Senin, 19 Oktober 2009

The Letter to My Children .... (1)

ANAKKU, setiap kepergian selalu akan melahirkan kehilangan. Dan kehilangan itu selalu berawal dari sebuah kenangan tentang tawa, canda, dan juga harapan.

Apa yang kemudian kita harapkan dari perjalanan ini, ternyata hanya satu, Anakku: pulang. Dan pada setiap kepergian, selalu ada kata pulang. Tak banyak oleh-oleh dari seorang pejalan yang kesepian, Anakku, kecuali kisah dan cerita, tentang kegetiran hidup; tentang kebahagiaan yang berlangsung dari hal-hal yang kecil; juga tentang kesederhanaan. Dan, kepada semua kisah itulah, seorang pejalan akan semakin belajar untuk memahami dan mendalami hidup.

Luqmaan dan Kanisa, ayah menuliskan ini ketika ayah teramat jauh dari kalian. Jarak ini memisahkan kita, namun senyum polos dan lucu kalian, selalu ayah temui di antara kerikil-kerikil tajam di jalanan ini. Dan di perjalanan ini, ayah semakin menemukan ruang hampa itu. Sebuah ruang hampa yang selalu kalian isi, ketika ayah ada di samping kalian.

Dan, ternyata, adalah begitu menyakitkan bila kita terus hidup dihantui ruang kosong itu....

Dulu, saat sebelum Perang Dunia Kedua meletus, ada sebuah kisah nyata tentang kehidupan Heinrich Harrer, pendaki Himalaya yang harus kehilangan banyak hal berharga dalam hidupnya, ketika memutuskan menaklukan puncak Everest, puncak tertinggi di dunia. Tujuh tahun Heinrich habiskan hidupnya di Himalaya, sebagai orang yang nyaris kehilangan hidup. Ia meninggalkan istrinya, saat wanita itu tengah mengandung anak pertamanya. Heinrich, pemuda yang penuh ambisi itu, hanya berjanji kepada sang istri, bahwa ia sudah akan menaklukan Himalaya sebelum kelahiran anak mereka.

Namun nasib berkata lain. Heinrich ditangkap tentara Inggris, dan harus melewati ratusan hari dalam kamp tawanan. Heinrich gagal menepati janji, dan ia semakin kehilangan jejak hidupnya ketika datang surat permohonan cerai dari sang istri. "Kalau anak kita sudah besar nanti bertanya, aku akan katakan bahwa ayahnya sudah hilang di Himalaya," begitu tulis sang istri. Dan dari sanalah kekosongan itu berlangsung setiap detik dalam hidup Heinrich.

Satu-satunya cara ia ingin menebus kesalahannya terhadap sang istri dan sang anak, hanyalah menuliskan seluruh ungkapan hatinya di sebuah buku harian kumal yang terus ia bawa. Dan di perjalanan itu, Heinrich berhasil bertemu, kemudian bersahabat dengan Dalai Lama kecil. Di mata bocah yang menurut keyakinan Tibet akan menjadi pemimpin spiritual itulah, Heinrich menemukan kedua bola mata anaknya, yang bahkan belum pernah ia lihat setelah terlahir ke dunia. Juga Heinrich akhirnya belajar tentang kearifan dari bocah kecil itu.

Perjalanan, anakku, selalunya memang akan melahirkan kearifan. Tapi juga sekaligus melahirkan kesombongan. Bagi mereka yang berhasil membawa kearifan itu pulang, maka mereka akan mendapat makna hidup terdalam. Namun ternyata, sebenarnya, kearifan tidak selalu dapat ditemukan dalam perjalanan. Dalam agama kita yang mengajarkan begitu banyak kesederhanaan, kita sebenarnya bisa mendapat sumber kearifan teragung. Namun mata hati kita selalu ditutupi oleh ambisi dan kesombongan, dua hal yang pada akhirnya membuat kita gagal untuk menggali nilai terdalam dari sebuah ajaran agama.

Dan bagaimana kisah Heinrich itu berakhir, ternyata sederhana. Ia memutuskan untuk lari dari ruang kosong yang tujuh tahun menghantui perjalanannya itu. Dengan sebuah kegetiran, sekaligus kengerian, ia putuskan untuk pulang dan menghadapi kenyataan. Ia tak berharap banyak, bahwa ketika bertemu dengan sang anak, maka bocah itu akan memanggilnya dengan sebutan: ayah. Tapi sudah ia putuskan, apapun yang akan ia hadapi, ia harus pulang dan menebus semua kesalahan masa lalunya, terhadap sang istri tercinta dan anak yang lahir dari rahimnya.

Heinrich pada akhirnya berhasil mengisi ruang kosong itu kembali. Setelah beberapa kali pertemuan, sang anak akhirnya memanggilnya dengan sebutan, ayah....


Dan kisah Heinrich adalah kengerian yang luar biasa dalam diri setiap pejalan. Pada akhirnya, setiap saat, kadang ayah selalu dihantui oleh kengerian itu. Beberapa teman sudah meledek dengan lelucon pahit: suatu saat, ketika kau sampai di pintu rumah, maka anak-anakmu akan menyapamu dengan kalimat pendek, "Mau cari siap, Om?"

Ah, pahit sekali. Lelucon yang sangat pahit dan menyesakkan hati....

Anakku, apa yang bisa ayah lakukan kini, untuk menutup ruang kosong dalam diri ayah itu, hanyalah terus menuliskan ini untuk kalian. Ah, kadang hidup memang memberikan banyak gambaran kengeriannya sendiri-sendiri.