Selasa, 19 Februari 2008

Jejak Sebatang Gambir Terakhir di Tanah Bintan...


SORE yang masih mendung di bilangan Jalan Gambir, Tanjungpinang. Seorang gadis berambut panjang melintas persis di sisi plang jalan yang bertuliskan Jalan Gambir, sebuah jalan yang cukup padat lalu lintasnya. Kanan kiri berjajar ruko yang menjajakan aneka produk. Pada satu bagiannya, tepatnya di Lorong Gambir, jadi sentra penjualan sayur mayur dan aneka sembako.

Nama jalan ini adalah sebuah saksi bisu dan sekaligus kenangan kita atas kejayaan komoditas gambir yang sempat mendunia. Beberapa abad lalu, orang bahkan mengenal Tanjungpinang sebagai sentra perkebunan gambir. Peminat komoditas ini, bahkan sampai ke Eropa. Proses transaksi dagangnya, dengan lebih dahulu transit di Singapura, baru kemudian diteruskan ke berbagai negara.

Kabarnya, sewaktu komoditas gambir masih berjaya dulu, persis di tempat yang sekarang dijadikan sebagai Jalan Gambir, pernah berdiri areal gudang, yang digunakan untuk menyimpan komoditas gambir sebelum diekspor ke Singapura. Jadi, para petani gambir yang banyak bercocok tanam di sekitar areal Ulu Riau, Batu Delapan, juga di kawasan Lagoi, Bintan Utara, Kabupaten Kepri, membawa gambir tersebut ke Tanjungpinang. Di tempat inilah terjadi transaksi antara petani gambir dengan pedagang.

Sayang, mungkin sekarang orang sudah tak banyak lagi mengenal tumbuhan yang masuk dalam kelompok kopi-kopian tersebut. Cirinya, selain memiliki batang berkayu yang tumbuh secara merambat pada batang pohon. Selain itu, daunnya, bulat seperti telur. Adapun bagian dri tumbuhan ini yang digemari konsumen adalah getahnya, yang diambil dari bagian daun.

Saking terkenalnya komoditas gambir dari Tanjungpinang, bahkan satu di antara tiga jenis tumbuhan gambir diberi nama Riau. “Jadi ada tiga tipe, yakni udang, cubadak, dan Riau,” kata Arif Wijaya, peneliti sejarah dari Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (Jarahnitra) Tanjungpinang.

Kegunaan gambir sendiri, hingga sampai diburu oleh pedagang dari Eropa, satu di antaranya karena dapat digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan minuman keras sejenis anggur. Selain itu, bagi pabrik-pabrik pembuat sutera maupun perlengkapan baju militer, getah gambir dibutuhkan dalam proses pencelupan. Selain itu, kadang juga digunakan sebagai obat penyakit perut, seperti disentri dan lainnya.

Ada banyak versi tentang bagaimana gambir didatangkan ke Tanjungpinang dan ditanam secara massal. Satu versi, seperti yang diceritakan oleh Arif, adalah masa ketika kawasan Sungai Ulu Riau dijadikan pusat pemerintahan kerajaan Melayu pada sekitar abad 17. Ketika Yang Dipertuan Muda Daeng Celak memegang pemerintahan, perkebunan gambir mulai dikembangkan.

“Pada waktu itu, bibit gambir didatangkan dari Sumatera, yang dibawa oleh Temenggung Tarum dan Temenggung Cedun. Awalnya, kepemilikian kebun gambir dipegang oleh orang Melayu dan Bugis. Sementara Tionghoa memainkan peran sebagai pengolah komoditas tersebut.
***
TIGAPULUH TAHUN LALU, ribuan pohon gambir tumbuh subur di lahan seluas sekitar 50 hektare itu. Kalau dipandang dari kejauhan, kata seorang warga, tampak hijau dan indah, laiknya perkebunan teh di punggung-punggung bukit di sekitar kawasan Puncak, Jawa Barat.

Tapi waktu 30 tahun sudah mengubah semuanya. Yang tertinggal dari ribuan itu kini hanyalah sebatang pohon gambir terakhir. Ia tumbuh tanpa dikehendaki, begitu saja. “Ini sisa-sisa bibit pohon gambir dulu,” kata Suyati, pemilik mangsang, sebutan untuk pabrik gambir di kawasan Kampung Jibut, Bintan Utara, Kabupaten Kepri.

Pohon gambir terakhir itu tumbuh di samping rumahnya. Selain gambir, sisa-sisa kejayaan mangsang yang dulunya dalam seminggu bisa berporduksi sampai 2,5 ton, adalah tempat pembakaran dan beberapa kuali yang digunakan untuk memasak gambir.

Juga mungkin yang tersisa adalah kenangan atas indahnya zaman keemasan gambir. Gambir adalah surga bagi para petani di pedalaman. Bayangkan, satu kilogram di sekitar tahun 1975 saja, getah gambir sudah dihargai sampai tiga ribu rupiah, sebuah jumlah yang lebih dari sekedar cukup untuk bisa hidup sejahtera.

Selain kawasan Simpang Busung dan lembah di tepian Sungai Ulu Riau, Lagoi dulunya juga surga bagi para petani gambir. Ribuan hektar dengan ratusan hingga bahkan jutaan pohon gambir tumbuh subur di sana. Harga gambir tak pernah jatuh. Zaman keemasan gambir produksi Pulau Bintan itu bahkan sempat diburu oleh para saudagar pabrik kulit dari Italia. Getah gambir diyakini, dan terbukti, dapat menjadi alat pencampur yang baik dalam proses produksi sutera dan kulit di Italia. Selain itu, saudagar minuman keras dari jenis anggur di Perancis juga rajin berburu gambir di Bintan.

Tapi semua itu hanya tinggal kenangan indah para petani gambir di Bintan. Hasil pelacakan untuk berburu sisa-sisa kejayaan gambir di kawasan sekitar Simpang Busung dan Lagoi, hanya berhasil menemukan sebatang pohon gambir terakhir di samping rumah Suyati itu. Tak ada lagi yang tersisa. Lagoi kini sudah menjelma menjadi surga bagi wisatawan dan backpacker dari berbagai penjuru dunia. Investasi asing yang masuk dalam jumlah jutaan dolar telah mengubah kawasan itu menjadi pusat wisata internasional, yang gaungnya menembus penjuru dunia, sampai Eropa dan Amerika.

Para saudagar gambir pun, sejak sekitar 1975 ke atas, satu persatu melego mangsang mereka kepada investor. Tak ada lagi kebun gambir tersisa. Tapi, tentang cerita kejayaan para saudagar gambir itu dari mulut ke mulut, masih dapat didengar. Di antara para saudagar gambir yang cukup berhasil kala itu, sebut saja di antaranya, Samui, Yontik, Mayang, Ahue, Kateni, juga Dukut. Mereka tak hanya dari etnis Tionghoa saja. Seperti Kateni dan Dukut, berasal dari Tanah Jawa.

Suyati, mantan pemilik mangsang di Simpang Busung, juga masih ingat tentang nama Tauke Bungyu di Pelantar II. Kepada tauke Bungyu inilah, para petani gambir dari Simpang Busung dan Lagoi menjual hasil getah gambir olahannya.
***
SEKITAR 50 hektar bekas kebun gambir itu kini telah berubah menjadi kebun getah. Ada masa transisi memang, ketika di sela-sela gambir ditanami getah. Namun lama kelamaan, seiring dengan tak ada lagi pembeli gambir, pohon dari jenis kopi-kopian itu pun ditebang habis. “Kalau tak ditebang, mengganggu pohon getah,” kata Suyati, pemilik mangsang, sebutan untuk pabrik gambir, di Simpang Busung, Bintan Utara, Kabupaten Kepri.

Tapi hasil pohon getah tak terlalu menggiurkan bila dibandingkan dengan gambir. Saat ini, sekilo, harga getah dalam bentuk sebelum diolah, hanya sekitar empat ribu rupiah. Padahal harga gambir di tahun 1975 saja sudah mencapai tiga ribu rupiah per kilonya.

Suyati mengaku, terpaksa menebang satu persatu pohon gambirnya, karena komoditas itu sudah tak ada lagi yang tertarik membeli. Seiring dengan dibukanya kawasan wisata internasional Lagoi, mangsang di kawasan itu tutup. Pasokan gambir pun menjadi berkurang. Tauke Bungyu, orang yang dikenal sebagai pembeli getah gambir di Pelantar II Tanjungpinang pun tak bisa berbuat banyak seiring dengan semakin merosotnya pasokan gambir.

Sekedar kenangan, di Lagoi dulu, ada sederet nama yang dikenal sebagai tauke mangsang. Di sekitar 1975 ke atas, satu persatu mereka melego mangsang mereka kepada investor yang akan membangun kawasan Lagoi. Tak ada lagi kebun gambir tersisa. Tapi, tentang cerita kejayaan para saudagar gambir itu dari mulut ke mulut, masih dapat didengar. Di antara para saudagar gambir yang cukup berhasil kala itu, sebut saja di antaranya, Samui, Yontik, Mayang, Ahue, Kateni, juga Dukut. Mereka tak hanya dari etnis Tionghoa saja. Seperti Kateni dan Dukut, berasal dari Tanah Jawa.

Lepas dari itu, Suyati, mantan pemilik mangsang di Simpang Busung, juga masih ingat zaman keemasan gambir dulu. Di ladang gambir miliknya itu, belasan buruh yang rata-rata berasal dari Tanah Jawa, bekerja bahu membahu. Masing-masing pekerja memainkan perannya sendiri. Ada pemetik daun gambir, ada pula sebagai tukang masak, lalu ada sebagai pencari kayu bakar.

Proses memasak gambir butuh waktu sehari penuh. Biasanya dimulai dari sekitar pukul 05.00 WIB di pagi buta, dan baru diangkat dari kuali menjelang maghrib. Biasanya, mereka memetik daun gambir kala sore hari. Daun-daun itu dalam hitungan minggu sudah tumbuh kembali. Sehingga selesai para pekerja memetik satu deret pepohonan gambir, mereka kembali lagi ke awal untuk memetik daun gambir yang mulai merekah. Begitu, berulang-ulang.

Untuk membawa gambir ke Tanjungpinang, biasanya digunakan sepeda, untuk kemudian disambung dengan sampan, dari perairan sekitar Simpang Busung menuju Pelantar II. Alat angkut gambir sendiri diberi nama lonteng, yang terbuat dari kawat. Sebuah lonteng tua yang telah dimakan usia dan tampak berwarna kehitaman karena terlalu sering terkena asap, masih disimpan Suyati di dapur rumah miliknya. Lonteng tua itu sekaligus sebagai pengingatnya, bahwa dulu, dari lembar demi lembar gambir, ia melangsungkan hidup.

Itulah gambir, sebuah komoditas ekspor yang sempat mendunia dari Tanjungpinang. Sayang, budidaya tanaman ini sudah tak lagi dikembangkan. Areal perkebunan gambiri sendiri di Kepri kini hanya ada di Tanjungbatu, Kabupaten Karimun. Padahal, dari lembar demi lembar daun gambir itu dulu, selain menciptakan lapangan kerja, juga sekaligus penggerak sektor ekonomi riil bagi masyarakat pedalaman. (trisno aji putra)

Tidak ada komentar: