Kamis, 21 Agustus 2008

Kijang, Dulu dan Kini






Kota yang Berawal dari Penggalian Bouksit
KOTA Kijang dan bouksit adalah dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Cerita orang-orang tua di sana, Kijang hanya berawal dari pemukiman lima keluarga di Kampung Tun Tan, atau lebih dikenal dengan istilah Dapur Arang. Tapi kemudian, 1924, penjajah Belanda dengan semboyan gold, glory and gospel, mendaratkan ekpedisi pertama di daerah ini untuk mencari timah. Bagaimana ekspedisi itu kemudian menemukan “emas kuning”, kisah ini akan ditulis secara bersambung.

MESIN tik tua buatan tahun 1970-an di ruang tamu rumah bercat kuning itu sudah mulai berdebu. Ada tumpukan kertas dan buku di sampingnya, yang juga tak kalah berdebu. Pemiliknya, Abdul Muin Husin (69) sesekali duduk di belakang mesin tik itu, sekedar membaca tumpukan buku, atau juga mengetik.

Muin, sapaan ayah dari enam anak dan kakek dari 19 cucu itu masih menyimpan semuanya. Ia tidak asli penduduk Kijang, tapi diingatannya, sejarah tentang kota yang kini menjadi pusat pemerintahan sementara Kabupaten Bintan itu tersimpan rapi. Kijang boleh saja terus berbenah, bahkan berlari kencang, dari sebuah kota kecamatan menjadi kota sedang dengan pabrik dan toko serba ada yang menghiasi sudut-sudutnya.

Tapi di mata Muin, Kijang tetaplah sebuah kota yang berawal dari sebuah tim ekpedisi Belanda untuk mencari timah di utara Pulau Bangka. Kisah itu semua bermula tahun 1920. Sebuah perusahaan Belanda yang mengeruk timah di Pulau Belitung, NV. GMB terus melakukan penelitian terhadap kemungkinan adanya kandungan biji timah di pulau-pulau yang berada di sebelah selatan Semenanjung Melaka. Dari berbagai kontak dengan penduduk setempat, termasuk di pulau Lingga, Singkep dan Karimun, diperoleh kabar positif. Karena itu penelitian pun dilakukan, termasuk sampai di Bintan.

“Tahun 1924 NV GMB mengirimkan tim ekpedisi,” tutur Muin, yang kini juga bergiat di Dewan Kesenian Kabupaten Bintan sebagai Ketua Bidang Seni dan Budaya. Pendaratan tim itu dilakukan di Kampung Tun Tan, yang masuk wilayah Sungai Enam Lama. Di kawasan ini selanjutnya berdiri tempat-tempat pembuatan arang dari kayu bakau yang diekspor ke Singapura. Karena itu kawasan ini kemudian dikenal dengan sebutan Dapur Arang.

Dalam penelitiannya tentang kandungan di perut bumi Bintan itu, tim menurut Muin menginap di rumah penduduk. Seorang penduduk, Amat S, cucu Lebai Idris, yang rumahnya juga ditumpangi pimpinan rombongan, akhirnya diajak bergabung dalam tim. Amat diajak bergabung karena diperlukan tenaganya sebagai penunjuk jalan. Dari Amat lah kemudian satu persatu sejarah itu terjadi.

Pertama sekali, Amat membawa rombongan menyeberang Sungai Kalang Tua dan menyusur jalan setapak menuju Sungai Kolak. Bunga Kolak yang tumbuh di sepanjang sungai akhirnya ditabalkan sebagai nama sungai itu oleh penduduk setempat. Sejak itu, kemudian kawasan di sekitar sungai itu pun dinamakan Sungai Kolak. “Itu sebelum diubah namanya menjadi Kijang,” kata Muin.

