Minggu, 09 November 2008

pulang....

aku ingin pulang, setelah sekian lama kutinggalkan rumah harapan itu...

Jumat, 31 Oktober 2008

Tembeling, Kampung Tua Penuh Limbah






MENYEBUT nama Tembeling dulu, orang akan teringat pada Ikan Selangat. Tapi kini, laut mereka keruh, berwarna merah. Kalau air surut, yang tampak adalah lumpur kemerah-merahan. Padahal dulu, air begitu jernih dan karang belum tertutup lumpur.

Perjalanan sore yang semakin temaram itu berakhir di sebuah kampung. Orang menyebutnya Kampung Tembeling. Letaknya persis di ujung aspal Jalan Tembeling. Di Singapura, Jalan Tembeling (Tembeling Road) adalah tempat bersejarah, karena di sana, di sebuah rumah di jalan itu, Lee Kuan Yeuw dilahirkan. Tapi di Bintan, Tembeling Road adalah kisah tentang kampung yang sudah tercemar limbah bouksit; juga sekaligus kisah tentang nelayan yang semakin susah hidupnya karena ikan semakin sulit didapat.

Dulu, di tanah di ujung kampung, para ahli geologi menemukan bahwa ada kandungan bouksit yang cukup ekonomis bila dieksplorasi. Dan sebuah perusahaan pertambangan BUMN pun kemudian menggalinya. Setelah bertahun-tahun, akhirnya ekplorasi selesai, dan di penghujung tahun 1980-an, Tembeling ditinggalkan. Tapi ternyata, bekas limbah pencucian masih bertahan di situ. Bahkan sampai tahun 2008, atau sekitar 20 tahun setelah bouksit tidak lagi digali, tetap saja laut di depan Kampung Tembeling masih keruh. Sore itu, ketika air surut, maka dengan mata telanjang, sisa limbah bouksit yang berwarna kemerahan masih tertinggal di lapisan atas lumpur.

“Inilah yang ditinggalkan untuk kami, untuk anak cucu kami,” kata Haji Sanjar (56), tokoh masyarakat setempat. Sanjah masih ingat benar bagaimana 40 tahun lalu, sebelum bouksit di kampung itu digali. Laut di tepi pantai masih jernih, belum tercemar. Dan di bawahnya adalah karang, tempat ikan bermain dan mencari makanannya. Kini karang-karang itu sudah tertutup lumpur berwarna kemerahan.

Dulu nelayan Tembeling adalah pemburu Ikan Selangat. Ikan ini lezat rasanya dan menjadi kegemaran masyarakat sekitar. Ukurannya tak terlalu besar, sekitar 25 sampai 30 ekor, baru beratnya mencapai satu kilogram. Tapi kini, setelah laut tercemar, Selangat pun pergi ke perairan lain. Yang tersisa hanya Ikan Belanak, karena tak peduli pada air yang keruh. Untuk memancing Selangat, tak ada pilihan lain kecuali nelayan harus meninggalkan teluk, yang dikenal dengan nama Teluk Bintan itu.

Dulu dari Selangat dan udang serta kepiting, nelayan melangsungkan hidup. Subuh, ketika hari belum jadi, mereka sudah mendayung sampan menuju Pelantar Dua Tanjungpinang untuk menjual ikannya. Jarak tempuh lewat laut hanya sekitar 2,5 jam. Belum ada jalur darat yang beraspal waktu itu. Adapun jalur jalan tanah, dan itu mesti memutar. Pada periode itu, seluruh kebutuhan masyarakat di datangkan dari Tanjungpinang dengan menggunakan sampan-sampan tradisional.

Tapi nelayan-nelayan Tembeling adalah pelaut-pelaut handal. Nenek moyang mereka yang membuka kampung itu datang Bugis naik sampan. Mereka pergi ke Singapura, sebelum akhirnya memutar lagi ke Bintan naik sampan. Menurut Sanjah, titik pendaratan pertama mereka ada di sebuah teluk kecil di ujung kampung. “Mereka sempat berputar-putar beberapa kali, sebelum menepi,” kata Sanjah, yang juga mantau Ketua MUI Kecamatan Teluk Bintan ini.

Teluk itu dikenal masyarakat dengan nama Tembeling Pantai Cermin. Dinamakan cermin karena ketika sore hari, akibat sorotan sinar matahari, bayangan mereka pun memantul di air, sehingga layaknya cermin. Kini nama Pantai Cermin itu diabadikan menjadi nama lapangan sepak bola yang ada di depan kampung yang dihuni ratusan kepala keluarga itu. Sanjah mengaku sudah tidak tahu ia generasi ke berapa dan kapan kampung itu.

”Tapi mungkin saya sudah generasi ke sepuluh yang tinggal di kampung ini,” lanjut lelaki berjanggut yang juga kini menjabat sebagai Bendahara Badan Amil Zakat (BAZ) Kecamatan Teluk Bintan itu. Tak ada bangunan bersejarah memang yang ada di kampung itu, sebab pusat kerajaan terdekat yang ada adalah di kaki Gunung Bintan, tepatnya di Bintan Bukit Batu. Gunung Bintan sendiri tampak jelas dari belakang kampung. Naik sampan ke sana, hanya perlu waktu sekitar dua jam. Di kaki gunung itu, memang ada sejumlah makam bersejarah.

Itulah Tembeling, kampung yang ada di ujung aspal, yang lautnya kini telah keruh. Kemajuan kini perlahan mulai datang, dan kampung tua itu pun kemudian ditetapkan sebagai ibu kota Kecamatan Teluk Bintan. (trisno aji putra)

Kamis, 25 September 2008

Puting Beliung Terjang Kawal



Matinya Komedi Putar di Tangan Sang Angin

TAK ada lagi kisah cinta seorang kembang desa dan seorang bujang kampung di atas komedi putar itu untuk sementara waktu. Puting beliung telah menghentikannya dua hari lalu. Bagi orang kampung, komedi putar tak sekedar hiburan murah milik rakyat kecil saja, tetapi sekaligus tempat cinta pernah bersemi di hati orang-orang sederhana itu.

Berita tentang komedi putar yang berhenti berputar itu pun cepat menyebar ke penjuru kampung di bibir Pantai Trikora itu. Ada yang menghela nafas panjang, tetapi lebih banyak yang tak memperdulikan. Adalah duka yang menggantung di pelupuk mata sekitar 146 jiwa, penghuni 41 rumah, yang meminggirkan kisah tentang berhentinya komedi itu berputar. Dan warga pun mungkin tengah tak membutuhkan komedi putar, sebab, mereka tengah berharap, uluran tangan itu cepat datang.

Tapi tidak demikian halnya dengan Asmawi, pimpinan sekaligus pemilik komedi putar “Dunia Fantasi Bintan”. Baginya komedi putar adalah harapan, sekaligus periuk nasinya. Dan sekaligus, dengan komedi putar itulah, Asmawi berhasil membuka peluang pekerjaan bagi 18 warga untuk menjadi pedagang aneka produk pakaian dan makanan di sekeliling areal pertunjukan komedi putarnya. Berhentinya komedi itu berputar, berarti sama saja dengan membiarkan asap tidak mengepul lagi dari dapur rumah mereka.

“Saya lemas…hampir hancur semuanya,” kata Asmawi, yang masih saja memandangi komedi putarnya yang dijilat puting beliung sehari sebelumnya. Selain menerjang rumah warga yang ada di pesisir pantai, komedi putar itu pun tak luput dari amukan sang angin. Sejumlah perkakas komedi putar rusak, dan barang-barang dagangan dari mulai pakaian hingga makanan terbang disapu angin.

Duapuluh hari yang lalu, atau menjelang awal Ramadhan, Asmawi membawa sepuluh anak buahnya serta 18 pedagang koleganya menempuh rute Tanjunguban menuju Kawal, Kecamatan Bintan Timur. Sebelumnya selama sekitar sebulan, komedi putar itu diparkir di Tanjunguban. Dan awal bulan puasa, ia melihat bahwa sudah saatnya komedi putar itu bergerak ke Kawal, sebuah kelurahan yang berada di pesisir, dengan penduduk yang sekitar lima ribu jiwa.

Sebuah lahan tanah merah kosong yang ia sewa dari PT Bintan Inti Sukses (BIS) senilai Rp 2,5 juta, yang tepat berada di depan Pasar Kawal, kemudian ia sulap menjadi tempat pertunjukan komedi putarnya. Ada empat jenis permainan rakyat yang dibawa Asmawi. Selain komedi putar, juga ada kincir angin, kereta api-kereta apian, dan payung kuda-kuda.

Izin pun ia urus, dari mulai ke Kantor Camat Bintan Timur, sampai ke Kantor Polsek. Setelah semua dikantongi, dengan senyum mengembang, Asmawi pun langsung membuka arena komedi putar itu. Anak-anak nelayan pada malam pembukaan berhamburan, mencoba permainan yang baru bisa mereka nikmati setelah menyerahkan sejumlah rupiah itu.

Dulu, tahun 1990-an, komedi putar adalah kisah tak terpisahkan dari masa kecil bocah-bocah di kota-kota besar. Tapi kemudian adalah play station, nintendo, atau sejenis permainan komputer lainnya menggeser komedi putar. Maka kemudian komedi putar pun lari dari kota, menuju desa, kelurahan, dan pelosok-pelosok kampung nelayan. Di tempat yang belum diserbu oleh mainan karya orang-orang berkacamata tebal itu, komedi putar masih bisa hidup, dan menjadi pilihan hati gadis dan bujang kampung untuk melewatkan malam mingguan.

Dan di Kawal, sejak sekitar 20 hari lalu, komedi putar “Dunia Fantasi Bintan” itu pun menjadi pilihan warga untuk mencari hiburan murah. Tapi sayang, angin tak bisa membaca itu, dan puting beliung pun tak pandang bulu. Dalam hitungan lima menit, komedi putar itu pun benar-benar telah berhenti berputar.

Kerugian 40 Jutaan

“TOTAL kerugian di areal komedi putar ini sekitar empatpuluh jutaan,” kata Asmawi. Asmawi memang tak menanggung sendiri, sebab jumlah kerugian itu merupakan akumulasi dari 18 pedagang yang ikut berjualan di situ. Tapi, angin memang telah menjadi mimpi buruk dalam sejarah komedi putar itu kemudian.

Asmawi adalah orang Tanjungpinang, tapi bersama komedi putar itu, ia sudah melanglang buana ke seantero kampung di pulau yang berbeda, bahkan sampai menyebarnag ke Provinsi Jambi. Sejarah komedi putar itu sduah terbilang tua. Sebelum dipertemukan dengan Asmawi pada tahun 2003, komedi putar ini adalah milik seorang juragan di Surabaya, Jawa Timur. Saat itu, areal mentas komedi putar yang bernama “Dunia Fantasi” ini keliling Jawa Timur.

Setelah dibeli oleh Asmawi seharga Rp 300 juta, komedi putar itu pun naik kapal menuju kepulauan. Satu tahun pertama, komedi putar ini parkir di Batam. Saat itu Batam masih dikenal sebagai surga uang bagi wilayah Kepri. Banyak perkeja di sana yang butuh hiburan murah, dan komedi putar adalah pilihannya. Setahun, Asmawi berkeliling Batam, sebelum tahun 2004, melalui satu kontainer kapal barang, komedi putar itu didaratkan di Tanjungpinang.

Dan setelah itu, mulailah Asmawi dan komedi putarnya menjamah kampung-kampung terpencil, membuka hiburan, bahkan sampai ke Kuala Tungkal, Provinsi Jambi sana. Dan selama perjalanan menjelajah pulau itu, tak pernah putting beliung menerjang. Tapi hari Minggu (21/9) kemarin, untuk pertama kalinya, komedi putar itu diterjang puting beliung.

Asmawi hari Minggu petang itu sedang pulang ke Tanjungpinang. Komedi putarnya dijaga oleh sepuluh karyawannya. Saat itu telpon berdering dari anak buahnya dengan isi singkat saja: puting beliung menerjang!

Dari empat permainan yang ada, komedi putar rusak paling parah. Atapnya, yang terbuat dari terpal terbang enah ke mana, sementara yang tersisa pun sudah robek di sana-sini. Mainan kereta api juga rusak bagian atapnya. Tapi ajaibnya, kincir angin, yang tinggi menjulang sampai belasan meter itu, hanya terjamah sedikit oleh sang angin. Ada yang rusak, tapi tak parah.

“Kalau perbaiki atap kincir angin hanya enam jutaan, atap kereta api hanya dua juta. Tapi lumayan besar juga,” kata lelaki berkacamata minus itu, menghitung kerugiannya. Tapi yang parah adalah kerusakan yang diderita oleh para pedagang yang berjualan memanfaatkan keramaian komedi putar itu. Seorang tukang jual bakso, yang Asmawi tak tahu persis siapa namanya, namun ia kenal baik wajah orang itu, adalah lelaki paling naas pada hari itu. Satu gerobak baksonya yang sudah siap jual, terbalik dihantam angin sore itu.

Tapi pertunjukkan tetap harus berjalan, dan komedi harus kembali berputar, agar ia seperti namanya, yang berarti sebuah kelucuan. Ketika benda permainan anak-anak itu berhenti berputar, maka namanya pun bukan komedi, bisa jadi malah tragedi. “Saya akan perbaiki. Mungkin satu minggu lagi bisa dipakai,” kata Asmawi, sambil menguatkan tekad bahwa ia tak boleh roboh oleh hantaman beliung, bahwa ia akan bertahan di sana sesuai rencana, yakni sampai habis lebaran.

Iwan, seorang pedagang makanan lain yang ikut berjualan di areal komedi putar itu sama seperti Asmawi. Ia punya tekad, untuk kembali berjualan. Ia mengemasi dagangannya yang porak poranda. “Saya akan berjualan lagi,” katanya. (trisno aji putra)

Kamis, 04 September 2008

Luqmaan

AKU selalu merindukan telaga itu....

Telaga berair jernih yang kepadanya aku melihat ada sumur harapan. Saat senja dan fajar, aku selalu datang ke telaga itu, duduk di sampingnya, dan mendapatkan jawaban bahwa hidup ternyata tidak sekedar kebencian dan dendam, tapi cinta, kasih sayang, dan rasa saling berbagi. Bahwa kemudian hidup juga adalah persoalan bagaimana merawat harapan.

Setahun yang lalu, aku menemukan telaga itu. Ya, tepat pada hari ini, setahun yang lalu, 4 September 2007, telaga itu hadir di rumah kecil yang kami tumpangi di Jalan Nila.

Telaga itu kemudian menjadi warna hidup kami, hidup aku dan istriku, Dee. Aku masih ingat, bagaimana setahun yang lalu, air di telaga kecil itu mengalir dalam kehidupan kami. Sebenarnya Dee harus berjuang ekstra ketat. Butuh berhari ia melewati bukaan satu sampai bukaan sembilan, untuk menunggu telaga kecil itu keluar dari rahimnya.

Aku, seperti suami kebanyakan, meski harap-harap cemas, tetap masih terus mengepulkan asap tembakau dari mulutku. Malam itu aku dan Dee menumpang di rumah Jalan Sukarno-Hatta. Sejak mau terlelap, aku tidak mendapat firasat apapun. Karena firasat itu sebenarnya sudah muncul beberapa hari sebelumnya.

Pukul 02.00 WIB dinihari, Dee membangunkanku, memintaku mengantar ke Klinik Pamedan, berjarak sekitar dua kilometer dari tempat kami. Hujan waktu itu rintik-rintik. Kami keluar rumah, dengan mantel. Wajah Dee sudah teramat pucat. Sebuah kamar di lantai dua kami tempati di Klinik yang jarang sepi itu. Malam itu, seorang ibu muda berteriak sekeras-kerasnya. Nyali aku jadi ciut mendengar. Ia akhirnya melahirkan anak pertamanya.

Dee terus gelisah. Semua orang berusaha menenangkannya. Aku juga gelisah. Aku keluar, melihat fajar di ufuk timur, dan kembali menghidupkan rokok entah batang yang keberapa. Pagi itu sepi, dan aku tahu, hati ku pun tengah ciut.

Dua orang perawat berpakaian putih terus mengecek kondisi Dee. Mereka terpaksa memasang oksigen, alat bantu pernafasan, karena fisik Dee teramat lemah saat itu. Kami berdua sejak awal memang menolak untuk menjalani cesar. Meski orang di sekeliling kami akhirnya sudah memberi lampu hijau agar Dee menjalani Cesar, tetap saja kami menolak. Mungkin kami adalah orangtua yang berpikiran agak kolot. Tapi kami hanya ingin memastikan bahwa bayi di rahim istriku itu harus mendapatkan yang terbaik.

Pukul 08.10 WIB, dokter spesialis keluar dari ruangannya dengan keringat jagung di dahinya. Aku tidak sempat menghitung berapa banyak butiran keringat jagung itu, tapi aku yakin, kalau hanya sepuluh butir, pasti lebih. Ia tersenyum padaku, senyum yang penuh beban kelelahan. Aku pun tersenyum. Aku sudah tahu apa yang terjadi, sebab melalui sela di pintu kamar bersalin, aku terus mengintip apa yang terjadi di ruangan yang dipenuhi oleh sekian banyak alat medis yang aku tak tahu namanya satu persatu itu.

"Alhamdulillah, Pak. Sudah lahir. Empat lilitan," kata dokter, seraya menunjukkan empat jarinya ke arahku. Aku agak tercekat. Luar biasa, mungkin apa yang membuat ia lambat lahir, satu di antaranya karena ada empat lilitan tali pusar kepada janin kecil itu. Istriku dulu dilahirkan dengan dua lilitan. Aku sama sekali tak terlilit. eh, anakku ini malah empat lilitan, luar biasa.

Ia menangis juga tersenyum, tangisan dan senyuman pertamanya untuk dunia yang, kata lagu-lagu dangdut, teramat kejam ini.

Aku melantunkan adzan dan iqomah. Aku bersudjud syukur, tapi tak berani aku menggendongnya. Lama aku pandangi dia. Kata orang waktu lahir, ia mirip sepertiku. Tapi kemudian orang yang sama meralat lagi ucapannya, bahwa setelah berusia beberapa bulan, ia lebih mirip ibunya. Entahlah, aku pun bingung juga.

Esoknya, aku membawa Dee dan bayi kecil itu pulang. Ia tidur, lama sekali. Aku hanya melihatnya dari jauh. Kalau pun bangun, ia akan menangis. Waktu berjalan cepat. ia sudah bisa merangkak. Setiap pagi, ia membangunkanku untuk sholat. Ia membangunkan dengan caranya sendiri, yakni naik ke atas tubuhku dan memukul sesuka hatinya. Kebiasaan buruk bangun siangku pun mulai terkikis.

Aku selalu pulang malam. Kadang ia sudah tertidur. Lalu kucuri waktu untuk pulang sebentar siang hari. Aku pandangi matanya. Ada telaga di sana. Ada telaga berair jernih. Aku temukan kehidupan di sana. Dan juga aku temukan banyak jawaban dari sejuta pertanyaanku akan hidup. Setiap datang ke sana, aku menemukan kesejukan. Maka aku pun datang mengunjungi telaga itu, dan menciduk ketentraman di sana.


Telaga itu aku beri nama: Luqmaan...


Selamat ulang tahun yang pertama, Nak....

Kamis, 21 Agustus 2008

Tanjunguban, Dulu dan Kini




Berawal dari Pohon yang Serupai Uban Manusia

PAGI mulai lebih awal di Lobam daripada di Tanjunguban. Ketika ribuan buruh sudah bergerak ke sejumlah perusahaan di Lobam, di Tanjunguban lelaki dan wanita usia lanjut masih santai berjalan pagi di Jalan Merdeka, jalan utama di kota itu.

Sebelum periode 1960-an, orang-orang di Tanjunguban hidup di negeri yang serba mewah. Tapi setelah republik punya aturan sendiri untuk melakukan pengetatan terhadap distribusi barang dan jasa di perbatasan Indonesia-Singapura, juga setelah pemerintah republik memutuskan mata uang dolar Singapura tidak boleh lagi dipakai di Tanjunguban dan Kepri, maka sejak itu, tiba-tiba kemewahan terengut dari hidup mereka.

Setelah itu ekonomi berjalan lambat. Harapan mulai muncul kembali setelah kawasan industri Lobam mulai beroperasi sekitar pertengahan dekade 1990-an. Untuk urusan pagi, memang Lobam boleh lebih awal dari Tanjunguban. Tapi untuk persoalan sejarah, justru semuanya bermula dari Tanjunguban.

Bagaimana sesungguhnya geliat kota kecil di ujung utara Pulau Bintan ini, apa yang pernah terjadi di sini, dan bagaimana sejarah kota ini bermula, Tribun melakukan pembicaraan dengan empat narasumber. Mereka saling melengkapi kisah yang akan ditulis secara bersambung ini.

Mereka adalah Sahat Simajuntak (63) dari Yayasan Rumpun Usaha Muda Bintan Utara (Rumbu), seorang warga Tanjunguban Muhammad Diah (72), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Bintan Utara, Lizan Ahcmad (60), dan terakhir Basri Muhammad Sidiq (66), yang selama 37 tahun pernah menjabat sebagai kepala kampung dan Lurah Tanjunguban.

Keempat narasumber yang ditemui di tiga tempat terpisah ini ternyata memiliki kesamaan cerita tentang asal kata Tanjunguban yang kemudian dipakai sebagai nama kota. Ini berbeda misalnya dengan asal kata Tanjungpinang. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa Tanjungpinang muncul sebagai nama kota karena di daerah yang berbentuk tanjung ini, banyak tumbuh pohon pinang. Tapi masih ada sebagian lain yang menyatakan bahwa asal mula nama itu berawal dari kata tanjung dan api-api nang, yang berarti di sebuah tanjung ada nyala api kecil yang tampak dari kejauhan.

Tapi di Tanjunguban, tak ada silang pendapat tentang asal mula nama kota ini. “Ada sebuah pohon yang sudah tua, daun dan akarnya menjuntai ke bawah dan berwarna putih. Orang yang lihat dari laut, pohon itu seperti uban. Karena daratan di Tanjunguban, menjorok kelaut, sehingga disebut tanjung, kata Muhammad Diah, yang diamini oleh Sahat Simanjuntak, Lizan Achmad dan Basri MS.

Pohon itu letaknya di samping Keramat Tanjunguban. Tapi kini sudah tak tersisa lagi. Dan pohon itu pun tak sempat diberi nama oleh penduduk. Keempat sumber Tribun itu tak mengerti, ketika ditanya apa nama pohon tersebut. Yang mereka tahu, pohon itu usianya sudah tua, dan hanya ada satu di Tanjunguban saat itu.

Tentang Keramat Tanjunguban, diyakini adalah makam seorang ulama besar yang meninggal dalam perjalanan dari Semenanjung Malaka menuju Negeri Betawi di Sunda Kelapa.

Tapi kemudian Tanjunguban bukanlah kota tua yang umurnya sudah ratusan tahun. Semua baru bermula sekitar 150 tahun lalu. Hal ini bisa terlacak dari bangunan tertua yang masih dipertahankan di kota ini. Adalah Masjid Jami’ Kampung Mentigi. Bangunan yang kini sudah beberapa kali direnovasi tersebut diperkirakan dibangun pada sekitar tahun 1880, atau sekitar 128 tahun yang lampau. Tapi kemudian nama Tanjunguban bisa sampai terdengar di Eropa bersama kapal-kapal tangker yang datang, tak lain karena entah bagaimana, para penjajah Belanda dalam serikat dagang VOC-nya memutuskan membangun gudang penyimpanan minyak di Tanjunguban, selain di Pulau Sambu. Dari sinilah, kapal-kapal tangker asing datang dan pergi, membawa minyak yang disuplai dari Palembang. (trisno aji putra/bersambung)

Kijang, Dulu dan Kini






Kota yang Berawal dari Penggalian Bouksit
KOTA Kijang dan bouksit adalah dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Cerita orang-orang tua di sana, Kijang hanya berawal dari pemukiman lima keluarga di Kampung Tun Tan, atau lebih dikenal dengan istilah Dapur Arang. Tapi kemudian, 1924, penjajah Belanda dengan semboyan gold, glory and gospel, mendaratkan ekpedisi pertama di daerah ini untuk mencari timah. Bagaimana ekspedisi itu kemudian menemukan “emas kuning”, kisah ini akan ditulis secara bersambung.

MESIN tik tua buatan tahun 1970-an di ruang tamu rumah bercat kuning itu sudah mulai berdebu. Ada tumpukan kertas dan buku di sampingnya, yang juga tak kalah berdebu. Pemiliknya, Abdul Muin Husin (69) sesekali duduk di belakang mesin tik itu, sekedar membaca tumpukan buku, atau juga mengetik.

Muin, sapaan ayah dari enam anak dan kakek dari 19 cucu itu masih menyimpan semuanya. Ia tidak asli penduduk Kijang, tapi diingatannya, sejarah tentang kota yang kini menjadi pusat pemerintahan sementara Kabupaten Bintan itu tersimpan rapi. Kijang boleh saja terus berbenah, bahkan berlari kencang, dari sebuah kota kecamatan menjadi kota sedang dengan pabrik dan toko serba ada yang menghiasi sudut-sudutnya.

Tapi di mata Muin, Kijang tetaplah sebuah kota yang berawal dari sebuah tim ekpedisi Belanda untuk mencari timah di utara Pulau Bangka. Kisah itu semua bermula tahun 1920. Sebuah perusahaan Belanda yang mengeruk timah di Pulau Belitung, NV. GMB terus melakukan penelitian terhadap kemungkinan adanya kandungan biji timah di pulau-pulau yang berada di sebelah selatan Semenanjung Melaka. Dari berbagai kontak dengan penduduk setempat, termasuk di pulau Lingga, Singkep dan Karimun, diperoleh kabar positif. Karena itu penelitian pun dilakukan, termasuk sampai di Bintan.

“Tahun 1924 NV GMB mengirimkan tim ekpedisi,” tutur Muin, yang kini juga bergiat di Dewan Kesenian Kabupaten Bintan sebagai Ketua Bidang Seni dan Budaya. Pendaratan tim itu dilakukan di Kampung Tun Tan, yang masuk wilayah Sungai Enam Lama. Di kawasan ini selanjutnya berdiri tempat-tempat pembuatan arang dari kayu bakau yang diekspor ke Singapura. Karena itu kawasan ini kemudian dikenal dengan sebutan Dapur Arang.

Dalam penelitiannya tentang kandungan di perut bumi Bintan itu, tim menurut Muin menginap di rumah penduduk. Seorang penduduk, Amat S, cucu Lebai Idris, yang rumahnya juga ditumpangi pimpinan rombongan, akhirnya diajak bergabung dalam tim. Amat diajak bergabung karena diperlukan tenaganya sebagai penunjuk jalan. Dari Amat lah kemudian satu persatu sejarah itu terjadi.

Pertama sekali, Amat membawa rombongan menyeberang Sungai Kalang Tua dan menyusur jalan setapak menuju Sungai Kolak. Bunga Kolak yang tumbuh di sepanjang sungai akhirnya ditabalkan sebagai nama sungai itu oleh penduduk setempat. Sejak itu, kemudian kawasan di sekitar sungai itu pun dinamakan Sungai Kolak. “Itu sebelum diubah namanya menjadi Kijang,” kata Muin.

Setelah itu tim mendirikan barak-barak darurat di tepian sungai dan melakukan serangkaian penelitian topografi, pembuatan sumur uji, dan pengambilan sampel. Sample kemudian dikirim ke Belitung, yang waktu itu masih dilafalkan Billiton. Hasil penelitian di laboratorium NV GMB Billiton itulah yang akhirnya menyatakan bahwa kandungan perut bumi Bintan bukanlah timah, melainkan bouksit, yang jumlahnya mungkin bisa untuk membuat panci di dapur-dapur puluhan juta rumah di Eropa.

Bunga Kolak dan Bouksit
DULU Kijang adalah nama tak dikenal. Hanya bunga-bunga kolak berwarna putih saat mekar yang tumbuh di tepian sungai di daerah yang kini dikenal sebagai Kota Kijang. Tak ada rumah penduduk kala itu. Juga tak ada anak kecil berlarian memetik kelopak Kolak yang mekar.

Dari semua hal yang tak dikenal itu, tiba-tiba 1925 nama Sungai Kolak langsung mendunia. Adalah kerjaan bulletin “Verslagen en Madeligen Betrefende Indische Delfstaffen Haretoepasigen” yang memulai cerita itu. Buletin ini dalam edisi Nomor 18 tahun 1925 menerbitkan tulisan yang berisi penemuan bijih bouksit di Sungai Kolak.

Dari sanalah kemudian mata dunia tertuju pada perut bumi di bawah bunga-bunga Kolak itu. Tiga tahun setelah publikasi itu, areal bouksit di Sungai Kolak itu sudah di bawah kendali sebuah perusahaan Belanda yang bernama “Bauksiet Syndikaat”.

Abdul Muin Husin (69), warga Kampung Jati, Kijang masih merekam baik-baik dalam ingatannya seputar tahun-tahun awal sejarah penemuan bouksit ini. “Bauksiet Syndikaat saat itu kurang banyak melakukan kegiatan berarti. Maka pada tahun 1928, hak pengelolaan dialihkan NV Gemeenschpellijke Mijnbouw Maatschappij Billiton,” kata Muin.

Sejak peralihan hak kelola inilah baru penambangan bouksit berjalan. Di bawah pimpinan Dr YWH Adam, dinyatakan bahwa saat itu hasil bouksit di Bintan sangat ekonomis untuk dieksplorasi. Artinya kalau digali, akan mendatangkan keuntungan besar. Tahun itu pula berdiri NV Nibem yang melakukan penggalian bouksit secara komersil.

Setelah itu dimulailah pembangunan fasilitas dan prasarana, seperti pembuatan jalan ke lokasi penambangan, pelabuhan, jalan umum, serta tentu saja barak-barak pekerja dan keluarga mereka. Periode 1929-1934 tercatat sebagai tahun-tahun perkembangan Sungai Kolak menjadi Bandar kecil yang kemudian dikenal sebagai Kijang.

1935, berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan Muin dan rekan-rekannya, tercatat bahwa untuk pertama kali bouksit Bintan diekspor ke Eropa. Nibem berhasil mengekspor sebanyak sekitar 10 ribu ton bouksit ke Eropa. Inilah sejarah awal bagaimana hasil perut bumi Bintan kemudian dinikmati oleh none-none Belanda dalam bentuk panic-panci dan alat masak alumunium lainnya.

Tahun 1938 penggalian terus berkembang. Pulau Koyang, yang ada di depan Kijang kemudian digali. Dibikin fasilitas cable way untuk mengirimkan bouksit dari pulau itu ke Kijang. Tahun 1939, untuk kepentingan refrensi ilmiah, dilakukan penelitian geologi di bawah pimpinan Dr RW Van Bemmelen. Bentuk penelitian adalah penggalian shaft, sebuah lubang yang menghujamke dasar bumi dengan kedalaman 54 meter. Lubang itu kini masih ada, dan tempatnya tepat di dalam Kompleks Kantor PT Antam, Kijang.

Itulah sejarah awal penggalian bouksit di Bintan. Bisa saja kita berandai-andai, bahwa waktu itu tidak ditemukan bouksit dari perut bumi Bintan. Bisa jadi kita tak akan mengenal kota yang kini di kanan kiri jalannya sudah dipenuhi oleh ruko-ruko tersebut. Bisa jadi Kijang mungkin tetap akan menjadi sungai, yang ditepiannya tumbuh bunga-bunga Kolak. Bunga-bunga yang ketika mekar, berwarna putih dan enak dipandang mata.

Tiga Tahun Dikuasai Jepang

PERANG Asia Timur Raya yang digelar Jepang ternyata kemudian membawa catatan sejarah tersendiri bagi tambang bouksit di Kijang. Dari mulut harimau, bouksit Kijang pun masuk ke mulut buaya. Dari tujuan ekspor ke Eropa, kemudian kandungan perut bumi Bintan itu pun dibawa ke Negeri Doraemon.

Semua bermula ketika Jepang mengebom pangkalan Amerika di Pearl Harbour. Setelah itu Jepang terus bergerak ke selatan, mencari kandungan sumber daya alam untuk kepentingan menggerakkan mesin-mesin perang. Jepang mencari taklukan baru, berperang dengan penjajah Eropa, dan sekaligus memproklamirkan sebagai kelompok pembebas Asia.

1942, Jepang masuk ke Kepri lewat pintu masuk Tarempa, Kabupaten Anambas. Dari situ, Jepang bergerak terus, sampai menjangkau Pulau Mapur, dan mendarat di Tanjungpinang serta Kijang.

Singapura sebelumnya mereka taklukan sekitar 15 Februari 1942. Kemudian menyusul Tanjungpinang pada 21 Februari 1942, atau enam hari setelah Singapura takluk. Terjadi perang kecil-kecilan dengan serdadu sekutu.
Setelah serdadu Negeri Matahari Terbit itu mendarat di Tanjungpinang, mereka mendapat informasi tentang adanya tambang bouksit yang masih digali oleh Belanda di Kijang.

Ini adalah kabar baik bagi mereka, sebab bouksit yang kemudian diolah menjadi alumunium adalah bahan baku yang cocok untuk keperluan perang, terutama pembuatan pesawat tempur. “Mereka dari Tanjungpinang berjalan kaki, juga naik sepeda menuju Kijang,” cerita Abdul Muin Husin

Jarak Tanjungpinang-Kijang sekitar 26 kilometer. Tak ada angkutan pedesaan waktu itu, kecuali jalan berdebu yang juga beberapa di antaranya masih jalan setapak dan berkelok-kelok melewati kaki Gunung Lengkuas.

Begitu sampai di Kijang, tentara langsung berbaris di depan areal perbengkelan yang biasa digunakan untuk keperluan perbaikan alat berat penggalian bouksit Kijang. Waktu itu nama daerah itu masih tetap menggunakan sebutan Sungai Kolak.

Kijang waktu itu jauh dari hingar bingar deru meriam dan bau musiu di Tanjungpinang. “Suasana relatif tenang di Kijang waktu itu,” kata Muin, yang asli Belitung namun sudah merantau ke Kijang dalam usia belasan. Tak ada perlawanan berarti dari Belanda sewaktu Jepang masuk ke Kijang. Pegawai NV Nibem, perusahaan pengeruk bouksit Kijang waktu itu sudah menyingkir ke Belitung sewaktu mendengar kabar Jepang sudah menaklukan Singapura.

Untuk keperluan eksplorasi bouksit bekas NV Nibem, serdadu Jepang pun membentuk perusahaan yang bernama Furukawa Co. Ltd. Dalam Susana perang, manajemen perusahaan pun dikelola untuk keperluan perang. Semua dilakukan serba cepat. Bila Belanda butuh waktu 11 tahun antara pengiriman ekpedisi pertama ke Kijang sampai melakukan ekspor ke Eropa, Jepang bergerak lebih cepat.

Siang malam seluruh mesin pabrik dikerahkan untuk melakukan penggalian, guna mendapatkan hasil sebesar-besarnya. Selain itu, pegawai pribumi pun harus menundukkan muka bila lewat di depan markas tentara Jepang, yang sekarang ada di areal kantor Koperasi Perbaki. Anak-anak mereka yang bersekolah pun harus membungkukan tubuh ke utara, ke arah istana Kaisar, di Jepang sana.

Dinasionalisasi Indonesia, 1959

DALAM catatan sejarah, setidaknya tambang bouksit Kijang sempat empat kali berpindah tangan. Dari Belanda, Kijang dikuasai oleh Jepang, sebelum akhirnya diambil Belanda lagi. Baru pada 1959, atau 14 tahun setelah Indonesia merdeka, tambang bouksit Kijang diambil alih pemerintah.

TAK banyak perubahan berarti setelah Belanda mengambil alih tambang dari Jepang pada tahun 1945. Usainya Perang Asia Timur Raya yang seumur jagung itu, usai pula masa kekuasaan Jepang atas tambang bouksit Kijang. 1945, melalui pengibaran bendera putih di lokasi tambang yang memanjang di tepian Sungai Kolak, Belanda pun masuk kembali. NV Nibem yang sebelumnya kabur ke Belitung pun kembali mendarat di Bintan.

Suasan agak berbeda pada periode 1959. Setahun sebelumnya, pemerintah Indonesia melalui kebijakan nasionalisasi, mulai mengambil alih asing di Indonesia, seperti Shell, KPM, Goodyear, Unilever dan lainnya. “Saat itu terjadi penyerahan asset dan dikelola pemerintah Indonesia,” kata Abdul Muin Husin, yang juga pensiunan PT Antam Bouksit Kijang.

Proses pengambilalihan dilakukan melalui mekanisme penggabungan NV Nibem dengan NV Nitem, yang mengelola timah di Dabo Singkep. Penggabungan ini di bawah kendali Biro Umum Perusahaan-perusahaan Tambang Negara (Buptan) yang dipimpin oleh Ukar Bratakusumah. Setelah penggabungan itu kemudian terjadi perubahan nama, yakni Perusahaan Pertambangan Bouksit Kijang (PPBK) dan Perusahaan Pertambangan Timah Singkep (PPTS).

Sempat terjadi beberapa kali perubahan nama perusahaan tambang bouksit, sebelum akhirnya pada 1968 baru memakai nama PN Aneka Tambang Unit Pertambangan Bouksit. Enam tahun kemudian, baru PN Aneka Tambang dialihkan menjadi PT.

Pada periode tahun 1960-an itulah, dilakukan perluasan penggalian bouksit. Tidak hanya di Kijang saja, tetapi juga dilakukan penggalian sampai wilayah Sungaijang. Wilayah ini sekarang dikenal sebagai Perumnas Sungaijang, Tanjungpinang.

Pada periode itu, pertumbuhan Sungai Kolak menjadi pesat. Akhirnya daerah ini berubah menjadi Kijang, atau kota yang sekarang kita kenal sebagai pusat pemerintahan sementara Kabupaten Bintan. Seiring pesatnya pertumbuhan penduduk, dituntut juga terjadinya perbaikan infrastruktur umum. Maka pada tahun 1963, kata Muin, digalilah waduk Sungai Pulai, yang akan digunakan sebagai cadangan air bersih untuk warga kota. Sampai saat ini Sungai Pulai masih menjadi satu-satunya sumber air bagi warga Tanjungpinang.

Penemuan bouksit di Kijang yang dianggap fenomenal ini tak saja menyita perhatian dunia pertambangan. Kalangan kalangan akademis pun turun melakukan penelitian. Puluhan, atau mungkin sadah ratusan skripsi strata satu dihasilkan dari tambang bouksit itu. Dari tahun 1960 sampai 1992, data yang tercatat, ada sekitar 172 skripsi yang dihasilkan dengan mengkaji tambang bouksit ini dariberbagai sisi.

Tak berhenti di situ, bouksit ternyata menjadi magnet penggerak ekonomi utama Kijang, bahkan sampai Tanjungpinang. Anda saja dulu tidak ada ekpedisi Belanda yang menemukan bouksit di kota kecil ini, bisa jadi Kijang yang saat ini ada adalah sekedar perkempungan nelayan. Memang kemudian lahir banyak kritik, bahwa penambangan telah merusak ekosistem. Apalagi saat ini tidak hanya Antam saja yang melakukan eksplorasi, melainkan juga perusahaan swasta.

Dulu Empat KK, Kini 34 Ribu Jiwa

BERKELILINGLAH Kota Kijang saat ini. Deretan toko dan kendaraan roda empat penuh menghiasi wajah kota. 80 Tahun yang lampau, wajah kota ini hanya dihiasi oleh kelopak-kelopak kembang Kolak yang berwarna putih saat mekar.

Kota ini terus membangun. Bouksit menjadi magnet utama penggerak roda perekonomian kota. Sempat berjaya seiring derasnya penggalian, namun Kijang agak meredup pada dekade 1990-an akhir, karena eksplorasi bouksit pun sempat menurun. Lalu kota ini berjalan dengan pelan, tak seperti namanya, yang berarti binatang berkaki empat yang sanggup berlari kencang laksana peluru. Tapi 2006 awal, sebuah magnet ekonomi penggerak baru kembali hadir, melengkapi magnet sebelumnya.

Saat itu, pemerintahan Provinsi Kepri yang sebelumnya bermarkas di Sekupang, Batam, pindah ke Tanjungpinang. Kantor Bupati Bintan pun kemudian disulap jadi Kantor Pemprov Kepri. Dan Bupati Bintan beserta ratusan stafnya angkat meja dan kursi, bergerak ke arah Kijang. Di mess PT Antam, Bupati Bintan dan stafnya membangun kantor sementara, menunggu pembangunan Bandar Sri Bintan selesai.

Kepindahan ini membawa banyak perubahan, terutama dari sisi ekonomi. ABPD Bintan yang beberapa tahun belakangan berjumlah di atas Rp 400 milyar, sedikit demi sedikit terkucur ke Kijang. Warung-warung pinggir jalan tumbuh, kemudian menjelma menjadi rumah toko (ruko).

Tak ada yang bisa membayangkan Kijang yang sekarang berkembang seperti ini. Abdul Muin Husin (69) pun hanyut di dalam perkembangan Kijang yang semakin cepat ini. Padahal, dulunya, dari sisi pemerintahan, Kijang tak lebih hanyalah kota kecamatan.
Muin bercerita, pada 1924, ketika ekpedisi Belanda pertama mendarat di Kijang untuk mencari timah, saat itu pemukiman hanya ada di Sungai Enam Lama, atau di Kampung Tun Tan dan di Mantang Arang, Pulau Mantang. Yang ada saat itu bukan Pak Camat, melainkan hanya taulo, sebuah jabatan pemerintahan paling bawah, setingkat penghulu atau lurah. Taulo hanya bertugas mencatat kematian, kelahiran, perkawinan dan kepindahan penduduk.

Untuk di pulau-pulau sekitar Kijang, bukan taulo yang mengatur, tetapi batin. Ada Batin Mapur, Kelong dan lainnya. Baru pada 1962, terbentuk Asisten Wedana, dan tahun 1966 berubah menjadi Camat. Satu di antara Camat yang pernah memerintah di daerah ini adalah Muhammad Sani, yang kini menjadi Wakil Gubernur Kepri. Kini, setelah tahun 2006, tidak hanya camat lagi yang ada di Kijang, tetapi juga bupati.
Perkembangan penduduk pun terbilang pesat. Dari hanya sekitar lima rumah penduduk di Kampung Tun Tan tahun 1924, penduduk Kijang terus bertambah, sampai mencapai 45 ribu jiwa. Namun setelah pemekaran wilayah, di mana Kecamatan Bintan Timur dibagi menjadi tiga wilayah, yakni Bintan Timur, Mantang dan Bintan Pesisir, Kijang yang masuk wilayah Bintan Timur hanya dihuni 34 ribu penduduk. “Ada pemekaran, jadi penduduknya dibagi menjadi tiga wilayah,” kata Camat Bintan Timur saat ini, Lucky Z Prawira.

Itulah Kijang, kota yang berawal dari bunga-bunga Kolak. Namun sayang, banyak nafas sejarah yang mulai ditinggalkan saat ini. Seperti misalnya bunga Kolak, saat ini sudah sulit mencarinya di sudut-sudut pusat kota. Dan tak ada satu pun tugu yang tergambar bunga ini di pojok kota. Tapi itulah bunga, meski dilupakan, tetapi Kolak tetap menjadi ingatan orang-orang tua di kota itu, termasuk Muin. (trisno aji putra)

Minggu, 17 Agustus 2008

Tanjunguban, Sebuah Pagi



SEPANJANG jalan ini, pagi ada di timur, ribuan pekerja berdesakan di bus pekerja menuju pabrik. Aku melihat, Tanah Melayu di Utara ini sudah berubah wajah, dari sebuah kampung nelayan, menjadi pusat industri baru. Aku mencari kesunyian, tetapi tidka ada di sepanjang jalan ini...

Senin, 04 Agustus 2008

Kijang, Dulu dan Sekarang (1)



Kota yang Berawal dari Penggalian Bouksit

KOTA Kijang dan bouksit adalah dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Cerita orang-orang tua di sana, Kijang hanya berawal dari pemukiman lima keluarga di Kampung Tun Tan, atau lebih dikenal dengan istilah Dapur Arang. Tapi kemudian, 1924, penjajah Belanda dengan semboyan gold, glory and gospel, mendaratkan ekpedisi pertama di daerah ini untuk mencari timah. Bagaimana ekspedisi itu kemudian menemukan “emas kuning”, kisah ini akan dituliskan secara bersambung.

MESIN tik tua buatan tahun 1970-an di ruang tamu rumah bercat kuning itu sudah mulai berdebu. Ada tumpukan kertas dan buku di sampingnya, yang juga tak kalah berdebu. Pemiliknya, Abdul Muin Husin (69) sesekali duduk di belakang mesin tik itu, sekedar membaca tumpukan buku, atau juga mengetik.

Muin, sapaan ayah dari enam anak dan kakek dari 19 cucu itu masih menyimpan semuanya. Ia tidak asli penduduk Kijang, tapi diingatannya, sejarah tentang kota yang kini menjadi pusat pemerintahan sementara Kabupaten Bintan itu tersimpan rapi. Kijang boleh saja terus berbenah, bahkan berlari kencang, dari sebuah kota kecamatan menjadi kota sedang dengan pabrik dan toko serba ada yang menghiasi sudut-sudutnya.

Tapi di mata Muin, Kijang tetaplah sebuah kota yang berawal dari sebuah tim ekpedisi Belanda untuk mencari timah di utara Pulau Bangka. Kisah itu semua bermula tahun 1920. Sebuah perusahaan Belanda yang mengeruk timah di Pulau Belitung, NV. GMB terus melakukan penelitian terhadap kemungkinan adanya kandungan biji timah di pulau-pulau yang berada di sebelah selatan Semenanjung Melaka. Dari berbagai kontak dengan penduduk setempat, termasuk di pulau Lingga, Singkep dan Karimun, diperoleh kabar positif. Karena itu penelitian pun dilakukan, termasuk sampai di Bintan.

“Tahun 1924 NV GMB mengirimkan tim ekpedisi,” tutur Muin, yang kini juga bergiat di Dewan Kesenian Kabupaten Bintan sebagai Ketua Bidang Seni dan Budaya. Pendaratan tim itu dilakukan di Kampung Tun Tan, yang masuk wilayah Sungai Enam Lama. Di kawasan ini selanjutnya berdiri tempat-tempat pembuatan arang dari kayu bakau yang diekspor ke Singapura. Karena itu kawasan ini kemudian dikenal dengan sebutan Dapur Arang.

Dalam penelitiannya tentang kandungan di perut bumi Bintan itu, tim menurut Muin menginap di rumah penduduk. Seorang penduduk, Amat S, cucu Lebai Idris, yang rumahnya juga ditumpangi pimpinan rombongan, akhirnya diajak bergabung dalam tim. Amat diajak bergabung karena diperlukan tenaganya sebagai penunjuk jalan. Dari Amat lah kemudian satu persatu sejarah itu terjadi.

Pertama sekali, Amat membawa rombongan menyeberang Sungai Kalang Tua dan menyusur jalan setapak menuju Sungai Kolak. Bunga Kolak yang tumbuh di sepanjang sungai akhirnya ditabalkan sebagai nama sungai itu oleh penduduk setempat. Sejak itu, kemudian kawasan di sekitar sungai itu pun dinamakan Sungai Kolak. “Itu sebelum diubah namanya menjadi Kijang,” kata Muin.

Setelah itu tim mendirikan barak-barak darurat di tepian sungai dan melakukan serangkaian penelitian topografi, pembuatan sumur uji, dan pengambilan sampel. Sample kemudian dikirim ke Belitung, yang waktu itu masih dilafalkan Billiton. Hasil penelitian di laboratorium NV GMB Billiton itulah yang akhirnya menyatakan bahwa kandungan perut bumi Bintan bukanlah timah, melainkan bouksit, yang jumlahnya mungkin bisa untuk membuat panci di dapur-dapur puluhan juta rumah di Eropa. (trisno aji putra/bersambung)

Senin, 21 Juli 2008

Siang, Lembah, Bukit dan Pepohonan

SETIAP melihat deretan perbukitan itu, aku selalu teringat pada lembah di kakinya. Tak ada kumpulan pohon yang tumbuh, kecuali semak belukar saja. Ada satu dua rumah, tapi tak ada petani.

Dulu, hijaunya pepohonan adalah kesejukan ketika memandang di sepanjang siang yang terik. Tapi kini, satu persatu pohon hilang. Orang-orang menyebut lembah itu sebagai tempat tak bernama. Dan jalan kecil yang menghubungkan ke lembah itu, disebut Jalan tak Berujung.

Aku lewat situ siang tadi. Membawa Luqmaan kecil dan ibunya. Aku melihat kehidupan terus berlangsung. The Show Must Go On. Whatever would be happen, the live never turning back.

Dari kaca spion, aku melihat kedua bola mata Luqmaan. ada telaga teduh yang ia simpan. Telaga, yang kepada siapa melihatnya, akan mendapatkan kekuatan keteduhan. Sepuluh bulan usianya kini, ia sudah mulai mencoba untuk berdiri. Kakinya masih rapuh. Tapi semangatnya terus tumbuh. Aku melihat di telaga kecil di bola matanya, bahwa ia masih terus berjuang untuk melangkah, dengan kaki rapuhnya. Ia menyimpan telaga itu. Dan aku selalu datang kembali untuk melihat telaga itu, menyelaminya, dan mengambil titik titik keteduhan dari dalamnya....

Kamis, 22 Mei 2008

Pendaratan di Tanjunglelan…

MEREKA adalah orang-orang yang dicintai oleh laut. Orang biasa mungkin harus sampai muntah kuning saat mengarungi laut sejauh 1300 mil mengitari gugus-gugus pulau di Kepri. Tapi mereka, para awak kapal navigasi itu, justru mengisi waktu senggang di perjalanan dengan memancing, main catur, juga main domino. Inilah kisah perjalanan menempuh gelombang Laut Cina Selatan bersama Kapal Negara (KN) Adhara.

MATAHARI masih tepat di atas kepala ketika KN Adhara mulai mendekati Tanjunglelan, sebuah daratan yang menjorok ke laut di selatan Pulau Jemaja, Kabupaten Natuna. Ombak berada pada ketinggian dua sampai tiga meter terus menghantam badan kapal. Sementara air laut jernih yang berada di bawah menunjukkan gugusan karang laut dengan aneka warna.

Tak ada pilihan lain saat itu bagi para staf Distrik Navigasi Tanjungpinang, kecuali harus segera menurunkan pompong. Tak ada dermaga tempat bersandar kapal di Tanjunglelang. Jarak 200 meter, KN Adhara harus lego jangkar.

“Oke, kita turun,” kata Herman Pattiasina, pimpinan rombongan. Sehari-hari ia menjabat sebagai Kepala Seksi (Kasi) Operasional Sarana dan Prasarana di Kantor Distrik Navigasi Tanjungpinang. Tapi dalam perjalanan itu, lelaki yang akrab dipanggil “Kep” (kependekan dari captain, atau kapten) oleh para anak buah kapal (ABK) itu berperan sebagai pimpinan rombongan.

Pompong bercat merah dengan panjang empat meter itu pun diturunkan dari geladak KN Adhara. Satu persatu kami melompat. Laut yang terus bergelora membuat hati tak nyaman. Pompong tak bisa merapat ke badan KN Adhara karena terus menerus dipukul gelombang.

Setelah lima pegawai Distrik Navigasi berturut-turut melompat ke pompong, kapal kayu itu pun mulai bergerak pelan menunggangi gelombang menuju pasir pantai Tanjunglelang. Berkali-kali Herman yang duduk di bagian belakang pompong meminta Polala, seorang stafnya yang berdiri di depan untuk melihat karang di dasar laut. “Kalau mesin pompong ini menabrak karang, celaka kita. Sulit kembali ke kapal lagi,” kata Herman.

Perjalanan sekitar 200 meter itu terpaksa ditempuh selama 15 menit. Berkali-kali pompong berbelok, bergerak lincah di antara gelombang, menghindari karang. Setelah tamparan gelombang yang kesekian, akhirnya kaki-kaki kami berhasil menginjak pasir putih Tanjunglelan. Tak ada kehidupan di tanjung itu. Hanya ada tebing, keheningan, dan dua buah gubuk yang sudah bocor. Dulu mungkin ada penduduk Jemaja yang sempat berkebun di tempat itu.

Di ketinggian sekitar 200 meter dari tebing, ada sebuah rambu suar yang dipasang oleh Navigasi. Rambu ini menjadi penunjuk arah sekaligus penanda pada nakhoda kapal yang mengarungi Laut Cina Selatan di malam hari. Total, untuk wilayah Kepri, terdapat 112 tanda suar. 57 unit di antaranya adalah rambu suar. Sedangkan 24 unit lainnya adalah menara suar, dan 31 unit lagi berbentuk pelampung suar. Berbeda dengan menara suar, rambu suar sama sekali tidak memiliki penjaga.

Pendaratan di Tanjunglelang dengan tingkat kesulitan seperti itu ternyata menjadi santapan rutin awak Distrik Navigasi Tanjungpinang. Setiap tahun, dua kali mereka harus singgah di tempat tersebut. “Tingkat kesulitannya baru 10 persen saja,” kata Herman. Ada lagi yang lebih sulit, yakni pendaratan menuju Menara Suar di Tanjungsekatung, sebuah pulau terluar RI yang masih masuk wilayah Natuna. Di tempat itu, bahkan kapal kadang tidak bisa merapat. “Kami terpaksa mengirimkan suplai makanan dengan melemparnya ke laut. Makanan kami ikat dengan tali. Setelah itu kita berenang menuju pantai,” lanjut Herman yang 20 tahun dari 46 tahun usianya dihabiskan di laut itu. (trisno aji putra/bersambung)

Selasa, 20 Mei 2008

Cara Laut Berkenalan...

Terhitung baru tiga jam kami berada di atas geladak KN Adhara, satu dari dua unit kapal milik Distrik Navigasi Tanjungpinang. Laju kapal masih di bawah kecepatan sembilan knot. Semua terasa biasa-biasa saja saat kami melintasi perairan Selat Kijang.
Tapi lepas tiga jam pertama perjalanan yang dimulai lepas adzan maghrib Kamis (15/5) pekan lalu itu, tiba-tiba keadaan berubah tak nyaman. Pulau Merapas, yang menjadi pulau terakhir sebelum KN Adhara mengarungi gelombang Laut Cina Selatan menuju Pulau Jemaja, Natuna, sekaligus menjadi penanda tak bersahabatnya laut di pertengahan Mei itu.
Gelombang di musim angin selatan memang masih di bawah ketinggian tiga meter. Tapi alur yang membuat kapal besi itu menjadi tak nyaman dinaiki. Gelombang yang menghantam haluan membuat kapal terus menerus oleng, bergoyang-goyang tanpa henti, seperti ayunan yang tak pernah berhenti bergerak.
Maka kemudian, 19 dari 20 jam perjalanan menuju Jemaja itu pun harus kami lalui dengan berbaring, menghindari mabuk laut. Ah, laut kadang punya caranya sendiri untuk berkenalan dengan manusia.....

Senin, 19 Mei 2008

Perjalanan ke Timur Laut (2)

Cukong dari Singapura Buru Barang Antik

JEMAJA ternyata cukup digambarkan dengan tiga kata saja: barak-barak bekas pengungsi Vietnam, sendratari gubang, dan tumpukan harta karun yang tertimbun di pasir putih Pantai Melang. Selebihnnya, Jemaja tak ubahnya seperti gugus pulau-pulau yang dulu dikenal dengan sebutan Pulau Tujuh: perkampungan nelayan di tepi pantai, pelaut-pelaut tangguh, dan ombak yang menggulung sampai lima meter di musim angin utara.


Karena tiga kata itulah nama Jemaja pun mengglobal ke seantero Asia Tenggara. Bagi orang-orang di Vietnam, Jemaja adalah kenangan masa lalu mereka. Kala itu, pendulum waktu masih bergerak di angka sekitar tahun 1975. Ribuan, bahkan puluhan ribu orang-orang Vietnam yang tidak sepakat dengan rezim yang berkuasa nekat kabur lewat jalur laut dari negeri itu.

Mereka menuju negeri di selatan, Australia. Dari kabar yang mereka terima samar-samar, hidup di Australia lebih bebas. Naik perahu kayu, mereka pun menuju negeri di selatan. Tapi negeri yang dituju itu teramat jauh. Sementara daratan pertama yang mereka temui dalam perjalanan itu adalah Jemaja. Banyak pelarian Vietnam saat itu berpikir untuk menetap di Jemaja saja, karena mereka menganggap yang penting sudah lepas dulu dari cengkeraman rezim yang berkuasa.

Dari satu perahu, kemudian diikuti perahu lain, hingga jumlah pastinya semakin tak terdata. Dari satu keluarga, kemudian Jemaja dihuni sampai ribuan keluarga Vietnam. “Jumlah mereka lebih banyak dari pada jumlah penduduk Jemaja sendiri,” kata Thamrin, seorang warga Jemaja.

Kondisi kehidupan di Jemaja zaman pelarian Vietnam itu masih lekat dalam ingatan Thamrin. Namun seiring bergurlirnya waktu, pengungsi itu setelah dibawa ke Pulau Galang, kemudian dikembalikan ke negaranya. Kini tak ada yang tersisa, kecuali puing-puing barak. Tapi Thamrin masih menyimpan peninggalan yang tersisa dari pelarian Vietnam itu. “Beberapa masyarakat Jemaja sampai kini masih bisa berbahasa Vietnam,” kata lelaki yang sehari-hari bekerja membuka bengkel di Letung ini.

Sewaktu Vietnam masih ramai di Jemaja, Thamrin melihat peluang ekonomi. Sehari-hari ia berjualan makanan keliling barak. Ia pun melakukan kontak dan belajar bahasa mereka. Zaman itu, orang-orang Jemaja ada yang kaya mendadak. Sebab, saking mungkin sudah sangat kelaparan, ada orang Vietnam yang rela menukarkan seuntai kalung emas dengan sebungkus nasi.

Keramik Dinasti Song

Kisah tentang pelarian Vietnam itu melengkapi satu lagi daya pikat Jemaja di mata orang-orang di Asia Tenggara. Bagi orang di Malaysia maupun Singapura, Jemaja mereka kenal sebagai surga barang antik. Cukong-cukong benda-benda antik dari kedua negeri jiran itu kerap mendatangi pulau yang terpisah sekitar 20 jam perjalanan laut naik kapal besi dari Tanjungpinang ini.

Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kecamatan Jemaja Andrin Ali Muhammad adalah seorang saksi dari bagaimana kegigihan para pemburu harta karun itu di Jemaja. Tersebutlah sebuah pantai di utara Jemaja. Orang-orang memberikan nama pantai yang sejauh mata memandang hanya hamparan pasir putih itu dengan sebutan Pantai Melang. Kini pantai itu menjadi objek wisata bagi orang Letung, karena hanya 15 menit jarak tempuhnya dari kota kecamatan itu.

Pantai itu kini memang hanya tempat rekreasi. Tapi sampai sekitar tahun 1960-an, pantai itu dikenal sebagai tempat penemuan keramik-keramik kuno. Banyak penggalian yang dilakukan di sana. Dari beberapa keramik yang pernah ditemukan Andrin, di antaranya ada yang menunjukkan bahwa benda-benda bernilai jual tinggi itu ada yang dibuat pada zaman Dinasti Ming, yang diperkirakan berkuasa di Cina sekitar periode tahun 1368-1644. “Tapi ada juga pernah saya temukan keramik yang berasal dari zaman Dinasti Song,” kata Andrin lagi.

Kalau lah benar demikian adanya, maka usia keramik yang ditemukan di Pantai Melang itu sudah cukup tua. Sebab berdasarkan catatan sejarah, Dinasti Song sendiri berkuasa sekitar tahun 960-1268. Berapa banyak keramik yang tersimpan di dasar pasir Pantai Melang, belum ada yang menghitung. Tapi, Serain, seorang warga Letung memberikan ilustrasi. Di zaman ketika ia masih bersekolah SMP, sekitar akhir dekade 1960-an, ia sering mengunjungi Pantai Melang. “Kalau kita menginjakkan kaki di pasir, seperti ada suara gema. Artinya di sepanjang pasir pantai itulah terkubur keramik-keramik tua itu,” kata Serain.

