SEMALAM, bumi yang kita tempati ternyata telah berisi tujuh
miliar manusia. Ada pesta yang berlangsung, tapi lebih banyak kecemasan.
Di Zambia, sebuah negara di Afrika, kedatangan manusia ketujuh miliar itu disambut dengan lomba cipta lagu bertema tujuh miliar. Sesama negara Afrika lainnya, Pantai Gading, bikin acara komedi. Di utara, dari Rusia, pemerintah setempat menyiapkan kado untuk menyambut manusia ketujuh miliar. Sementara di Vietnam, ada konser 7B: Counting On Each Other.
Tapi tak semua senang. Sekjen PBB Ban Ki-moon justru muram. "Siapapun
yang lahir, dia akan lahir dalam dunia yang penuh kontradiksi. Banyak makanan,
tapi miliaran orang kelaparan. Banyak yang hidup mewah, tapi masih banyak yang
hidup tidak sejahtera," katanya.
Saya jadi teringat pelajaran ekonomi sewaktu masih bersekolah
di SMA Negeri 2 Tanjungpinang dulu. Guru ekonomi saya bercerita tentang Thomas
Robert Malthus. Saya tak kenal Malthus. Tapi teorinya cukup menggelitik. Bahwa
pertambahan manusia sesuai dengan deret ukur
(misalnya, dalam lambang 1, 2, 4, 8, 16 dan seterusnya). Sedangkan persediaan
makanan cenderung bertumbuh secara deret hitung (misalnya, dalam deret 1, 2, 3,
4, 5, 6, 7 dan seterusnya).
Akibatnya
jelas, suatu saat, kelaparan akan menjadi persoalan terbesar hidup manusia. Dan
kelaparan, dalam sejarah, adalah tragedi besar yang tak pernah terselesaikan.
Bisa saja kita membuka lahan persawahan jutaan hektar, tapi besok, atau lusa,
siapa yang bisa menjamin semua lahan itu tidak mengalami gagal panen.
Karena
itu, Ban Ki-moon pun benar, ketika mengatakan banyak makanan, tapi masih ada
yang kelaparan. Somalia kini tengah dalam tragedi kelaparan. Seperti sebait
lirik lagu Iwan Fals, hitam kulitmu, sehitam nasibmu, kawan.
Tapi
itu di Somalia, nun jauh di Afrika sana. Benarkah masih ada yang kelaparan di
sekitar kita? Setahun yang lalu, saya membaca koran, seorang ibu dan anak tewas
karena kepalaran di Tanjunguban.
Lepas
dari persoalan kelaparan, berarti apakah angka tujuh miliar itu bagi kita? Jelas,
bumi akan semakin gaduh. Ia tidak lagi menjadi ruang yang sepi untuk
kontemplasi. Bahkan beberapa hari lalu, rapat para menteri Nepal digelar di tempat
terbuka, di punggung Gunung Himalaya. Tak ada lagi tempat kontemplasi.
Tapi
angka tujuh miliar itu bisa macam-macam. Bila Anda seorang politisi, maka tujuh
miliar berarti suara potensial yang bisa mengantarkan Anda ke puncak kekuasaan.
Bila Anda seorang marketing, tujuh miliar berarti adalah pangsa pasar yang
semakin besar. Bila Anda seorang pelawak, maka tugas akan semakin berat.
Membuat satu orang tertawa saja sudah susah di zaman ketika harga-harga
melambung tinggi. Apalagi tujuh miliar. Lain halnya bila Anda berbalik:
menertawakan angka tujuh miliar itu.
Dan
bagi Anda seorang psikiater, tujuh miliar manusia berarti adalah tujuh miliar
tingkah laku. Bayangkan, untuk memahami seorang yang telah hidup bersama kita
bertahun-tahun saja, kadang masih sulit. Apalagi ketika kita harus berbagi
dengan tujuh miliar perilaku yang berbeda.
Lantas
apakah sebenarnya makna tujuh miliar itu? Kita mungkin sampai saat ini tidak
akan pernah paham kapan umur bumi akan berakhir. Tapi yang kita pahami bahwa,
perang, kelaparan, kejahatan, adalah bagian tak terpisahkan dari masa depan
bumi yang semakin suram ini. Ketika melihat aneka perilaku manusia yang kelewat
batas itu, kita mungkin akan segera memahami bahwa, mengapa kemudian agama
diturunkan untuk manusia. Bayangkan, dengan agama saja, perang masih terjadi,
kelaparan masih merajalela, ketidakadilan terus berlangsung, dan penindasan
seperti tanpa akhir. Apalagi kalau tidak ada agama?
Akan
lain halnya kalau kemudian manusia mulai berbicara tentang konsep berbagi.
Bahwa, Senin kemarin, di dalam benak kita harus segera terlintas bahwa setiap
apapun yang kita miliki, harus kita bagi menjadi sepertujuh miliar. Ketika kita
melihat sebuah hamparan tanah, maka kita pun harus berpikir, bahwa ada hak
tujuh miliar orang di sana. Maka kita pun hanya boleh mempergunakan sepertujuh
miliar saja dari tanah tersebut. Mungkin persoalannya akan selesai, dan bumi
menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali. Tapi apakah itu mungkin?
Bumi,
dengan tujuh miliar penghuninya, kini ternyata menjelma menjadi gagasan yang
suram. Ban Ki-moon tidak salah. Tujuh miliar bukan berarti pesta hura-hura,
melainkan adalah sebuah tonggak kesadaran kita, bahwa sudah saatnya kita harus
membagi hidup kita dengan tujuh miliar orang lainnya. (*)