Setelah itu tim mendirikan barak-barak darurat di tepian sungai dan melakukan serangkaian penelitian topografi, pembuatan sumur uji, dan pengambilan sampel. Sample kemudian dikirim ke Belitung, yang waktu itu masih dilafalkan Billiton. Hasil penelitian di laboratorium NV GMB Billiton itulah yang akhirnya menyatakan bahwa kandungan perut bumi Bintan bukanlah timah, melainkan bouksit, yang jumlahnya mungkin bisa untuk membuat panci di dapur-dapur puluhan juta rumah di Eropa.

Bunga Kolak dan Bouksit
DULU Kijang adalah nama tak dikenal. Hanya bunga-bunga kolak berwarna putih saat mekar yang tumbuh di tepian sungai di daerah yang kini dikenal sebagai Kota Kijang. Tak ada rumah penduduk kala itu. Juga tak ada anak kecil berlarian memetik kelopak Kolak yang mekar.

Dari semua hal yang tak dikenal itu, tiba-tiba 1925 nama Sungai Kolak langsung mendunia. Adalah kerjaan bulletin “Verslagen en Madeligen Betrefende Indische Delfstaffen Haretoepasigen” yang memulai cerita itu. Buletin ini dalam edisi Nomor 18 tahun 1925 menerbitkan tulisan yang berisi penemuan bijih bouksit di Sungai Kolak.

Dari sanalah kemudian mata dunia tertuju pada perut bumi di bawah bunga-bunga Kolak itu. Tiga tahun setelah publikasi itu, areal bouksit di Sungai Kolak itu sudah di bawah kendali sebuah perusahaan Belanda yang bernama “Bauksiet Syndikaat”.

Abdul Muin Husin (69), warga Kampung Jati, Kijang masih merekam baik-baik dalam ingatannya seputar tahun-tahun awal sejarah penemuan bouksit ini. “Bauksiet Syndikaat saat itu kurang banyak melakukan kegiatan berarti. Maka pada tahun 1928, hak pengelolaan dialihkan NV Gemeenschpellijke Mijnbouw Maatschappij Billiton,” kata Muin.

Sejak peralihan hak kelola inilah baru penambangan bouksit berjalan. Di bawah pimpinan Dr YWH Adam, dinyatakan bahwa saat itu hasil bouksit di Bintan sangat ekonomis untuk dieksplorasi. Artinya kalau digali, akan mendatangkan keuntungan besar. Tahun itu pula berdiri NV Nibem yang melakukan penggalian bouksit secara komersil.

Setelah itu dimulailah pembangunan fasilitas dan prasarana, seperti pembuatan jalan ke lokasi penambangan, pelabuhan, jalan umum, serta tentu saja barak-barak pekerja dan keluarga mereka. Periode 1929-1934 tercatat sebagai tahun-tahun perkembangan Sungai Kolak menjadi Bandar kecil yang kemudian dikenal sebagai Kijang.

1935, berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan Muin dan rekan-rekannya, tercatat bahwa untuk pertama kali bouksit Bintan diekspor ke Eropa. Nibem berhasil mengekspor sebanyak sekitar 10 ribu ton bouksit ke Eropa. Inilah sejarah awal bagaimana hasil perut bumi Bintan kemudian dinikmati oleh none-none Belanda dalam bentuk panic-panci dan alat masak alumunium lainnya.

Tahun 1938 penggalian terus berkembang. Pulau Koyang, yang ada di depan Kijang kemudian digali. Dibikin fasilitas cable way untuk mengirimkan bouksit dari pulau itu ke Kijang. Tahun 1939, untuk kepentingan refrensi ilmiah, dilakukan penelitian geologi di bawah pimpinan Dr RW Van Bemmelen. Bentuk penelitian adalah penggalian shaft, sebuah lubang yang menghujamke dasar bumi dengan kedalaman 54 meter. Lubang itu kini masih ada, dan tempatnya tepat di dalam Kompleks Kantor PT Antam, Kijang.

Itulah sejarah awal penggalian bouksit di Bintan. Bisa saja kita berandai-andai, bahwa waktu itu tidak ditemukan bouksit dari perut bumi Bintan. Bisa jadi kita tak akan mengenal kota yang kini di kanan kiri jalannya sudah dipenuhi oleh ruko-ruko tersebut. Bisa jadi Kijang mungkin tetap akan menjadi sungai, yang ditepiannya tumbuh bunga-bunga Kolak. Bunga-bunga yang ketika mekar, berwarna putih dan enak dipandang mata.

Tiga Tahun Dikuasai Jepang

PERANG Asia Timur Raya yang digelar Jepang ternyata kemudian membawa catatan sejarah tersendiri bagi tambang bouksit di Kijang. Dari mulut harimau, bouksit Kijang pun masuk ke mulut buaya. Dari tujuan ekspor ke Eropa, kemudian kandungan perut bumi Bintan itu pun dibawa ke Negeri Doraemon.

Semua bermula ketika Jepang mengebom pangkalan Amerika di Pearl Harbour. Setelah itu Jepang terus bergerak ke selatan, mencari kandungan sumber daya alam untuk kepentingan menggerakkan mesin-mesin perang. Jepang mencari taklukan baru, berperang dengan penjajah Eropa, dan sekaligus memproklamirkan sebagai kelompok pembebas Asia.

1942, Jepang masuk ke Kepri lewat pintu masuk Tarempa, Kabupaten Anambas. Dari situ, Jepang bergerak terus, sampai menjangkau Pulau Mapur, dan mendarat di Tanjungpinang serta Kijang.

Singapura sebelumnya mereka taklukan sekitar 15 Februari 1942. Kemudian menyusul Tanjungpinang pada 21 Februari 1942, atau enam hari setelah Singapura takluk. Terjadi perang kecil-kecilan dengan serdadu sekutu.
Setelah serdadu Negeri Matahari Terbit itu mendarat di Tanjungpinang, mereka mendapat informasi tentang adanya tambang bouksit yang masih digali oleh Belanda di Kijang.

Ini adalah kabar baik bagi mereka, sebab bouksit yang kemudian diolah menjadi alumunium adalah bahan baku yang cocok untuk keperluan perang, terutama pembuatan pesawat tempur. “Mereka dari Tanjungpinang berjalan kaki, juga naik sepeda menuju Kijang,” cerita Abdul Muin Husin

Jarak Tanjungpinang-Kijang sekitar 26 kilometer. Tak ada angkutan pedesaan waktu itu, kecuali jalan berdebu yang juga beberapa di antaranya masih jalan setapak dan berkelok-kelok melewati kaki Gunung Lengkuas.

Begitu sampai di Kijang, tentara langsung berbaris di depan areal perbengkelan yang biasa digunakan untuk keperluan perbaikan alat berat penggalian bouksit Kijang. Waktu itu nama daerah itu masih tetap menggunakan sebutan Sungai Kolak.

Kijang waktu itu jauh dari hingar bingar deru meriam dan bau musiu di Tanjungpinang. “Suasana relatif tenang di Kijang waktu itu,” kata Muin, yang asli Belitung namun sudah merantau ke Kijang dalam usia belasan. Tak ada perlawanan berarti dari Belanda sewaktu Jepang masuk ke Kijang. Pegawai NV Nibem, perusahaan pengeruk bouksit Kijang waktu itu sudah menyingkir ke Belitung sewaktu mendengar kabar Jepang sudah menaklukan Singapura.

Untuk keperluan eksplorasi bouksit bekas NV Nibem, serdadu Jepang pun membentuk perusahaan yang bernama Furukawa Co. Ltd. Dalam Susana perang, manajemen perusahaan pun dikelola untuk keperluan perang. Semua dilakukan serba cepat. Bila Belanda butuh waktu 11 tahun antara pengiriman ekpedisi pertama ke Kijang sampai melakukan ekspor ke Eropa, Jepang bergerak lebih cepat.

