Rabu, 27 Februari 2008

Kisah Semangkuk Bubur Asyura


ZAMAN boleh berganti. Makanan cepat saji sekelas piza sampai hamburger, juga mie instant boleh saja menjadi bagian keseharian mereka. Tapi tiap 11 Muharram, ada satu menu yang selalu lekat dalam ingatan mereka: bubur asyura. Ini adalah kisah bagaimana orang-orang Tambelan di Tanjunginang dengan setia menjaga tradisi itu.


ADA kesibukan luar biasa yang berlangsung sejak pagi di rumah Ajis Saleh (72), seorang sesepuh masyarakat Tambelan di Tanjungpinang sejak Kamis (17/1) kemarin. Bahan makanan dari berbagai jenis tertumpuk di pojok dapur rumah yang berada di kawasan Jalan Sukarno-Hatta itu.

Tak tanggung-tanggung, lebih dari 40 jenis makanan, dari mulai beras, ubi, kelapa, kentang, keledek, hingga keladi dan labu ada di antara tumpukan bahan makanan itu. “Ini untuk mempersiapkan bubur asyura,” kata Ajis, yang merupakan pensiunan pegawai negeri di Dinas Pendidikan Kabupaten Bintan.

Sebenarnya kesibukan mempersiapkan pembuatan bubur asyura ini bukanlah hal yang baru bagi keluarga ini. Sejak tahun 1976, sewaktu Ajis dan keluarga masih tinggal di kawasan Teluk Keriting, Tanjungpinang, tradisi seperti ini sudah dimulai.

Tapi ada yang berbeda dengan yang terjadi pada tahun ini. Jemaah Masjid As-Shobirin, masjid yang berjarak satu gang dari rumah Ajis memintanya untuk membuat bubur asyura. Waktu itu, jemaah masjid mengadakan rapat. Kemudian usulan disampaikan ke Wakil Gubernur Provinsi Kepri M Sani, yang rumahnya persis di samping masjid yang berlokasi di Jalan Cempedak itu. Sani pun menyambut baik ide tersebut. Setelah itu dikirimlah seorang utusan untuk menemui Ajis. Rencananya bubur asyura akan disajikan ada 11 Muharram, atau jatuh pada Sabtu (20/1) besok. Istri Ajis, Mishbach (60) pun ditunjuk sebagai koordinator tim pembuatan bubur asyura tersebut.

“Dulu tidak pernah. Ini memang baru yang pertama kali,” kata Ajis. Tahun-tahun sebelumnya, tradisi ini hanya dilangsungkan di rumah Ajis saja. Usai menjalankan ritual puasa pada 9-10 Muharram, seluruh sanak kerabat dan handai taulan serta warga Tambelan yang merantau di Tanjunginang diundang untuk datang ke rumah Ajis. Mereka disuguhkan bubur yang terbuat dari campuran lebih dari 40 jenis bahan makanan ini.

Dari menjelang tengah hari hingga petang, satu persatu tamu datang. Tak kurang ada 100 orang lebih yang datang tahun lalu. “Biasanya disejalankan dengan arisan ibu-ibu warga Tambelan,” kata Ajis yang juga pernah menjadi penilik Kebudayaan sewaktu bertugas di Tambelan.

Bubur asyura memang kemudian menjadi simbol, bagaimana warga Tambelan yang merantau ke Tanjungpinang tetap menjaga rasa kekeluargaan mereka. Tak sekedar datang dan mencicipi sendok demi sendok bubur tersebut, tapi mereka juga saling berbagi cerita, sekedar melepaskan rindu pada kampung halaman mereka yang terpisahkan sekitar 20 jam lebih perjalanan dengan menggunakan kapal laut dari Tanjunginang.

Dan bubur asyura sekaligus menjadi penanda bahwa rasa gotong royong masih mereka simpan. Biasanya, sebelum dimulai pembuatan bubur tersebut, sekitar tiga hari sebelum tanggal 11 Muhharram, warga Tambelan satu persatu datang ke rumah Ajis untuk menyumbang berbagai jenis makanan. Ada yang membawa beras, ubi, bahkan ikan. Setelah itu, Mishbach-lah yang kemudian menggolah seluruh bahan makanan itu menjadi bubur asyura yang memiliki cita rasa eksotis tersendiri.

Namun proses pembuatannya tak bisa dibilang mudah. Satu persatu bahan diramu dan kemudian diaduk hingga memiliki cita rasa yang khas. Seperti misalnya untuk ikan yang menjadi satu dari lebih 40 campuran bubur tersebut. Ikan yang dipilih adalah dari jenis tertentu, seperti Ikan Jahan atau Ikan Tamban. “Tapi ikan-ikan itu akan diolah. Hingga sewaktu menjadi bubur, sudah tidak nampak lagi dagingnya. Tapi rasa bubur itu memiliki rasa ikan,” kata Ajis.

