan kertas. Namun menurut orang kampung, diperkirakan Pakcik Kube sudah berusia sekitar 60 tahun.

Maka tiap Jumat pagi datang, Pakcik Kube pun sudah bersiap-siap mendatangi rumah Tuhan dengan berjalan kaki. Dari jalan tanah merah, ia lewati jalan berpasir, jalan aspal yang lenggang dan meliuk-liuk. Langkah Pakcik bertubuh mungil ini pelan, tak segesit dulu ketika masih muda. Sambil berjalan kaki, kadang ia memanjatkan doa pada Tuhan, agar kelak, di kampungnya, akan terbangun sebuah surau kecil.

Mimpi tentang sebuah surau kecil di tengah kampung tak hanya mimpi Pakcik Kube saja. Mimpi itu kemudian juga menjadi mimpi Pakcik Jamal, Pakcik M Ali, Rudi Hartono, serta orang-orang di kampung yang dihuni sekitar 37 kepala keluarga itu.

Muhammad Ali (50), seorang warga kampung, bahkan dengan keikhlasannya tersendiri telah menyerahkan sepetak tanah berukuran 20 kali 20 meter untuk lokasi pembangunan surau. Ia punya lahan seluas satu hektar yang ditumbuhi pohon kelapa. Namun karena ia juga punya mimpi yang sama dengan Pakcik Kube, maka beberapa waktu silam, ia pergi ke hutan dan mencari empat tiang kayu. Kemudian dipatoknya kayu di empat sudut tanah yang ia wakafkan untuk pembangunan surau.

Ali lahir di kampung itu. Almarhum ayahnya berasal dari Pacitan, Jawa Timur. Tentara Jepang yang membawa ayahnya ke Pulau Bintan. Lantas sepeninggalan Jepang, ayahnya bertemu dengan ibunya di kampung ini. Mereka pun menikah, dan lahirlah Ali. “Jadi yang membuat ayah saya sampai di kampung ini, karena dibawa Jepang,” kata Ali sambil membonceng Tribun di sepeda motor buatan Jepang miliknya.

“Ini lokasi pembangunan surau itu,” kata Ali, setelah turun dari sepeda motor. Lokasinya sengaja dipilih persis di tengah kampung, agar mudah dijangkau warga. Tanah sepetak yang masih ditumbuhi ilalang dan pohon kelapa itu itu berada persis di pinggir jalan tanah merah yag membelah kampung.

Atas nama mimpi kecil itulah, warga desa tergerak untuk membentuk panitia pembangunan surau. Sudah beberapa kali berganti kepengurusan, belum bisa mimpi itu diraih. Kini yang dipercaya sebagai Ketua Panitia pembangunan surau adalah Bang Simadupa. “Nanti kami juga ingin membikin taman pendidikan Al-Quran (TPA) di masjid itu,” kata Simadupa yang terkenal sebagai pelaut ulung di kampung itu. Ada belasan anak kampung yang tak saja putus sekolah karena kemiskinan, tetapi juga sekaligus belum bisa baca tulis Al-Quran.

Sejak beberapa bulan lalu, warga pun melalukan inisiatif untuk mengumpulkan dana pembangunan surau. Tapi apalah daya mereka, yang sehari-hari hanya bekerja sebagai nelayan tradisional dan pembuat sapu lidi. Maka setelah hampir setahun, dana yang terkumpul pun baru Rp 2,6 juta. Padahal untuk bangun surau ukuran enam kali enam di tengah harga-harga bahan bangunan yang meroket seperti saat ini, diperkirakan bisa menembus angka Rp 30 juta.

Tiga Rumah Nyaris Roboh

INILAH akhir dari kisah tentang pupusnya mimpi-mimpi kesejahteraan di Tanah Masiran. Selain hidup serba kekurangan, delapan rumah warga pun masuk kategori tak terlalu layak huni.

Dari delapan rumah itu, tiga di antaranya bahkan sudah masuk kategori emergency, alias sewaktu waktu bisa roboh bila diterjang angin kencang. “Ada delapan rumah yang sudah tak layak huni lagi,” kata Rudi Hartono, anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) Gunungkijang. Pakcik Kube dan Pakcik Jamal, dua dari tiga pemilik rumah-rumah itu bercerita tentang angin yang sangat mereka khawatirkan.

“Kalau angin bertiup, sudah seperti pakai AC (air conditioner), Pak,” kata Pakcik Kube berseloroh. Ia punya cara tersendiri untuk membahasakan kepedihan hidupnya. AC yang dimaksud Pakcik bersusia sekitar 60 tahun itu adalah angin yang menerobos dari lubang-lubang yang banyak muncul di dinding rumah panggungnya.

Tapi bukan persoalan angin masuk ke dalam rumah yag dirisaukan Pakcik Kube. Adalah tiang penyangga rumah yang sudah mulai lapuk setinggi dua meter itulah yang jadi pangkal masalah. Bila angin kencang bertiup, rumah itu pun bergoyang, seperti sebuah sampan yang terhantam ombak kecil di pinggir pantai.

Pakcik Kube tentu merasa khawatir. Karena itu, ia pergi ke hutan dan mengambil beberapa tongak kayu untuk mengganjal panggung rumahnya. Rumah panggung yang separuh beratap rumbia dan separuh asbes bocor itu tingginya sekitar dua meter dari permukaan tanah. Kalau hujan, air pun menerobos atap dan masuk menggenagi lantai rumah yang terbuat dari papan, yang juga nyaris di seluruh bagiannya sudah bocor-bocor.

Bukan untuk membandingkan, tapi ternyata, separah-parahnya rumah Pakcik Kube, masih lebih parah lagi rumah Pakcik Jamal, yangberjarak sekitar 100 meter dari rumah Pakcik Kube. Bila rumah pakcik Kube masih memiliki dua kamar tidur, rumah Pakcik Jamal sama sekali tak ada.

Yang ada hanyalah sebuah ruangan seukuran sekitar tiga kali empat meter saja. Di sana Pakcik Jamal dan istrinya, Makcik Sunah bekerja, memasak, menyimpan pakaian, dan sekaligus tidur.

Makcik Sunnah sedang membenarkan jala ketika kami datang. Ia tak mau terlalu bercerita tentang kepedihan hidupnya. Namun dari garis-garis wajah wanita asal Pulau Mantang itu, tergambar betapa nyaris di seluruh umurnya yang kini sudah lebih dari 50tahun itu, ia sudah bekerja teramat keras, dari mulai menjadi tukang pembuat lidi, cari ikan ke laut, hingga apa saja. Pakcik Jamal tak ada di rumah ketika kami dating. “Ia sedang mengambil air,” kata Makcik Sunah.

Air bersih kemudian juga menjadi persoalan bagi warga kampung. Tanah kampung yang berbatasan dengan laut itu payau. Sumur warga pun berair payau, alias bening tapi rasanya asin. Hanya ada satu sumur yang kini diandalkan warga, yakni sumur di tepi pantai, yangjaraknya sekitar 500 meter dari rumah Pakcik Jamal. Meski airnya tetap terasa asin, tapi menurut warga, masih lebih baik kondisinya dibanding sumur lain di kampung itu.

Kami pergi menyusuri jalan tanah berlumpur untuk menemui Pakcik Jamal. Langkah kami terhenti sewaktu melihat lelaki yang sudah renta berusia sekitar 60 tahun itu tengah menggendong dua jeligen air. “Tiap hari kalau air habis, saye pergi ambil air,” kata Pakcik Jamal sambil berjalan pelan menyusuri rawa-rawa yang dipenuhi rerimbunan bakau itu.

Itulah Tanah Masiran, yang kepadanya 37 kepala keluarga masih menyimpan mimpi dan kenangan. Sesulit apapun hidup di kampung itu, tapi mereka tak bisa beranjak pergi, karena memang sejumlah kenangan, meskipun pahit, telah mereka ukur di atas tanah berawa itu. (trisno aji putra)

Tidak ada komentar: