Minggu, 14 Agustus 2011

Nasionalisme dan Perbatasan

Nasionalisme di Perbatasan Kepri

Kantor Berita Antara, Minggu, 14 Agustus 2011 16:56 WIB | Profil | Dibaca 55 kali
Oleh: Henky Mohari
Warga negara di daerah perbatasan seringkali dinilai kurang memiliki rasa nasionalisme ketimbang warga yang jauh dari perbatasan negara.

Dibandingkan dengan Jakarta, misalnya, warga masyarakat di sana sering menunjukkan rasa cinta Tanah Air dan nasionalisme yang tinggi dengan berunjuk rasa serta membuat pernyataan sikap jika terjadi pergesekan atau tindakan semena-mena oleh negara tetangga.

Berbeda dengan warga perbatasan di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), sangat jarang terlihat melakukan tindakan-tindakan atau pernyataan sikap yang menunjukkan rasa cinta Tanah Air dan nasionalisme yang tinggi.

Padahal Kepri langsung berbatasan dengan negara yang selalu diperdebatkan dengan segala tindakannya yang terkadang mengancam kedaulatan dan martabat bangsa.

Apakah rasa nasionalisme masyarakat Kepri sudah hilang dan luntur akibat gemerlap negara tetangga yang sangat menjanjikan kesejahteraan?.

Pertanyaan itu terkadang muncul dari teman-teman di pusat atau daerah lain yang tidak berbatasan langsung dengan negara tetangga yang misalnya sedang diperbincangkan hangat akibat tindak tanduknya.

Rasa nasionalisme daerah perbatasan khususnya di Kepri yang berbatasan dengan Singapura, Malaysia, Kamboja dan Vietnam tidak bisa disamakan dengan daerah lain atau Jakarta, kata pakar politik Zamzami A Karim.

"Orang Jakarta mengukur nasionalisme dari ukuran Jakarta, tidak pernah melihat dari perspektif masyarakat perbatasan. Terkadang maksud nasionalisme itu adalah yang menguntungkan Jakarta, tidak peduli dengan nestapa yang dirasakan masyarakat di perbatasan," kata Zamzami yang juga Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik Raja Haji Tanjungpinang.

Pengalaman sejarah antara Jakarta dan Jawa dengan komunitas daerah perbatasan menurut dia sangat jauh berbeda, terutama di Kepri.

"Dari dulu Kepri merupakan daerah yang sangat terbuka dan plural, sehingga makna nasionalisme Indonesia yang mereka rasakan tidak terlalu 'chauvinis' seperti Jakarta dengan jargon 'right or wrong is my country'," katanya.

"Pengalaman sejarah yg berbeda juga membuat ekspresi nasionalisme yang beda pula, bukan berati tidak Cinta Tanah Air," kata Zamzami.

Menurut dia, pemerintah pusat harus menunjukkan kewibawaannya berhadapan dengan negara tetangga dimulai dari kawasan perbatasan agar kepentingan nasional benar-benar dilindungi.

Negara harus berwibawa, jangan justru tunduk pada kepentingan negara lain yang membuat kita malu sebagai warga negara, katanya.

Sebagai contoh menurut dia, pemerintah tidak berdaya menghadapi penjarahan pasir, ikan, bauksit, bahkan hasil minyak bumi dan gas sehingga masyarakat tidak tahu berapa yang mengalir ke luar negeri, jangankan untuk ikut menikmatinya. "Menyedihkan," ungkapnya.

"Agar kecintaan kita terhadap Indonesia terbalaskan, kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka yang harus ditegakkan," tegasnya.

Menurut seorang dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi International Gurindam Archipelago Tanjungpinang, Pramono, rasa nasionalisme di perbatasan akan muncul apabila terdapat persengketaan fisik yang mengganggu stabilitas dan kenyamanan bersifat ekonomi.

"Tapi kalau hanya sekedar perang urat syaraf dan perang opini, nasionalisme itu sulit muncul," kata Pramono.

Walaupun masyarakat perbatasan khususnya di Kepri menurut dia punya obsesi menjadi bagian dari negara tetangga yang lebih makmur, namun hal itu akan berangsur terkikis apabila negara mampu memperbaiki taraf hidup dan ekonomi mereka yang di perbatasan itu.

"Kunci nasionalisme adalah domain negara dan negara bertanggung jawab untuk menumbuhkembangkan rasa nasionalisme warga negara," katanya.

Pengaruh Budaya

Rasa nasionalisme di Kepri tidak lepas dari pengaruh kesamaan budaya dan rasa persaudaraan seperti dengan negara tentangga Singapura dan Malaysia.

Kepri secara historis memiliki hubungan emosional dengan Malaysia dan Singapura. Bahkan dulu wilayah Malaysia, Singapura adalah satu bagian kesultanan Melayu yang tak terpisahkan.

"Karena adanya hubungan emosional itulah, makanya orang di Kepri tidak terlalu berlebihan menyikapi sentimen yang berkembang di antara negara," kata Trisno Aji Putra yang juga dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi International Gurindam Archipelago Tanjungpinang.

Namun tetap saja menurut dia yang harus digarisbawahi adalah Kepri sudah memutuskan menjadi bagian tak terpisahkan dengan Indonesia, sementara pada sisi lain warga Kepri tetap menganggap orang Malaysia dan Singapura adalah bagian dari saudara mereka.

"Ini yang harus dilihat secara lebih mendalam," ujarnya.

Jadi untuk memandang nasionalisme di Kepri, bisa dilihat dari teori kedaulatan di perbatasan. Bahwa terkadang kawasan perbatasan agak "aneh" dibanding kawasan lain, sebab di perbatasan bukannya nasionalisme sudah luntur, tetapi karena adanya hubungan emosional, sejarah, budaya dan lain sebagainya yang terjadi di masa lalu.

Kawasan di Kepri juga sedikit unik, satu sisi mengakui bagian dari Indonesia, namun terkadang mata uang yang digunakan adalah dolar Singapura dalam bertransaksi.

Kecenderungan masyarakat Kepri yang suka produk Singapura atau Malaysia, menurut dia bukan persoalan nasionalisme, tetapi lebih kepada motif ekonomi.

"Pembeli tentu ingin mencari barang yang lebih murah dan berkualitas dibanding yang mahal, karena dekat secara geografis, maka itu membuat barang dari Singapura dan Malaysia harganya lebih murah dibanding produk serupa dari Jakarta. Jadi itu murni motif ekonomi, bukan persoalan lunturnya nasionalisme," katanya menegaskan.

Pramono juga menilai kesamaan budaya secara kasat mata mempengaruhi perilaku masyarakat perbatasan di Kepri, karena menyangkut pertalian sejarah budaya.

"Pertalian budaya dan adanya hubungan emosional lebih kental dibanding kesadaran bela negara. Kekuatan kesamaan kultur itu mengalahkan kekuatan ideologi dan teritorial," kata Pramono.

Selain itu, masyarakat tempatan (asli) menurut dia lebih bersifat semangat kedaerahan dibadingkan dengan masyarakat pendatang di Kepri karena pertalian sejarah itu.

Namun Pramono berharap rasa nasionalisme bisa dipupuk di perbatasan karena masyarakat perbatasan adalah benteng terkhir wilayah otritas negara.

Tetap Tinggi

Rasa nasionalisme warga Kepri menurut Zamzami tetap tinggi, walaupun mereka selalu membandingkan nasib mereka dengan saudara-saudara mereka di negara tetangga.

Hal itu menurut dia juga ditunjukkan dengan tidak banyak warga yang secara serius mau pindah kewarganegaraan hanya karena perbedaan kesejahteraan.

"Sepatutnya hal itu bisa mendorong pemerintah pusat agar menaruh perhatian besar kepada kesejahteraan masyarakat perbatasan, terutama meningkatkan infrastruktur, agar mendapat kemudahan akses ke berbagai pusat ekonomi," katanya.

Usaha pemerintah saat ini menurut dia sudah ada, tetapi mungkin belum sistematis karena selalu muncul program yang sifatnya tidak berjangka panjang dan berkelanjutan. Misalnya membantu nelayan dengan alat tangkap dan perahu, permodalan usaha, atau bedah rumah.

"Itu semua hanya bersifat jangka pendek, dan biasanya tidak 'sustainable' (berkesinambungan) agar bisa diukur dampak program-program tersebut dari tahun ke tahun yang bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat perbatasan," ujarnya.

Salah seorang pegawai di Pemerintahan Provinsi Kepri, Patrick Nababan mengatakan nasionalisme itu tidak dilihat dari sisi yang sempit dan juga bukan hanya dengan turun ke jalan-jalan meneriakkannya.

"Dengan kita bekerja, membangun membangun daerah berarti kita sudah berusaha mempertahankan dan memberikan kemakmuran bangsa dan negara. Masyarakat perbatasan adalah masyarakat yang sangat nasionalis," katanya.

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang, Junaidi Fajri mengatakan rasa nasionalisme warga perbatasan memiliki grafik yang berdeda-beda, ada yang rendah, tinggi atau sedang.

"Hal itu dipengaruhi oleh faktor kemajuan sebuah daerah yang meliputi tingkat pendidikan, ekonomi, atau perkembangan sebuah kawasan tersebut," kata Junaidi.

"Tingkat kemajuan sangat berperan penting dengan sebuah rasa nasionalisme, dan hal yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah lebih pro aktif melihat keadaan masyarakat untuk mensejahterakannya serta membuat suatu kawasan tersebut dapat bersaing dengan daerah tetangga yang lebih maju," tambahnya.

Trisno Aji Putra yang juga mantan wartawan harian lokal di Kepri menambahkan, yang harus dipikirkan pemerintah pusat adalah membangun kawasan perbatasan yang menjadi pintu gerbang Indonesia.

Kalau gerbangnya sejahtera, maka dipastikan tidak akan ada masalah di perbatasan, dengan kata lain nasionalisme di perbatasan itu meningkat seiring meningkatnya pembangunan atau pemberdayaan masyarakatnya," katanya yang juga seorang penulis buku.

Godaan terbesar suatu daerah ingin lepas dari negara kesatuan adalah persoalan kesejahteraan dan keadilan, bila dua masalah itu terselesaikan, maka tidak akan ada gejolak di perbatasan, katanya.

Kepri menurut dia sudah tuntas membahas masalah tersebut sehingga sudah diputuskan Kepri bagian dari Indonesia.

"Kalau pun ada riak, itu hanya karena persoalan kesejahteraan bukan karena rasa nasionalisme luntur," ujarnya.

(ANT-HM/B009/Btm3)

COPYRIGHT © 2011

Tidak ada komentar: