Kamis, 21 Agustus 2008

Tanjunguban, Dulu dan Kini




Berawal dari Pohon yang Serupai Uban Manusia

PAGI mulai lebih awal di Lobam daripada di Tanjunguban. Ketika ribuan buruh sudah bergerak ke sejumlah perusahaan di Lobam, di Tanjunguban lelaki dan wanita usia lanjut masih santai berjalan pagi di Jalan Merdeka, jalan utama di kota itu.

Sebelum periode 1960-an, orang-orang di Tanjunguban hidup di negeri yang serba mewah. Tapi setelah republik punya aturan sendiri untuk melakukan pengetatan terhadap distribusi barang dan jasa di perbatasan Indonesia-Singapura, juga setelah pemerintah republik memutuskan mata uang dolar Singapura tidak boleh lagi dipakai di Tanjunguban dan Kepri, maka sejak itu, tiba-tiba kemewahan terengut dari hidup mereka.

Setelah itu ekonomi berjalan lambat. Harapan mulai muncul kembali setelah kawasan industri Lobam mulai beroperasi sekitar pertengahan dekade 1990-an. Untuk urusan pagi, memang Lobam boleh lebih awal dari Tanjunguban. Tapi untuk persoalan sejarah, justru semuanya bermula dari Tanjunguban.

Bagaimana sesungguhnya geliat kota kecil di ujung utara Pulau Bintan ini, apa yang pernah terjadi di sini, dan bagaimana sejarah kota ini bermula, Tribun melakukan pembicaraan dengan empat narasumber. Mereka saling melengkapi kisah yang akan ditulis secara bersambung ini.

Mereka adalah Sahat Simajuntak (63) dari Yayasan Rumpun Usaha Muda Bintan Utara (Rumbu), seorang warga Tanjunguban Muhammad Diah (72), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Bintan Utara, Lizan Ahcmad (60), dan terakhir Basri Muhammad Sidiq (66), yang selama 37 tahun pernah menjabat sebagai kepala kampung dan Lurah Tanjunguban.

Keempat narasumber yang ditemui di tiga tempat terpisah ini ternyata memiliki kesamaan cerita tentang asal kata Tanjunguban yang kemudian dipakai sebagai nama kota. Ini berbeda misalnya dengan asal kata Tanjungpinang. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa Tanjungpinang muncul sebagai nama kota karena di daerah yang berbentuk tanjung ini, banyak tumbuh pohon pinang. Tapi masih ada sebagian lain yang menyatakan bahwa asal mula nama itu berawal dari kata tanjung dan api-api nang, yang berarti di sebuah tanjung ada nyala api kecil yang tampak dari kejauhan.

Tapi di Tanjunguban, tak ada silang pendapat tentang asal mula nama kota ini. “Ada sebuah pohon yang sudah tua, daun dan akarnya menjuntai ke bawah dan berwarna putih. Orang yang lihat dari laut, pohon itu seperti uban. Karena daratan di Tanjunguban, menjorok kelaut, sehingga disebut tanjung, kata Muhammad Diah, yang diamini oleh Sahat Simanjuntak, Lizan Achmad dan Basri MS.

Pohon itu letaknya di samping Keramat Tanjunguban. Tapi kini sudah tak tersisa lagi. Dan pohon itu pun tak sempat diberi nama oleh penduduk. Keempat sumber Tribun itu tak mengerti, ketika ditanya apa nama pohon tersebut. Yang mereka tahu, pohon itu usianya sudah tua, dan hanya ada satu di Tanjunguban saat itu.

Tentang Keramat Tanjunguban, diyakini adalah makam seorang ulama besar yang meninggal dalam perjalanan dari Semenanjung Malaka menuju Negeri Betawi di Sunda Kelapa.

Tapi kemudian Tanjunguban bukanlah kota tua yang umurnya sudah ratusan tahun. Semua baru bermula sekitar 150 tahun lalu. Hal ini bisa terlacak dari bangunan tertua yang masih dipertahankan di kota ini. Adalah Masjid Jami’ Kampung Mentigi. Bangunan yang kini sudah beberapa kali direnovasi tersebut diperkirakan dibangun pada sekitar tahun 1880, atau sekitar 128 tahun yang lampau. Tapi kemudian nama Tanjunguban bisa sampai terdengar di Eropa bersama kapal-kapal tangker yang datang, tak lain karena entah bagaimana, para penjajah Belanda dalam serikat dagang VOC-nya memutuskan membangun gudang penyimpanan minyak di Tanjunguban, selain di Pulau Sambu. Dari sinilah, kapal-kapal tangker asing datang dan pergi, membawa minyak yang disuplai dari Palembang. (trisno aji putra/bersambung)

Tidak ada komentar: