Selasa, 18 Maret 2008

Kisah Kampung Penyadap Karet

INILAH kampung yang dihuni oleh para penyadap karet tangguh itu. Sekitar 50 kepala keluarga (KK) penghuni kampung itu mayoritas bekerja sebagai penyadap karet. Tapi hujan deras yang turun mengguyur bumi Bintan sejak sekitar setengah bulan terakhir membuat mereka kehilangan penghasilan sama sekali.

Hujan masih belum reda ketika Rozikin (39) menghidupkan sepeda motor Jepangnya berjalan keliling kampung. Hujan tak membuat langkah Rozikin surut. Lelaki yang berprofesi sebagai penyadap karet sekaligus merangkap ojek karet itu sudah setengah bulan terakhir nyaris kehilangan penghasilan. Hujan yang turun deras sepanjang hari membuat ia tak bisa pergi ke kebun dan menyadap karet.

Tapi Rozikin punya profesi sampingan. Ia menyebut profesi itu sebagai ngojek karet. Saban hari, setelah usai menyadap karet, Rozikin dengan bermodal sepeda motor Jepang dan keranjang rotan di jok belakangnya keliling kampung untuk mengambil karet-karet hasil sadapan warga. Kemudian karet itu ia bawa ke penampung di Batu 52, Jalan Tanjunguban. Maka profesi itu kemudian juga sekaligus memberi gelar baru pada Rozikin, yakni ngojek karet.

Mayoritas warga di Kampung Jibut, Desa Ekang Anculai, Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan memang berprofesi sebagai penyadap karet. Tapi tidak semua dari mereka yang memiliki kesempatan untuk langsung mengantar karet hasil sadapan itu ke penampung yang jaraknya sekitar 12 kilo meter dari kampung itu. Maka di situlah, setiap petang, mereka menunggu kedatangan Rozikin untuk mengambil hasil karetnya.

Tapi, sejak setengah bulan terakhir, pendapatan Rozikin menurun. Hujan membuat langkah orang kampung menjadi terbatas. Kebun-kebun getah mereka tak bisa diolah ketika hujan deras turun. Bukan karena warga tak berani menembus hutan getah dan menyadap karet, tetapi lebih karena persoalan alamiah yang tidak bisa mereka lawan. Ketika hujan turun, pohon-pohon getah tidak bisa maksimal memproduksi getah karet. Selain itu, memaksakan diri menyadap karet di musim hujan juga akan beresiko merusak pohon getah tempat sandaran hidup mereka itu. Karena itu, tak ada pilihan lain bagi para penyadap karet itu, kecuali berdoa kepada Tuhan dan meminta untuk hujan segera berlalu.

25 tahun sudah Rozikin menghabiskan waktu di kebun karet. Sebenarnya, sejak kecil ia sudah akrab dengan kebun karet. Namun profesi itu baru ditekuni secara serius oleh lelaki berkulit sawo matang itu sejak sekitar 25 tahun lalu. Ia menjalani profesi itu, karena memang hampir seluruh warga di kampung itu melakukan hal yang sama.

Sejarah kebuh getah di kampung itu memang masih terbilang baru. Dulunya, sebelum tahun 1980-an, seluruh kampung hijau oleh dedaunan gambir. Kala itu, komoditas gambir menjadi primadona utama usaha perkebunan rakyat di Tanah Bintan. Namun sejak permintaan terhadap komoditas ini mulai merosot di pasaran dunia, warga pun menebangi satu persatu pohon gambir dan menggantinya dengan pohon karet. Meski harganya tidak semahal gambir, tetapi mereka tidak punya pilihan lain.

Kini, sekilo karet hanya dihargai antara tujuh ribu sampai delapan ribu rupiah. Dalam sehari, bila memiliki lahan sekitar satu hektar dalam sehari mereka bisa mendapatkan lima sampai tujuh kilogram ojol. Ojol adalah istilah untuk karet yang belum diolah. Artinya, bila sekilo ojol seharga sekitar tujuh ribu, maka penghasilan warga kampung itu dalam sehari sekitar Rp 35 sampai Rp 49 ribu rupiah.

Namun kini hujan telah merengut penghasilan mereka. Dalam setengah bulan terakhir, para penyadap karet tangguh itu pun hanya mampu berdiam diri di rumah. Beberapa di antaranya malah memilih pergi ke tempat saudara mereka di kampung tetangga, sambil menunggu musim hujan berlalu. (trisno aji putra)

1 komentar:

pintusukses mengatakan...

Kami sedang membutuhkan karet sheet rakyat dalam jumlah banyak dengan syarat :
- spec. sheet rakyat
- packing 50 kg/bales
- min. pembelian 18500 kg/370 bales
- pembayaran tunai
silahkan kirimkan penawaran ke email: james_monas@ymail.com