Karena rumitnya roses pengolahan itulah, maka minimal dibutuhkan waktu tiga hari sebelum saat penyajian, Mishbach sudah bekerja. Kamis malam, jam dinding di rumah Ajis memang sudah bergerak ke angka 10 lebih. Namun seorang putrinya, Aria Setiani masih tampak memegang pisau dan mengupas bawang. Disamping rumah, sebuah dapur darurat sudah dibuat oleh anak-anak Ajis lainnya. Mereka bahu membahu menyelesaikan hidangan yang hanya muncul sekali setahun itu.

BUBUR ASYURA TERNYATA TAK SEKEDAR JENIS HIDANGAN MAKANAN BIASA. Lebih dari sekitar 500 tahun yang lalu, orang-orang Tambelan yang pulang dari menunaikan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah, Arab Saudi, membawa oleh-oleh. Oleh-oleh itu berupa ingatan mereka tentang satu jenis makanan lezat yang mereka lihat di Mekkah: bubur asyura.

Sesampainya di Tanah Tambelan, ingatan itu un mereka wujudkan. Siapa orang yang pertama kali membuat bubur asyura di Tambelan, mungkin sudah sulit melacaknya. Tapi, keinginan mereka untuk menjaga tradisi yang berkembang sewaktu zaman Nabi Muhammad menyebarkan Islam di Tanah Arab, membuat bubur ini pun pergi jauh, melintasi samudra, sampai ke Tambelan, yang berjarak ratusan mil dari Mekkah.

Dari berbagai literatur Islam, ternyata usia bubur asyura terbilang tua. Jenis makanan seperti ini sudah ditemukan lebih dari seribu tahun yang lalu. Kemunculan bubur asyura ada periode awal terjadi sewaktu zaman perang Tabuk, yang diperkirakan sekitar tahun kedua hijriyah. Ajis Saleh (72), seorang sesepuh warga Tambelan di Tanjungpinang membuka beberapa literatur untuk menjelaskan seputar awal berkembangnya tradisi pembuatan bubur asyura, yang ternyata berkembang sampai di Tambelan.

Bubur asyura ternyata menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan peringatan Hari Asyura yang jatuh ada 10 Muharram. Dalam Islam, setidaknya ada beberapa kejadian menunjukkan bahwa ada 10 Muharram tersebut, terjadi peristiwa-persitiwa besar. Di antaranya adalah diyakini sebagai hari selamatnya Nabi Nuh dari banjir besar yang melanda negeri. Juga sekaligus hari keluarnya Nabi Yunus dari perut ikan Nun. Selain itu, pada 10 Muharram, juga terjadi peristiwa lepasnya Nabi Ibrahim dari hukuman pembakaran yang dilakukan oleh Namruz. Juga sekaligus tanggal tersebut menandakan sebagai hari dibebaskannya Nabi Yusuf dari penjara.

Karena banyaknya momen penting yang terkait dengan 10 Muharram, maka umat muslim pun kemudian dianjurkan untuk berpuasa dan membaca sejumlah doa. Menjelang akhir hidupnya, Nabi Muhammad SAW, pun bahkan sempat menyarankan umat Islam agar berpuasa ada tanggal 9 sampai 10 Muharram.

Lantas apa kaitan Hari Asyura dengan bubur asyura? Ternyata tradisi membuat bubur asyura berkembang pada masa setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Kemunculan bubur asyura terjadi pada masa para sahabat, yang meneruskan penyebaran agama Islam periode setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Waktu itu, para sahabat terpikir, selain berpuasa, juga dianjurkan untuk membuat makanan yang bisa dikonsumsi secara bersama-sama. Lama kelamaan, makanan ini diubah sedemikian rupa sehingga setiap orang yang mampu dan mau menyumbang, dianjurkan membawa bahan makanan.

Namun akar kemunculan jenis makanan yang berbentuk sedikit kental itu sebenarnya terjadi di tengah berlangsungnya perang Tabuk yang berlangsung pada bulan Muharram. “Saat itu terjadi krisis makanan. Sehingga oleh Nabi, makanan yang tersisa diminta untuk diolah menjadi bubur. Namun karena masih kurang juga, akhirnya Nabi membuat kebijakan, beliau sendiri yang membagikan bubur itu sehingga seluruh orang yang ada kebagian,” kata Ajis.

Karena kejadiannya dibulan 10 Muharram, dan bulan tersebut bulan Asyura, maka disebutlah bubur ini sebagai bubur asyura.

DARI TANAH SUCI MEKKAH, bubur asyura melintasi samudra hingga sampai di Tanah Tambelan. Menjelang Hari Asyura, nelayan pergi ke laut mencari ikan, petani memanen sayur dan ubi di kebun, lalu mereka membawa ke rumah seorang warga untuk diolah menjadi bubur asyura. Semua berlangsung tanpa pamrih.

Puluhan mil dari rumah Ajis Saleh (72), di Tambelan, berlangsung kesibukan yang sama. Mereka tengah mempersiapkan bubur asyura untuk dihidangkan pada 11 Muharram, atau (20/1) kemarin. Namun ada yang mulai berubah kini. Setelah hukum ekonomi semakin berkembang, maka tak semua bahan-bahan pembuatan bubur asyura diperoleh cuma-cuma.

Ajis masih ingat, puluhan tahun silam sewaktu ia masih menetap di Tambelan. Menjelang pembuatan bubur asyura, para nelayan pun turun ke laut menangkap Ikan Jahan dan Ikan Tamban. Para petani di kawasan perbukitan turun membawa hasil panen sayuran.

Bahkan ada satu jenis ikan yang diburu oleh nelayan kampung menjelang acara pembuatan bubur asyura tersebut. Ikan itu dikenal dengan nama Ikan Utin, yang merupakan jenis ikan karang. Memang membeli bahan-bahan makanan untuk membuat bubur asyura tak dilarang dalam tradisi orang-orang Tambelan. “Boleh beli. Tapi kalau mencari sendiri, tak banyak mengeluarkan uang,” lanjut Ajis.

Bagi mereka yang dikenal jago memancing, justru warga meminta kesediaannya untuk turun melaut guna mencari ikan Jahan. “Tapi kalau di Tanjunginang, kita terpaksa membeli semuanya,” lanjut Ajis yang terlahir di Tambelan namun kini bermukim di Tanjungpinang ini.

Mereka mengantar semua bahan makanan tersebut ke rumah seorang warga. Di Tambelan, awalnya bubur asyura dihidangkan di masjid. Namun lama kelamaan, di setiap kampung, dipilih satu rumah untuk membuatan bubur asyura. “Satu kampung, satu rumah,” kata Ajis. Rumah yang terpilih, biasanya adalah rumah-rumah warga yang memiliki sedikit kemapanan ekonomi serta kaum perempuannya dikenal pintar memasak. Namun bila tidak pintar memasak, mereka bisa mendatangkan orang yang ahli untuk pembuatan jenis makanan ini.

“Kemudian bisa juga, orang yang dikenal di kampung itu. Misalnya seperti Datuk Kaya,” lanjut Ajis. Proses pembuatannya dikerjakan secara beramai-ramai. Minimal, 40 jenis bahan makanan dikumpulkan, dari muai beras, ubi, labu, sayur mayur, kelapa, kacang kedelai dan lainnya. Selain bahan untuk membuat bubur, juga diperlukan bahan pelengkap untuk pembuatan pelembut dan serunding.

Setelah bubur selesai, maka orang satu kampung pun dipanggil untuk mencicipi hidangan tersebut. Biasanya acara makan-makan akan digelar menjelang atau selesai sholat zuhur setia tanggal 11 Muhharam. Kalau kebiasaan di Kampung Ujung, Tambelan, acara suguhan hidangan bubur asyura akan digelar di Gedung Bintang Timur atau Sabda Bertuah, sebuah tempat yang sering difungsikan laiknya gedung pertemuan tersebut.

Setelah munculnya era perantauan orang-orang Tambelan menuju Tanjungpinang, tradisi seperti ini tetap mereka jaga. Setidaknya ada dua keluarga yang tetap melangsungkan tradisi ini di tanah perantauan mereka di Tanjungpinang. Selain Keluarga Haji Ahmad Mubara yang bermukim di kawasan Jalan Mawar, Kampung Tambak waktu itu, juga ada keluarga almarhum Muhammad bin Arif beserta amarhumah istrinya Suraibah bin Haji Abdul Rani yang bermukim di Teluk Keriting. Sebelumnya, sewaktu masih bermukim di Kampung Ujung, Tambelan, keluarga inilah yang memimpin pembuatan bubur asyura. Sewaktu merantau ke Tanjunginang pada tahun 1976, tradisi ini tetap diteruskan.

Sewaktu proses pembuatan, telah menjadi kebiasaan orang-orang Tambelan yang ekonominya sedikit lebih untuk menyumbangkan bahan-bahan makanan untuk membuat bubur tersebut. Setelah meninggalnya Suraibah, kemampuan membuat bubur asyura ini diwariskan kepada anaknya Mishbach (60), yang merupakan istri Ajis. Kini Mishbach lah yang melanjutkan tugas sebagai penjaga tradisi itu. Ilmu itu perlahan ia turunkan kepada Aria Setiani, seorang putrinya. Dulu, Mishbach juga mendapatkan ilmu ini dari warisan keluarganya. Kini di tengah zaman yang semakin cepat berubah, mereka masih tetap setia mempertahankan tradisi itu. (trisno aji putra)

Tidak ada komentar: