Minggu, 30 Maret 2008

Lautan Gamis di Baiturahman...

SEJAK Sabtu (29/3) pagi, kesunyian Masjid Baiturahman itu sudah terenggut. Lepas sholat Subuh, mereka sudah bekerja, ada yang memasak, merapikan masjid, juga sekaligus menyambut tamu. Ada hajatan besar yang berlangsung Sabtu malam hingga Minggu (30/3) pagi.

Masjid yang berlokasi di kawasan Sungaijang, Tanjungpinang itu terpilih sebagai tempat bertemunya sekitar seribuan anggota Jemaah Tabligh dari pelosok Kepri. Mereka datang Sabtu pagi. Bahkan yang dari Malaysia, sekitar sepuluh orang jumlahnya, sudah datang sejak Jumat kemarin.

Ini pertemuan pertama di tahun ini, setelah pada akhir tahun lalu, mereka menggelar pertemuan serupa di Tanjungbalai Karimun. Pertemuan sendiri digelar tiap empat bulan sekali, berpindah-pindah, dari Tanjungpinang, Batam, hingga Tanjungbalai Karimun.

Berkumpulnya mereka di Masjid Baiturahman mengundang ketertarikan tersendiri bagi warga yang melintas. Sejak dulu, seantero kota sudah paham bahwa masjid itu adalah tempat bertemunya para anggota Jemaah Tabligh.
Sabtu pagi itu, orang-orang yang mencintai Tuhannya itu datang dengan memakai gamis putih-putih. Celana mereka tak menyentuh mata kaki, tergantung sejengkal dari telapak kaki. Sementara baju mereka yang juga berwarna putih terjulur sampai beberapa jengkal dari atas lutut. Janggut mereka panjang, dan banyak dari mereka memakai kopiah bulat.

Orang menyebut mereka dengan nama Jemaah Tabligh. Bahkan ada yang memberikan julukan tak sedap “Jemaah Kompor”. Munculnya sebutan ini karena setiap melakukan perjalanan dari masjid ke masjid, para lelaki bergamis itu selalu membawa kompor dan alat masak lainnya.

Namun mereka sendiri tidak menamakan diri mereka apapun. Semua sebutan itu diberikan oleh orang luar. “Kami ini tak ada nama. Jemaah saja. Tapi orang serings ebut Jemaah Tabligh. Tak apalah,” kata Huzrin Hood, mantan Bupati Kepri yang merupakan satu di antara sekian tokoh utama di Jemaah Tabligh Masjid Baiturahman.

Lantas apa tujuan pertemuan tersebut? Huzrin yang ditemui Sabtu pagi saat mempersiapkan penyambutan kedatangan seribuan jemaah itu mau berbagi cerita sedikit. Menurutnya, pertemuan itu tak lain untuk bermusyawarah sekaligus berdakwah dan bersilaturahmi sesama umat muslim.

Termasuk di dalamnya akan dibahas pengiriman jemaah untuk berdakwah ke berbagai pelosok. “Ke seluruh dunia,” kata Huzrin, tersenyum. Seluruh dunia yang dimaksud oleh Huzrin berpatokan pada kemampuan ekonomi para jemaah. Bila kondisi keuangan mereka belum cukup, maka seluruh dunia yang dimaksud bisa diterjemahkan menjadi ke berbagai pulau-pulau di Kepri. “Sampai ke Pulau Laut, di Natuna sana,” lanjutnya.

Selain itu, pertemuan ini juga sekaligus untuk mempersiapkan delegasi mereka yang akan dikirim mengikuti pertemuan Jemaah Tabligh se-Indonesia yang rencananya di gelar Agustus mendatang di Bumi Serpong Damai, Jakarta.

Tapi di balik semua persiapan itu, Muhamad Farouq menjadi orang paling sibuk. Ia dipercaya mengurusi makanan sekitar seribuan jemaah. Maka ia meminta sekitar 40 rekannya untuk membantu membuat dapur umum, di bagian samping masjid.

“Kita potong 10 ekor kambing,” kata Farouq. Makan dibagi menjadi tiga kali. Selain kambing, menunya adalah ayam. Lantas dari mana semua dana ini di dapat? Hendri Kurniawan, seorang anggota panitia menyebut, dana itu didapat dari sumbangan sukarela antarmereka. Kalau sanggup, ada yang menyumbang Rp 10 ribu, ada juga yang Rp 100 ribu. “Semuanya dengan keikhlasan saja,” kata Hendri. (trisno aji putra)

Kamis, 27 Maret 2008

Kisah Perjalanan Marwah di Sei-Dompak

AGOES Soemarwah bisa jadi adalah lelaki Semarang pertama di awal tahun ini yang naik sampan kotak di Sungai Dompak itu. Maka kemudian ia pun luar biasa menunjukkan kekagumannya pada penemuan asli orang-orang Dompak itu.

“Biasanya orang membuat kapal itu kan dengan perhitungan rinci tentang berat dan lainnya, sehingga ketika berada di air tak tenggelam. Tapi apakah mereka juga pernah menghitung seperti itu ya,” tanya Marwah, panggilan akrabnya, tanpa melepas pandang pada sampan yang berbentuk persegi panjang berukuran panjang lima meter dan lebar sekitar dua meter itu.

Pakcik Rustam, penambang sampan kotak itu diam, seperti tak ingin menjawab pertanyaan Marwah. Sebab, ia yakin, lelaki berkaca mata minus dua yang posturnya sekilas mirip kelapa hibrida tak subur itu sudah tahu jawabannya. Mereka, para nelayan tradisional itu sudah pasti tidak punya perhitungan tekhnis tentang itu. Yang mereka punya hanya naluri.

Dan naluri itulah yang kemudian menjadi sejarah awal lahirnya empat sampan kotak di penyeberangan yang menghubungkan Kampung Dompak Lama dan Kampung Dompak Seberang. Kedua kampung yang berada di Kelurahan Dompak, Kecamatan Bukit Bestari, Tanjungpinang ini dipisahkan oleh sebuah selat pendek sejarak sekitar 200 meter.

Karena selat pendek yang tak bernama itulah, perjalanan menggunakan sepeda motor yang menghubungkan kedua kampung yang punya sejarah yang mirip ini pun menjadi panjang. Pengendara sepeda motor, setahun lalu, sebelum era kelahiran sampan kotak itu, meski memutar sejauh sampai sekitar 30 kilometer, melalui kawasan Wacopek, untuk sampai ke Kampung Dompak Seberang. Padahal bila naik sampan kotak, jarak tempuh tak sampai lima menit.

Adalah Pakcik Pade, lelaki asal Kampung Dompak Seberang yang memulai sejarah sampan kotak itu. Semuanya bermula dari kebetulan. Setahun lalu, ada turnamen sepakbola antar-kampung di Dompak Lama. Para warga Dompak Seberang punya kesebelasan kesayangan yang bertanding dalam turnamen tanpa piala itu. Mereka ingin menonton, namun terpaksa meletakkan motor di pinggir sungai karena tak bisa dibawa menyeberang.

Pakcik Pade, yang sudah puluhan tahun mencari Ketam Renjong di Sei Dompak pun menangkap peluang bisnis itu. Setelah ketam sulit dicari, apalah daya nelayan Melayu tradisional itu. Maka Pakcik Pade pun bereksperimen, menyulap sampan tangkap ketamnya menjadi alat transportasi penyeberangan, laiknya kapal motor roro (roll-on/roll off).

Diberi nama sampan kotak, karena memang bentuk papan yang bisa mengapung itu mirip kotak, tapi tak bujur sangkar, melainkan persegi panjang. Lebih tepatnya kotak lonjong. Tapi orang Melayu terkenal sebagai orang-orang yang sederhana, termasuk sederhana dan efisien dalam memberi nama benda dan tempat di sekitar mereka. Nama sampan kotak lonjong tentu terlalu panjang, lebih singkat bila sekedar sampan kotak. “Kami sebut kotak saje. Tapi sebut sampan kotak pon boleh juge-lah,” kata Pakcik Rustam, sambil mendayung.

Sekali angkut, sampan kotak Pakcik Rustam bisa membawa tiga sepeda motor sekaligus. Atau kalau pemilik motornya punya nyali, empat sepeda motor pun pernah Pakcik Rustam angkut. Tapi kalau pemilik sepeda motor buatan Jepang dan Cina itu masih pikir panjang, lebih baik bersabar menunggu sampan kotak lain, dari pada berdesakan. Maklum, tak ada asuransi di penyeberangan Roro Seungai Dompak itu.

Sekali Nyebrang, Tarifnya Lima Ribu
SAMPAN kotak itu kemudian telah mengubah sejarah hidup Syahrir, Pakcik Pade, Pakcik Rustam, maupun Meijan. Mereka dulu nelayan pemburu ketam renjong di Sungai Dompak. Namun sejak Pakcik Pade menemukan kapal Roro (roll on-roll off) made in Dompak, mereka berempat pun beralih profesi sebagai penambang sampan kotak.

Ketam renjong kini menjadi komoditas langka di kawasan pesisir Tanjungpinang itu. Dulu, sekali turun ke laut, 10 kilo ketam renjong yang ditangkap dengan menggunakan bubu, bisa didapat. Tapi kini, berharap membawa pulang sekeranjang ketam renjong itu pun sudah terlalu muluk.

Bakaruddin, nelayan pemburu ketam renjong yang tinggal di Kampung Kelam Pagi, Dompak Seberang bertutur tentang sulitnya berburu ketam renjong. “Kadang saya pulang hanya bawa seekor ketam saje,” kata Bakaruddin. Kalau nasib baik, paling banyak ia bisa menangkap satu kilogram ketam renjong, yang dijual seharga Rp 28-Rp 30 ribu di pasar.

Dengan demikian, bisa dibayangkan penghasilan yang bisa dibawa pulang Syahrir, Pakcik Pade dan lainnya sewaktu masih menjadi menjadi nelayan ketam renjong dulu. Bandingkan kini misalnya, dengan penghasilan mereka setelah menjadi penambang sampan kotak. “Sehari saye bisa dapat Rp 50 ribu,” kata Syahrir, yang menekuni pekerjaan itu sejak sekitar setahun lalu itu. Sekali menyeberang, sebuah sepeda motor dikenakan tarif lima ribu rupiah.

Uang sejumlah itu menjadi sambungan nafas bagi Syahrir untuk berbelanja kebutuhan pokok di tengah melonjaknya harga-harga seperti saat ini. Kalau lagi ada hajatan atau turnamen sepakbola antarkampung, penghasilan Syahrir tambah bengkak. “Kadang sehari bisa sampai Rp 100 ribu,” kata lelaki bertubuh gempal ini.

Modal mereka pun tak besar. Mereka hanya perlu membuat sampan kotak berukuran panjang sekitar lima meter dan lebar tiga meter. Memang, bila dilihat sekilas, orang yang tak pernah menyeberang naik Kapal Roro khas buatan Dompak ini mungkin akan khawatir. Seperti misalnya bagi Agus.

Agus terlahir di daratan Jawa, dan mungkin seumur hidupnya tak pernah melihat sampan kotak jenis seperti ini. Yang ia tahu model kapal roro adalah seperti di penyeberangan Ketapang-Gilimanuk, yang menghubungkan Banyuwangi dengan Bali. Padahal di penyeberangan tersebut, besar kapal roro mungkin 49 kali lipat dari kapal sampan kotak itu. Kapal roro di penyeberangan Banyuwangi-Bali sekali jalan bisa mengangkut belasan kendaraan roda empat. Sementara sampan kotak, sekali jalan maksimal hanya bisa mengangkut tiga sepeda motor. Itu pun sudah membuat Pakcik Pade dan Pakcik Rustam kelelahan mendayung sampan kotak itu.

Hebatnya, sampan kotak itu pun sampai setelah setahun lebih beroperasi, belum pernah punya sejarah tenggelam seperti kapal Tampomas. Maka seperti bebek menemukan kolam, sesenang itulah Agus begitu menemukan adanya sampan kotak di Sungai Dompak itu. Lebih dari sepuluh menit Agus terus mengamati bentuk sampan kotak, sambil terus menghitung berat jenis sampan, sehingga masih tetap mengapung di permukaan air, meski mengangkut tiga sepeda motor dengan tiga pengendaranya sekaligus.

Karena begitu terkesima, lelaki yang baru setahun menetap di Tanjungpinang itu pun sampai dua kali mencoba menyeberang dengan sampan kotak, bolak-balik, seperti strika baju.

Yang lebih membuat Agus semakin kagum adalah pembagian sistem kerja di antara empat penambang sampan kotak. Di ujung Kampung Dompak Lama, dua orang penambang sampan kotak, Syahrir dan rekannya siaga menunggu penumpang. Sementara di ujung sebelah satunya lagi, yakni di Dompak Seberang, Pakcik Pade yang siaga. Begitu Syahrir mengangkut penumpang ke Dompak Seberang, maka ketika kembali ia tidak dibenarkan membawa penumpang. Sebab penumpang dari Dompak Seberang ke Dompak Lama adalah jatah Pakcik Pade. Karena itu, setahun pun mereka sama-sama mencari nafkah, tidak pernah timbul persaingan usaha tidak sehat. Bahkan ketika Syahrir mengayuh sampan kotak sampai bertemu Pakcik Rustam, ia terkekeh dan memberikan gelar Pakcik Rustam sebagai lelaki penambang sampan yang menyeramkan. Pakcik Rustam pun terkekeh, mengisap dalam-dalam rokok kereteknya. (trisno aji putra)

Rabu, 26 Maret 2008

Robbi van Tambelan...

DI tempat kami sering berkumpul main domino, di rumah si Paijo, Robby Van Tambelan ini punya julukan juga. Ada yang memanggilnya Si Telur Penyu, Si Kepala Batu dan lainnya. Kepala Batu yang dimaksud bukanlah karena persoalan kerasnya pendirian Robbi van Tambelan ini, tapi karena sebutan persoalan batu domino. di Tambelan, kata Robbi, kalau orang pertama yang menjalankan batu domino disebut "Kepala Batu", bukan reste. Padahal dalam pengetahuan batu domino kami yang sudah cukup teruji ini (hihi) si pemegang batu pertama adalah reste, bukan "Kepala Batu". Apa pulak Kepala Batu itu? Sejak itulah, si Robbi van Tambelan pun punya julukan baru, si "Kepala Batu".

Kemarin, ia mengontakku,dan menagih sejumlah foto-foto sewaktu aku dan beberapa sahabat mengunjungi kampungnya di Tambelan. Tahukah kalian Tambelan? Oh, silahkan buka peta, sebab ini adalah The Heaven That Floating in The Water. Aku berjanji padanya untuk mengirimkan fotonya. Maka inilah sejumlah foto sahabatku, si Robbi van Tambelan itu. Termasuk sebuah foto ketika ia berdiri di pulau miliknya. Selamat menyaksikan...hihi





AKU punya sejumlah sahabat, tapi hanya satu dari mereka yang merupakan pewaris dari sebuah pulau...Aku menyebutnya Robbi van Tambelan...(hehe)

Minggu, 23 Maret 2008

Inilah Sejumlah Komentar di Blog Ini...

halo kawan...
asyik sekali memang ngomong tentang teori kesejahteraan..
lebih asyik lagi bermimpi tentang kesejahteraan..
mau tahu yang lebih asyik???
lupakan saja yang namanya kesejahteraan..
karena menjadi sejahtera belum tentu tahu tentang kesejahteraan..
karena tidak menjadi sejahtera juga belum tentu tahu bahwa kesejahteraan itu harus direbut..
karena itu tak usah berharap, kawan..
hanya mereka yang tidak pernah punya harapan yang tidak akan pernah punya tuntutan..
ya gak?

dari jogja dengan cinta,
salam,

yudha kusuma


selamat pagi kawan...

pagi hari yang menyengat,
embun pagi diterpa cahaya,
siapa bilang menjadi sejahtera itu hebat,
bila tak paham makna hidup bersahaja..

bunga kelapa namanya manggar,
dimakan tupai tinggal tangkainya,
masih papa sikapnya tegar,
sudah kaya tetap tak berpunya..

rumput hijau makanan ternak,
kacang hijau dimasak bubur,
tak sejahtera sampai beranak-pinak,
sakit sekali langsung dikubur..


bicara kesejahteraan sambil bertekak,
si sejahtera lawan si tak sejahtera,
sudah lupa anak beranak,
jangan lupa semua bersaudara..

ayo balas pantunnya...


salam,

Selasa, 18 Maret 2008

Kisah Kampung Penyadap Karet

INILAH kampung yang dihuni oleh para penyadap karet tangguh itu. Sekitar 50 kepala keluarga (KK) penghuni kampung itu mayoritas bekerja sebagai penyadap karet. Tapi hujan deras yang turun mengguyur bumi Bintan sejak sekitar setengah bulan terakhir membuat mereka kehilangan penghasilan sama sekali.

Hujan masih belum reda ketika Rozikin (39) menghidupkan sepeda motor Jepangnya berjalan keliling kampung. Hujan tak membuat langkah Rozikin surut. Lelaki yang berprofesi sebagai penyadap karet sekaligus merangkap ojek karet itu sudah setengah bulan terakhir nyaris kehilangan penghasilan. Hujan yang turun deras sepanjang hari membuat ia tak bisa pergi ke kebun dan menyadap karet.

Tapi Rozikin punya profesi sampingan. Ia menyebut profesi itu sebagai ngojek karet. Saban hari, setelah usai menyadap karet, Rozikin dengan bermodal sepeda motor Jepang dan keranjang rotan di jok belakangnya keliling kampung untuk mengambil karet-karet hasil sadapan warga. Kemudian karet itu ia bawa ke penampung di Batu 52, Jalan Tanjunguban. Maka profesi itu kemudian juga sekaligus memberi gelar baru pada Rozikin, yakni ngojek karet.

Mayoritas warga di Kampung Jibut, Desa Ekang Anculai, Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan memang berprofesi sebagai penyadap karet. Tapi tidak semua dari mereka yang memiliki kesempatan untuk langsung mengantar karet hasil sadapan itu ke penampung yang jaraknya sekitar 12 kilo meter dari kampung itu. Maka di situlah, setiap petang, mereka menunggu kedatangan Rozikin untuk mengambil hasil karetnya.

Tapi, sejak setengah bulan terakhir, pendapatan Rozikin menurun. Hujan membuat langkah orang kampung menjadi terbatas. Kebun-kebun getah mereka tak bisa diolah ketika hujan deras turun. Bukan karena warga tak berani menembus hutan getah dan menyadap karet, tetapi lebih karena persoalan alamiah yang tidak bisa mereka lawan. Ketika hujan turun, pohon-pohon getah tidak bisa maksimal memproduksi getah karet. Selain itu, memaksakan diri menyadap karet di musim hujan juga akan beresiko merusak pohon getah tempat sandaran hidup mereka itu. Karena itu, tak ada pilihan lain bagi para penyadap karet itu, kecuali berdoa kepada Tuhan dan meminta untuk hujan segera berlalu.

25 tahun sudah Rozikin menghabiskan waktu di kebun karet. Sebenarnya, sejak kecil ia sudah akrab dengan kebun karet. Namun profesi itu baru ditekuni secara serius oleh lelaki berkulit sawo matang itu sejak sekitar 25 tahun lalu. Ia menjalani profesi itu, karena memang hampir seluruh warga di kampung itu melakukan hal yang sama.

Sejarah kebuh getah di kampung itu memang masih terbilang baru. Dulunya, sebelum tahun 1980-an, seluruh kampung hijau oleh dedaunan gambir. Kala itu, komoditas gambir menjadi primadona utama usaha perkebunan rakyat di Tanah Bintan. Namun sejak permintaan terhadap komoditas ini mulai merosot di pasaran dunia, warga pun menebangi satu persatu pohon gambir dan menggantinya dengan pohon karet. Meski harganya tidak semahal gambir, tetapi mereka tidak punya pilihan lain.

Kini, sekilo karet hanya dihargai antara tujuh ribu sampai delapan ribu rupiah. Dalam sehari, bila memiliki lahan sekitar satu hektar dalam sehari mereka bisa mendapatkan lima sampai tujuh kilogram ojol. Ojol adalah istilah untuk karet yang belum diolah. Artinya, bila sekilo ojol seharga sekitar tujuh ribu, maka penghasilan warga kampung itu dalam sehari sekitar Rp 35 sampai Rp 49 ribu rupiah.

Namun kini hujan telah merengut penghasilan mereka. Dalam setengah bulan terakhir, para penyadap karet tangguh itu pun hanya mampu berdiam diri di rumah. Beberapa di antaranya malah memilih pergi ke tempat saudara mereka di kampung tetangga, sambil menunggu musim hujan berlalu. (trisno aji putra)

19 Tahun tak Pernah Beli Minyak Goreng

KENAIKAN harga minyak goreng yang tak terkendali telah menambah panjang beban kehidupan masyarakat kecil. Ini adalah kisah tentang kekagetan Suyati, seorang warga Kampung Jibut, Desa Ekang Anculai, Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan terhadap kenaikan harga minyak goreng yang sudah melewati ambang batas kewajaran itu.

Pekan lalu, untuk pertama kalinya dalam 19 tahun terakhir, Suyati pergi ke kedai kelontong di Simpang Lagoi, yang berjarak sekitar tujuh kilo meter dari rumahnya di pedalaman itu.

Tak seperti biasa, dalam daftar belanjaan yang tertuang di pikirannya, tertera minyak goreng. Padahal 19 tahun terakir Suyati tak pernah membeli komoditas ini. Bukannya ia tak pernah mengolah bahan makanan dengan cara menggoreng. Tapi Suyati punya cara yang lebih efisien, yakni memproduksi sendiri minyak goreng dari kelapa. Pola seperti ini dijalaninya selama 19 tahun terakhir, dari mulai ketika harga minyak goreng hanya beberapa ribu rupiah saja, sampai kemudian tembus ke angka belasan ribu.

“Saya kaget sekali, kok harganya sekarang sudah Rp 15 ribu ya,” kata Suyati. Ia ragu apakah sang pemilik toko kelontongan salah ucap, atau ia yang salah mendengar. Tapi setelah ia berusaha memastikan, baru wanita asal Pacitan, Jawa Timur itu paham bahwa harga minyak goreng sudah sulit dijangkaunya.

“Tapi karena butuh, tetap saya beli,” lanjut Suyati. Ia tak punya pilihan lain. Pohon-pohon kelapa di belakang rumahnya, karena di makan usia, sudah tak bisa berbuah lagi. Karena itu, ia pun tak bisa mengolah minyak kelapa sendiri.

Padahal selama 19 tahun, setiap dua bulan sekali, Suyati pergi ke kebun dan mengambil sekitar 50 butir kelapa. Setelah dibelah, kemudian bagian dalam kelapa itu diparutnya sendiri hingga kemudian diolah menjadi santan dengan cara mencampurkan air matang ke dalam hasil parutan tadi.

Setelah itu, santan akan didiamkan selama satu malam. “Besok paginya, minyak akan naik ke permukaan,” lanjut istri dari Untung Sugiarto ini. Baru setelah itu ia pun akan menciduk minyak tersebut dan menjerangnya di perapian sekitar setengah jam. Kemudian hasilnya, terwujudlah minyak kelapa, yang siap digunakan untuk menggoreng. “Rasanya lebih wangi dari minyak goreng,” kata Suyati lagi.

Di kawasan pedesaan di Pulau Jawa, memproduksi minyak goreng dari kelapa ini bukanlah barang baru. Namun untuk di Pulau Bintan, warga selama ini lebih mengandalkan minyak goreng curah hasil olahan pabrik. Sedikit sekali dari mereka yang mau bersusah payah untuk mengolah kelapa menjadi minyak goreng.

Sayang, di tengah kenaikan harga minyak goreng seperti saat ini, justru Suyati tidak bisa memproduksi sendiri minyak kelapa itu. Padahal apabila biji-biji kelapa masih berbuah di kebunnya, setidaknya Suyati dapat menghemat belanja sejumlah belasan ribu rupiah.

Tak hanya Suyati yang cukup terpukul dengan kenaikan komoditas ini. Sejumlah warga Kampung Jibut lainnya juga demikian. Di Tanjungpinang sendiri, pantauan Tribun, harga minyak goreng di pasar tradisional masih berkisar pada angka Rp 12 sampai Rp 13ribu per kilonya. Namun harga di Simpang Lagoi, yang berjarak sekitar 65 kilometer dari Tanjungpinang justru sudah menembus angka Rp 15 ribu.

Warga cukup khawatir akan rentannya komoditas ini terhadap kenaikan lagi. Namun mereka sejauh ini belum mengetahui bila akan ada rencana pemerintah pusat untuk mensubsidi kebutuhan minyak goreng rumah tangga miskin sejumlah Rp 2.500 per liter, dan maksimal dua liter dalam sebulan. Bila memang ada kebijakan seperti itu, mereka berharap dapat menikmatinya. (trisno aji putra)

Kamis, 13 Maret 2008

Pagi di Tambelan...



TAMBELAN adalah kumpulan perjalanan. Di gugusan pulau yang terkatung-katung di Laut Cina Selatan inilah, orang-orang berbicara tentang pagi yang memikat, anak-anak penyu yang berjalan tertatih menuju laut, dan sejuta harapan...ikuti kisah perjalanan ke Tambelan ini dalam posting selanjutnya (hehehe)

Jumat, 07 Maret 2008

Ketika Teori Kesejahteraan itu Pupus....




Pakcik Jamal (60) dengan tertatih mengambil air dari sebuah sumur tua berjarak sekitar setengah kilometer dari gubuknya. Foto ini diambil oleh sahabat saya Nurul Iman (Inyonk) sewaktu kami mendatangi Kampung Masiran, akhir Februari lalu. Juga ada foto Pakcik Kube dan istrinya di gubuk mereka, serta keseharian mereka yang bekerja sebagai pembuat sapu lidi. Satu buah sapu lidi hanya dihargai Rp 1.400. Padahal dalam satu hari, mereka hanya bisa membuat dua sapu lidi...

Kamis, 06 Maret 2008

Kemiskinan di Kampung Masiran...

WAKTU seperti berhenti di Kampung Masiran. Tidak ada bising kendaraan dan kesibukan kota, apalagi polusi udara. Yang ada hanya deret pohon kelapa, para pembuat sapu lidi, dan kemiskinan…

Lepas tengah hari, ruas Jalan Galang Batang tiba-tiba menjadi teka-teki. Tak ada penunjuk jalan yang pasti kecuali kubangan-kubangan raksasa bekas penggalian pasir. Setiap bertanya ke penduduk di mana letak Kampung Masiran, arah penunjuk jalan yang mereka gunakan adalah danau-danau bekas galian pasir itu. Padahal mungkin ada puluhan danau di situ, yang bentuknya nyaris sama dan luasnya rata-rata lebih dari dua kali lapangan sepak bola.

Namun pencarian kampung yang terkenal karena kemiskinannya itu berakhir di sebuah persimpangan jalan berpasir yang di sudutnya berdiri sebuah pos jaga. Rudi Hartono, anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) Galang Batang, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan siang itu baru pulang dari kantornya yang berjarak sekitar delapan kilometer dari persimpangan itu.

“Mari ikut di belakang saya,” kata Rudi bersahabat. Dua kilometer jalan tanah merah pun kemudian dilalui, hingga sampai pada rumah pertama. Di tengah jalan tadi, Rudi sempat berhenti untuk memberikan boncengan pada Vina dan Fida, dua gadis kecil dari Kampung Masiran yang sekolah di sebuah SD di Kangka, sekitar delapan kilometer dari kampung itu.

“Mereka tiap hari seperti itu. Kalau tak ada orang jemput, mereka numpang kendaraan yang lewat sampai simpang. Setelah itu jalan kaki dua kilometer ke kampung,” kata Rudi usai memarkir sepeda motor buatan Jepang di halaman rumah panggung miliknya.
Vina dan Fida relatif masih beruntung, karena masih bisa mengenyam bangku sekolah. Tapi sampai ke jenjang pendidikan yang mana mereka bisa tempuh, masih jadi teka-teki. Kawan-kawan Vina dan Fida banyak yang putus sekolah. Bahkan ada yang sama sekali tidak pernah bangun pagi dan merasakan nikmatnya pakai sepatu baru berangkat ke sekolah.

Kampung dengan penduduk sekitar 37 kepala keluarga, atau lebih dari 100 jiwa itu memiliki tradisi pendidikan yang buram. Puluhan tahun, dari generasi berganti generasi, dari mulai sekolah bayar sampai biaya sekolah menjadi agak ringan karena ada dana bantuan operasional sekolah (BOS), baru ada satu penduduk asli kampung itu yang bisa menyelesaikan bangu madrasah tswanawiyah (MTs), setingkat SMP. Selebihnya, terpaksa berkubang dengan keringat menjadi nelayan, buruh bangunan, atau merantau ke Tanjungpinang yang juga kadang tak bisa memberikan mereka pekerjaan yang layak.
Maka hanya Syamsul Bahri-lah yang kemudian berhasil mengukir namanya di selembar ijazah MTs. Ia putra Ibu Rustati, seorang wanita berusia lebih dari 50 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai pembuat sapu lidi dari daun kelapa. Setelah Syamsul Bahri tamat, tidak ada lagi pemuda kampung yang ikut jejaknya.

Bahkan untuk Iwan kecil, seorang bocah kampung lainnya, tak pernah sekali pun merasakan nikmatnya mengeja “ini Budi dan ini ibu Budi”. Yang ia kenal hanyalah kambing-kambing tetangga yang saban hari kandangnya ia bersihkan. Dari sanalah ia mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membantu ayah ibunya yang telah renta.
Iwan tak bisa baca tulis, termasuk tak tahu umurnya kini sudah berapa. Saat ditanya persoalan itu, keningnya mengernyit. Pertanyaan umur adalah pertanyaan pelik bagi anak kampung seperti Iwan. “Kami sangat berharap ada program Kejar Paket A untuk anak-anak putus sekolah di kampung ini,” kata Rudy.

Memang, sejak beberapa bulan lalu, sudah digelar program Paket A untuk warga kampung. Namun itu masih sebatas untuk para orangtua saja. Sementara jumlah anak putus sekolah di kampung itu ada belasan.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bintan Ismail yang dikonfirmasi melalui ponselnya mengatakan bahwa sangat mungkin program Paket A maupun B untuk anak putus sekolah digelar di kampung itu. Saat ini, kata Ismail, pihaknya sedangmelakukan pendataan melalui kecamatan. “Sekitar Juni nanti programnya sudah bisa berjalan,” kata Ismail lagi.

Namun, untuk Kampung Masiran, sepengetahuan Rudi, sampai saat ini belum ada pendataan anak-anak putus sekolah. Ia begitu berharap, Juni nanti akan ada tenaga pengajar yang datang ke kampung itu untuk mengajari anak kampung baca-tulis.

Hidup dari Batangan Sapu Lidi

MUSIM angin utara yang terus berlangsung sejak November lalu menyurutkan warga Masiran untuk turun ke laut. Kini, mereka hanya mengais rezeki sebagai pembuat sapu lidi dari daun kelapa.

Bagi anak-anak sekolah, sapu lidi dari daun kelapa mungkin hanya sekedar pra karya menjelang kenaikan kelas. Tapi bagi Nyonya Sunah, Pakcik Kube, atau Nyonya Rustati, sapu lidi itu kemudian adalah sandaran hidup.

Petang yang semakin dekat di Kampung Masiran Rabu (27/2) kemarin dilalui Sunah (52) dengan memotong daun kelapa. Dari tiap helai daun itu, ia mengambil batang kecilnya, yang kemudian satu persatu dikumpulkan dan diikat hingga menjadi sapu lidi. “Sejak pagi hingga malam saye bikin sapu lidi ni,” kata Sunah, yang berasal dari Pulau Mantang Riau yang sejak kecil sudah menetap di Kampung Masiran, Desa Galangbatang, Kecamatan Gunungkijang, Kabupaten Bintan.

Dalam sehari, bersama suaminya, Pakcik Jamal (60), Sunah bisa membuat empat ikat sapu lidi yang masing-masing besarnya seukuran dua genggaman orang dewasa. Sapu-sapu itu ia kumpulkan, sambil menunggu seorang tauke datang dari Kawal. Biasanya sang tauke datang sekitar 20 hari sekali. Namun adakalanya ia juga bisa datang dua kali sebulan.

Seikat sapu lidi dijual Sunah seharga Rp 1.400. Artinya bila sehari bisa membuat empat ikat, penghasilan Sunah hanya Rp 5.600. Padahal saat ini, ketika pemerintah tak bisa lagi mengendalikan harga sembako yang melonjak sejak awal tahun 2008 ini, sekilo beras harganya sudah di atas lima ribu. Dulu memang ada beras raskin yang harganya sekilo sekitar Rp 1.500. Namun sayang, kini beras jatah kaum miskin itu sudah tak singgah lagi di Masiran.

Sunah dan Jamal masih lumayan, karena bisa membuat empat ikat sapu dalam sehari semalam. Tapi lihatlah Pakcik Kube (sekitar 60 tahun), dalam sehari bersama sang istri, ia hanya bisa membuat dua ikat sapu. Artinya sehari ia hanya akan mendapatkan uang Rp 2.800, atau hanya seharga dua bungkus kecil pembersih rambut yang iklannya kerap muncul di layar televisi itu. Baik Kube dan Jamal sendiri sudah tak bisa turun lagi ke laut. Selain ombak yang teramat ganas di musim utara, mereka juga telah sepuh.

Maka dengan caranya sendiri, diam-diam daun-daun kelapa yang tumbuh liar di tepi pantai menjadi juru selamat bagi orang-orang Masiran. Dari sekitar 37 kepala keluarga (KK) yang hidup di kampung itu, sekitar 20 KK di antaranya bergantung pada batang demi batang sapu lidi itu.

Bahkan Rustati telah membuat sapu lidi sejak sekitar 20 tahun lalu, saat harganya seikat hanya Rp 25 saja. “Sekarang dah Rp 1.400. Kami pon nak minta naik lagi jadi Rp 1.500. Saye nak bikin rumah sendiri. Sekarang masih menumpang di rumah anak,” kata ibu dari enam orang anak ini.

Mimpi-mimpi tentang kesejahteraan mungkin sudah lama mereka buang jauh-jauh. Kube, Jamal, Sunah, atau Rustati kini hidup dengan lebih menyuburkan semangat dan berdoa agar batang demi batang kelapa di kampung itu masih tumbuh subur. Sebab kalau kelapa sudah berhenti tumbuh, maka berhenti pula denyut nadi kehidupan di kampung itu.
Tanah Kampung Masiran sejak 20 tahun lalu menjelma menjadi rawa. Air naik sampai jauh ke darat, ke bawah rumah panggung mereka ketika musim utara. Dulu, ketika Kube atau Jamal masih kecil, orangtua mereka masih bisa menanam ubi jalar, sayur mayur, juga cabai. Tapi kini, jangankan sayur, ilalang pun sudah mulai enggan tumbuh. Hanya bakau-bakau saja yang semakin subur.

Di tanah yang seperti itu, air bersih kemudian menjadi barang langka. Penduduk kampung hanya mengandalkan sebuah sumur tua di ujung kampung. Namun air jernih itu lebih banyak kandungan garamnya. “Sampai di dasar sumur, ketam pun bisa hidup,” kata Rudi Hartono, anggota BPD Desa Galang Batang yang tinggal di kampung itu.
Petang itu, di seruas jalan berlumpur menuju pantai, kami melihat Pakcik Jamal tengah menggendong dua buah jeligen yang terisi air. Begitu melihat ada orang asing berjalan ke arahnya, Pakcik Jamal justru sembunyi di balik sebatang pohon kelapa tua. “Dia meang agak takut bertemu orang asing,” kata Rudi. Setelah dipanggil berkali oleh Rudi, baru Pakcik Jamal keluar dari persembunyiannya.

Tiap hari Pakcik Jamal bersama Sunah harus bolak balik ke sumur yang jaraknya sekitar 500 meter dari belakang gubuk mereka. “Kalau nak mandi, kami mesti ke sumur tu,” kata Jamal.

Lima Tahun Bermimpi Punya Surau

SETIAP Jumat pagi, mereka berjalan delapan kilometer (KM) untuk mencapai masjid terdekat. Lima tahun warga kampung bermimpi untuk punya surau kecil di tengah kampung. Tapi mimpi itu belum teraih.

Berhenti sudah aktivitas membuat sapu lidi dari daun kelapa di tiap Jumat pagi. Pakcik Kube memakai baju terbaik yang pernah dimilikinya. Sejak pagi, ia sudah siap-siap. Tepat sekitar pukul 09.00 WIB, ia sudah melangkahkan kaki meninggalkan gubuknya. Pakcik Kuber berjalan sejauh delapan kilometer untuk bertemu Tuhan, menunaikan ibadah wajib Shalat Jumat di masjid terdekat.

Sebuah sepeda balap tergantung di dinding rumahnya. Sepeda itu sudah menjadi barang rongsokan dan tidak bisa dipergunakan Pakcik Kube untuk sampai ke masjid. “Saye harus jalan kaki. Tapi kalau pulang, biasanye ade tumpangan,” kata Pakcik yang jujur mengaku tidak tahu umurnya sudah setua apa saat ini. “Saye tak paham berape umur saye, Pak. Terserah Bapak nak buat berape, buat sajelah,” kata Pakcik Kube, tersenyum, lalu menghisap sebatang tembakau yang dilinting dengan kertas. Namun menurut orang kampung, diperkirakan Pakcik Kube sudah berusia sekitar 60 tahun.

Maka tiap Jumat pagi datang, Pakcik Kube pun sudah bersiap-siap mendatangi rumah Tuhan dengan berjalan kaki. Dari jalan tanah merah, ia lewati jalan berpasir, jalan aspal yang lenggang dan meliuk-liuk. Langkah Pakcik bertubuh mungil ini pelan, tak segesit dulu ketika masih muda. Sambil berjalan kaki, kadang ia memanjatkan doa pada Tuhan, agar kelak, di kampungnya, akan terbangun sebuah surau kecil.

Mimpi tentang sebuah surau kecil di tengah kampung tak hanya mimpi Pakcik Kube saja. Mimpi itu kemudian juga menjadi mimpi Pakcik Jamal, Pakcik M Ali, Rudi Hartono, serta orang-orang di kampung yang dihuni sekitar 37 kepala keluarga itu.

Muhammad Ali (50), seorang warga kampung, bahkan dengan keikhlasannya tersendiri telah menyerahkan sepetak tanah berukuran 20 kali 20 meter untuk lokasi pembangunan surau. Ia punya lahan seluas satu hektar yang ditumbuhi pohon kelapa. Namun karena ia juga punya mimpi yang sama dengan Pakcik Kube, maka beberapa waktu silam, ia pergi ke hutan dan mencari empat tiang kayu. Kemudian dipatoknya kayu di empat sudut tanah yang ia wakafkan untuk pembangunan surau.

Ali lahir di kampung itu. Almarhum ayahnya berasal dari Pacitan, Jawa Timur. Tentara Jepang yang membawa ayahnya ke Pulau Bintan. Lantas sepeninggalan Jepang, ayahnya bertemu dengan ibunya di kampung ini. Mereka pun menikah, dan lahirlah Ali. “Jadi yang membuat ayah saya sampai di kampung ini, karena dibawa Jepang,” kata Ali sambil membonceng Tribun di sepeda motor buatan Jepang miliknya.

“Ini lokasi pembangunan surau itu,” kata Ali, setelah turun dari sepeda motor. Lokasinya sengaja dipilih persis di tengah kampung, agar mudah dijangkau warga. Tanah sepetak yang masih ditumbuhi ilalang dan pohon kelapa itu itu berada persis di pinggir jalan tanah merah yag membelah kampung.

Atas nama mimpi kecil itulah, warga desa tergerak untuk membentuk panitia pembangunan surau. Sudah beberapa kali berganti kepengurusan, belum bisa mimpi itu diraih. Kini yang dipercaya sebagai Ketua Panitia pembangunan surau adalah Bang Simadupa. “Nanti kami juga ingin membikin taman pendidikan Al-Quran (TPA) di masjid itu,” kata Simadupa yang terkenal sebagai pelaut ulung di kampung itu. Ada belasan anak kampung yang tak saja putus sekolah karena kemiskinan, tetapi juga sekaligus belum bisa baca tulis Al-Quran.

Sejak beberapa bulan lalu, warga pun melalukan inisiatif untuk mengumpulkan dana pembangunan surau. Tapi apalah daya mereka, yang sehari-hari hanya bekerja sebagai nelayan tradisional dan pembuat sapu lidi. Maka setelah hampir setahun, dana yang terkumpul pun baru Rp 2,6 juta. Padahal untuk bangun surau ukuran enam kali enam di tengah harga-harga bahan bangunan yang meroket seperti saat ini, diperkirakan bisa menembus angka Rp 30 juta.

Tiga Rumah Nyaris Roboh

INILAH akhir dari kisah tentang pupusnya mimpi-mimpi kesejahteraan di Tanah Masiran. Selain hidup serba kekurangan, delapan rumah warga pun masuk kategori tak terlalu layak huni.

Dari delapan rumah itu, tiga di antaranya bahkan sudah masuk kategori emergency, alias sewaktu waktu bisa roboh bila diterjang angin kencang. “Ada delapan rumah yang sudah tak layak huni lagi,” kata Rudi Hartono, anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) Gunungkijang. Pakcik Kube dan Pakcik Jamal, dua dari tiga pemilik rumah-rumah itu bercerita tentang angin yang sangat mereka khawatirkan.

“Kalau angin bertiup, sudah seperti pakai AC (air conditioner), Pak,” kata Pakcik Kube berseloroh. Ia punya cara tersendiri untuk membahasakan kepedihan hidupnya. AC yang dimaksud Pakcik bersusia sekitar 60 tahun itu adalah angin yang menerobos dari lubang-lubang yang banyak muncul di dinding rumah panggungnya.

Tapi bukan persoalan angin masuk ke dalam rumah yag dirisaukan Pakcik Kube. Adalah tiang penyangga rumah yang sudah mulai lapuk setinggi dua meter itulah yang jadi pangkal masalah. Bila angin kencang bertiup, rumah itu pun bergoyang, seperti sebuah sampan yang terhantam ombak kecil di pinggir pantai.

Pakcik Kube tentu merasa khawatir. Karena itu, ia pergi ke hutan dan mengambil beberapa tongak kayu untuk mengganjal panggung rumahnya. Rumah panggung yang separuh beratap rumbia dan separuh asbes bocor itu tingginya sekitar dua meter dari permukaan tanah. Kalau hujan, air pun menerobos atap dan masuk menggenagi lantai rumah yang terbuat dari papan, yang juga nyaris di seluruh bagiannya sudah bocor-bocor.

Bukan untuk membandingkan, tapi ternyata, separah-parahnya rumah Pakcik Kube, masih lebih parah lagi rumah Pakcik Jamal, yangberjarak sekitar 100 meter dari rumah Pakcik Kube. Bila rumah pakcik Kube masih memiliki dua kamar tidur, rumah Pakcik Jamal sama sekali tak ada.

Yang ada hanyalah sebuah ruangan seukuran sekitar tiga kali empat meter saja. Di sana Pakcik Jamal dan istrinya, Makcik Sunah bekerja, memasak, menyimpan pakaian, dan sekaligus tidur.

Makcik Sunnah sedang membenarkan jala ketika kami datang. Ia tak mau terlalu bercerita tentang kepedihan hidupnya. Namun dari garis-garis wajah wanita asal Pulau Mantang itu, tergambar betapa nyaris di seluruh umurnya yang kini sudah lebih dari 50tahun itu, ia sudah bekerja teramat keras, dari mulai menjadi tukang pembuat lidi, cari ikan ke laut, hingga apa saja. Pakcik Jamal tak ada di rumah ketika kami dating. “Ia sedang mengambil air,” kata Makcik Sunah.

Air bersih kemudian juga menjadi persoalan bagi warga kampung. Tanah kampung yang berbatasan dengan laut itu payau. Sumur warga pun berair payau, alias bening tapi rasanya asin. Hanya ada satu sumur yang kini diandalkan warga, yakni sumur di tepi pantai, yangjaraknya sekitar 500 meter dari rumah Pakcik Jamal. Meski airnya tetap terasa asin, tapi menurut warga, masih lebih baik kondisinya dibanding sumur lain di kampung itu.

Kami pergi menyusuri jalan tanah berlumpur untuk menemui Pakcik Jamal. Langkah kami terhenti sewaktu melihat lelaki yang sudah renta berusia sekitar 60 tahun itu tengah menggendong dua jeligen air. “Tiap hari kalau air habis, saye pergi ambil air,” kata Pakcik Jamal sambil berjalan pelan menyusuri rawa-rawa yang dipenuhi rerimbunan bakau itu.

Itulah Tanah Masiran, yang kepadanya 37 kepala keluarga masih menyimpan mimpi dan kenangan. Sesulit apapun hidup di kampung itu, tapi mereka tak bisa beranjak pergi, karena memang sejumlah kenangan, meskipun pahit, telah mereka ukur di atas tanah berawa itu. (trisno aji putra)