Siang malam seluruh mesin pabrik dikerahkan untuk melakukan penggalian, guna mendapatkan hasil sebesar-besarnya. Selain itu, pegawai pribumi pun harus menundukkan muka bila lewat di depan markas tentara Jepang, yang sekarang ada di areal kantor Koperasi Perbaki. Anak-anak mereka yang bersekolah pun harus membungkukan tubuh ke utara, ke arah istana Kaisar, di Jepang sana.

Dinasionalisasi Indonesia, 1959

DALAM catatan sejarah, setidaknya tambang bouksit Kijang sempat empat kali berpindah tangan. Dari Belanda, Kijang dikuasai oleh Jepang, sebelum akhirnya diambil Belanda lagi. Baru pada 1959, atau 14 tahun setelah Indonesia merdeka, tambang bouksit Kijang diambil alih pemerintah.

TAK banyak perubahan berarti setelah Belanda mengambil alih tambang dari Jepang pada tahun 1945. Usainya Perang Asia Timur Raya yang seumur jagung itu, usai pula masa kekuasaan Jepang atas tambang bouksit Kijang. 1945, melalui pengibaran bendera putih di lokasi tambang yang memanjang di tepian Sungai Kolak, Belanda pun masuk kembali. NV Nibem yang sebelumnya kabur ke Belitung pun kembali mendarat di Bintan.

Suasan agak berbeda pada periode 1959. Setahun sebelumnya, pemerintah Indonesia melalui kebijakan nasionalisasi, mulai mengambil alih asing di Indonesia, seperti Shell, KPM, Goodyear, Unilever dan lainnya. “Saat itu terjadi penyerahan asset dan dikelola pemerintah Indonesia,” kata Abdul Muin Husin, yang juga pensiunan PT Antam Bouksit Kijang.

Proses pengambilalihan dilakukan melalui mekanisme penggabungan NV Nibem dengan NV Nitem, yang mengelola timah di Dabo Singkep. Penggabungan ini di bawah kendali Biro Umum Perusahaan-perusahaan Tambang Negara (Buptan) yang dipimpin oleh Ukar Bratakusumah. Setelah penggabungan itu kemudian terjadi perubahan nama, yakni Perusahaan Pertambangan Bouksit Kijang (PPBK) dan Perusahaan Pertambangan Timah Singkep (PPTS).

Sempat terjadi beberapa kali perubahan nama perusahaan tambang bouksit, sebelum akhirnya pada 1968 baru memakai nama PN Aneka Tambang Unit Pertambangan Bouksit. Enam tahun kemudian, baru PN Aneka Tambang dialihkan menjadi PT.

Pada periode tahun 1960-an itulah, dilakukan perluasan penggalian bouksit. Tidak hanya di Kijang saja, tetapi juga dilakukan penggalian sampai wilayah Sungaijang. Wilayah ini sekarang dikenal sebagai Perumnas Sungaijang, Tanjungpinang.

Pada periode itu, pertumbuhan Sungai Kolak menjadi pesat. Akhirnya daerah ini berubah menjadi Kijang, atau kota yang sekarang kita kenal sebagai pusat pemerintahan sementara Kabupaten Bintan. Seiring pesatnya pertumbuhan penduduk, dituntut juga terjadinya perbaikan infrastruktur umum. Maka pada tahun 1963, kata Muin, digalilah waduk Sungai Pulai, yang akan digunakan sebagai cadangan air bersih untuk warga kota. Sampai saat ini Sungai Pulai masih menjadi satu-satunya sumber air bagi warga Tanjungpinang.

Penemuan bouksit di Kijang yang dianggap fenomenal ini tak saja menyita perhatian dunia pertambangan. Kalangan kalangan akademis pun turun melakukan penelitian. Puluhan, atau mungkin sadah ratusan skripsi strata satu dihasilkan dari tambang bouksit itu. Dari tahun 1960 sampai 1992, data yang tercatat, ada sekitar 172 skripsi yang dihasilkan dengan mengkaji tambang bouksit ini dariberbagai sisi.

Tak berhenti di situ, bouksit ternyata menjadi magnet penggerak ekonomi utama Kijang, bahkan sampai Tanjungpinang. Anda saja dulu tidak ada ekpedisi Belanda yang menemukan bouksit di kota kecil ini, bisa jadi Kijang yang saat ini ada adalah sekedar perkempungan nelayan. Memang kemudian lahir banyak kritik, bahwa penambangan telah merusak ekosistem. Apalagi saat ini tidak hanya Antam saja yang melakukan eksplorasi, melainkan juga perusahaan swasta.

Dulu Empat KK, Kini 34 Ribu Jiwa

BERKELILINGLAH Kota Kijang saat ini. Deretan toko dan kendaraan roda empat penuh menghiasi wajah kota. 80 Tahun yang lampau, wajah kota ini hanya dihiasi oleh kelopak-kelopak kembang Kolak yang berwarna putih saat mekar.

Kota ini terus membangun. Bouksit menjadi magnet utama penggerak roda perekonomian kota. Sempat berjaya seiring derasnya penggalian, namun Kijang agak meredup pada dekade 1990-an akhir, karena eksplorasi bouksit pun sempat menurun. Lalu kota ini berjalan dengan pelan, tak seperti namanya, yang berarti binatang berkaki empat yang sanggup berlari kencang laksana peluru. Tapi 2006 awal, sebuah magnet ekonomi penggerak baru kembali hadir, melengkapi magnet sebelumnya.

Saat itu, pemerintahan Provinsi Kepri yang sebelumnya bermarkas di Sekupang, Batam, pindah ke Tanjungpinang. Kantor Bupati Bintan pun kemudian disulap jadi Kantor Pemprov Kepri. Dan Bupati Bintan beserta ratusan stafnya angkat meja dan kursi, bergerak ke arah Kijang. Di mess PT Antam, Bupati Bintan dan stafnya membangun kantor sementara, menunggu pembangunan Bandar Sri Bintan selesai.

Kepindahan ini membawa banyak perubahan, terutama dari sisi ekonomi. ABPD Bintan yang beberapa tahun belakangan berjumlah di atas Rp 400 milyar, sedikit demi sedikit terkucur ke Kijang. Warung-warung pinggir jalan tumbuh, kemudian menjelma menjadi rumah toko (ruko).

Tak ada yang bisa membayangkan Kijang yang sekarang berkembang seperti ini. Abdul Muin Husin (69) pun hanyut di dalam perkembangan Kijang yang semakin cepat ini. Padahal, dulunya, dari sisi pemerintahan, Kijang tak lebih hanyalah kota kecamatan.
Muin bercerita, pada 1924, ketika ekpedisi Belanda pertama mendarat di Kijang untuk mencari timah, saat itu pemukiman hanya ada di Sungai Enam Lama, atau di Kampung Tun Tan dan di Mantang Arang, Pulau Mantang. Yang ada saat itu bukan Pak Camat, melainkan hanya taulo, sebuah jabatan pemerintahan paling bawah, setingkat penghulu atau lurah. Taulo hanya bertugas mencatat kematian, kelahiran, perkawinan dan kepindahan penduduk.

Untuk di pulau-pulau sekitar Kijang, bukan taulo yang mengatur, tetapi batin. Ada Batin Mapur, Kelong dan lainnya. Baru pada 1962, terbentuk Asisten Wedana, dan tahun 1966 berubah menjadi Camat. Satu di antara Camat yang pernah memerintah di daerah ini adalah Muhammad Sani, yang kini menjadi Wakil Gubernur Kepri. Kini, setelah tahun 2006, tidak hanya camat lagi yang ada di Kijang, tetapi juga bupati.
Perkembangan penduduk pun terbilang pesat. Dari hanya sekitar lima rumah penduduk di Kampung Tun Tan tahun 1924, penduduk Kijang terus bertambah, sampai mencapai 45 ribu jiwa. Namun setelah pemekaran wilayah, di mana Kecamatan Bintan Timur dibagi menjadi tiga wilayah, yakni Bintan Timur, Mantang dan Bintan Pesisir, Kijang yang masuk wilayah Bintan Timur hanya dihuni 34 ribu penduduk. “Ada pemekaran, jadi penduduknya dibagi menjadi tiga wilayah,” kata Camat Bintan Timur saat ini, Lucky Z Prawira.

Itulah Kijang, kota yang berawal dari bunga-bunga Kolak. Namun sayang, banyak nafas sejarah yang mulai ditinggalkan saat ini. Seperti misalnya bunga Kolak, saat ini sudah sulit mencarinya di sudut-sudut pusat kota. Dan tak ada satu pun tugu yang tergambar bunga ini di pojok kota. Tapi itulah bunga, meski dilupakan, tetapi Kolak tetap menjadi ingatan orang-orang tua di kota itu, termasuk Muin. (trisno aji putra)

7 komentar:

Unknown mengatakan...

ASSALAMU ALAIKUM WR-WB KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH ATAS BANTUAN AKI,RUSLAN KARNA NOMOR GHOIB/RITUAL JITU YANG AKI,BERIKAN 4D (8301) BENAR BENAR TEMBUS 100% DAN SAYA MEMENANGKAN 380 JUTA ALHAMDULILLAH, SAYA BISA MEMBELI RUMAH DAN MOBIL WALAUPUN SAYA CUMA PNS GOLONGAN 1B.INI ADALAH KISAH NYATA DARI SAYA.JIKA ANDA PENUH KEPERCAYAAN DAN KEYAKINAN SILAHKAN ANDA HUBUNGI LANGSUNG AKI, RUSLAN SALEH KARENA APAPUN KEADAAN ANDA JANGAN PERNAH BERPUTUS ASAH KALAU SUDAH WAKTUNYA TUHAN PASTI KASIH JALAN.

JIKA ANDA BUTUH ANGKA RITUAL 2D 3D 4D DI JAMIN 100% JEBOL ATAU PUNYA MUSTIKA GHAIB INGIN DIPAKAI MENARIK UANG BILAH BERMINAT HUB KI RUSLAN SALEH DI NMR (_+_6_2_8_1_2_4_3_4_7_7_4_5_5_) ATAU KUNJUNGI WEPSITE (KLIK)www.penarikan-uang-ghaib.webs.com SAYA SUDAH BUKTIKAN 3X THNKS ROOMX SOBAT
★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★
╔══╗═════╔╗═════
╚╗╔╬═╦═╦═╣╠╦╦╦╦╗
═║║║╩╣║║╬║═╣║║║║
═╚╝╚═╩╩╬╗╠╩╬╗╠═╝
═══════╚═╝═╚═╝══
★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★

Ryugi mengatakan...

Artikel yang menarik, Terima kasih sudah mengulas sejarah kota kijang. Saya minta izin share tulisan ini di blog saya.

Terima kasih :)

Unknown mengatakan...

Ibu saudata ku uda wapst namanya simot suaminya k.a idrus .sepupuku ada .k.a anuar dll.

Unknown mengatakan...

Ibu saudata ku uda wapst namanya simot suaminya k.a idrus .sepupuku ada .k.a anuar dll.

Unknown mengatakan...

Artikel yg bagus

Unknown mengatakan...

Artikel yg bagus

Unknown mengatakan...

Sejarah bgt
Bisa minta foto penampakan bunga kolak putih itu om.penasaran dg bunga tsb, browsing di google ga ada.
Salam kenal