Tak hanya keramik tua saja yang tersimpan di Pantai Melang. “Juga ada emas batangan, mahkota dan lainnya,” kata Serain. Penduduk setempat pernah menemukan itu. Diperkirakan, emas batangan ini adalah simpanan para bajak laut yang zaman dulu kerap melintas perairan lepas pantai Jemaja.

Dari mana keramik itu bersumber? Andrin memperkirakan, keramik itu berasal dari kapal-kapal yang karam di sekitar lepas pantai Jemaja. Pantai Melang yang menghadap ke utara, persis berada di jalur pelayaran internasional yang menghubungkan Cina di utara dengan Jawa di selatan.

Lantas bagaimana perburuan benda-benda antik itu? Andrin berkisah bahwa ia beberapa kali didatangi tamu asing yang tak dikenal. Di antaranya ada yang mengaku dari Jakarta, Singapura maupun Malaysia. Pernah ada seorang cukong benda antik dari Singapura yang mau membeli keramik kuno berbentuk vas bunga setinggi 30 sentimeter dengan harga 60 ribu dolar Singapura (atau Rp 390 juta dengan kurs Rp 6.500 per dolarnya).

Itulah Jemaja, pulau yang masuk dalam gugusan Pulau Tujuh. Banyak kisah tua yang pernah berlangsung di sana. Namun setelah semua kisah itu berlalu, ekonomi Jemaja ternyata masih bergerak pelan. Orang-orang Jemaja kini tengah sibuk berbicara tentang pembentukan Kabupaten Anambas, dari pada mengingat pelarian Vietnam maupun benda-benda kuno. (trisno aji putra)

Perjalanan ke Timur Laut (1)

Letung, Saksi Bisu Kepunahan Bahasa Jemaja

SEMUA itu sudah samar dalam ingatan Serain (49). Hanya beberapa kosakata yang masih diingatnya, itu pun warisan cerita ibunya dulu. Orang-orang Letung itu kini adalah saksi bisu punahnya Bahasa Jemaja, sebuah bahasa yang pernah menjadi alat komunikasi di pulau yang masuk dalam wilayah Kabupaten Natuna itu.

HAMPIR malam di Letung, ketika Kapal Negara (KN) Adhara yang kami tumpangi merapat di dermaga. Orang-orang Letung sudah menunggu di tepian, membawa sepeda motor. Mereka mengantarkan kami satu persatu ke perkampungan penduduk yang memanjang sekitar beberapa kilometer di tepian pantai.

Di Letung, orang masih belum menjadikan uang sebagai falsafah hidup tertinggi. Kami dijemput sepeda motor dan diantar sampai tujuan dengan gratis. Bahkan seorang tokoh pemuda setempat, Zulfahmi, tak keberatan mengantar kami sampai ke rumah Andrin Ali Muhammad (58), Ketua Lembaga Adat Melayu Kecamatan Jemaja, Kabupaten Natuna.

Setumpuk data sudah ada di meja Andrin sewaktu kami datang. Lelaki bertubuh gempal itu membangun rumah di pelantar, menjorok ke laut. Angin sore, senja yang mulai turun di barat Jemaja, serta sebuah keakraban menemani pembicaraan kami.

Andrin adalah seorang pencari. Puluhan tahun dari hidupnya dihabiskan untuk melihat, mendengar dan mencatat. Di balik rambutnya yang sudah memutih itu, tersimpan ratusan, bahkan ribuan data tentang Jemaja, tanah kelahirannya. Ia berkeliling seluruh Jemaja, berbicara dengan ribuan orang, dan mencatat begitu banyak peristiwa yang nyaris terlupakan.

Orang-orang yang terlahir dalam zaman Pentium IV kini mengalami masalah ingatan. Banyak kearifan lokal yang sudah mulai terlupakan karena ketidaksediaan untuk mengingat itu. Satu di antara catatannya tentang masalah kealpaan itu juga terjadi di Pulau Jemaja. Sampai sekitar tiga generasi lalu, di pesisir timur Jemaja, orang-orang Jemaja masih punya bahasa sendiri, yang berbeda dengan bahasa Melayu yang mereka gunakan kini.

Namun kini, mungkin hanya Andrin, Serain, dan segelintir orang tua di Jemaja yang masih ingat tentang bahasa itu. Itu pun hanya beberapa kosakata saja. Tapi mereka pun sudah tak mampu lagi merangkai kata itu menjadi kalimat. Maka bahasa Jemaja pun punah bersama kealpaan ingatan itu.

“Bahasa ini diucapkan oleh orang-orang di Jemaja Timur. Tepatnya di David,” kata Andrin. David yang dimaksud oleh Andrin bukanlah nama tokoh cerita rakyat Timur Tengah yang berhasil mengalahkan Goliath. David adalah nama perkampungan, yang karena pemekaran kecamatan, kemudian dijadikan sebagai ibukota Kecamatan Jemaja Timur.

Tercatat, memang kampung-kampung tua di Jemaja awalnya berada di Jemaja Timur, di daerah sekitar Ulu Maras. Kampung tertua di pulau yang kini berpenduduk sekitar sepuluh ribu jiwa itu adalah Kampung Ulu Maras. Namun dalam perkembangannya kemudian, persebaran penduduk justru lebih mengarah ke Letung, yang berada di pesisir. Kini Letung menjadi bandar kecamatan teramai di Kecamatan Jemaja.

Tak Berbekas

KAMI berusaha melakukan penelusuran untuk menggali sisa-sisa bahasa Jemaja yang mungkin sudah punah itu. Sepanjang jalan, kami mencari anak-anak muda yang berasal dari Jemaja Timur. Tapi tak satu pun dari mereka mengerti bahwa sempat tumbuh sebuah bahasa yang kini punah di tanah kelahiran mereka itu. Hampir semua dari mereka hanya menggeleng ketika kami tanyakan tentang bahasa Jemaja.

Andrin sendiri tak banyak mencatat kosakata bahasa Jemaja tersebut. Namun menurutnya, bahasa itu sekilas kedengaran seperti menyingkat kalimat bahasa Melayu. Seperti misalnya untuk menyebutkan kalimat, “mau ke mana?”, orang-orang Jemaja tempo dulu hanya mengucapkan, “nak kemar?”. Atau misalnya untuk kalimat membenarkan sebuah pernyataan seperti, “iya juga.” Orang-orang Jemaja dulu mengucapkannya hanya, “iye ga.”

Pencarian itu akhirnya mempertemukan kami dengan Serain. Lelaki asli Letung yang kini bekerja di Kantor Navigasi Kelas I Tanjungpinang itu sebenarnya adalah teman seperjalanan di KN Adhara. Di sepanjang jalan, Serain banyak bercerita tentang kampungnya. Dari mulai eksotisme Pantai Melang, kehidupan pengungsi Vietnam di Jemaja, sampai keramik-keramik kuno peninggalan zaman dinasti-dinasti kerajaan Tiongkok dulu. Tapi tak satu pun cerita itu mengarah pada bahasa yang telah punah itu.

“Saya tak tahu banyak. Hanya cerita ibu saya, dulu memang ada bahasa itu,” kata Serain, sewaktu kami mengobrol di buritan kapal, dalam perjalanan pulang ke Tanjungpinang. Di antara kosakata bahasa itu yang masih diingat Serain adalah seperti man sebagai pengganti penyebutan orang pertama, saya. Atau misalnya kata camce untuk menyebut sendok, belek untuk menyebut botol, dan kehawe untuk menyebut kopi.

Satu kosakata lagi yang masih diingat oleh Serain adalah penyebutan tentang waktu. Bahasa Jemaja itu hanya mengenal penyebutan masa lampau sebetas tiga hari yang lalu saja. “Mereka bilang tiga hari lalu itu dengan kata marenti,” kata Serain. Lebih dari itu, Serain sudah tak ingat lagi kosakatanya.

Masuknya Pengaruh Luar

PARA ahli linguistik memperkirakan bahwa dalam setahun, ada sekitar sepuluh bahasa di dunia ini yang punah. Kepunahan sebuah bahasa itu karena tidak didukung jumlah masyarakat pengucapnya. Jika memang pandangan ini benar, maka bisa jadi Bahasa Jemaja adalah satu dari sepuluh bahasa yang punah setiap tahunnya itu.

Baik Andrin maupun Serain sependapat bahwa faktor utama kepunahan Bahasa Jemaja itu karena semakin kuat masuknya pengaruh luar. Sejak ditemukannya mesin uap oleh James Watt, pulau-pulau terpencil berhasil dijelajahi manusia. Termasuk Pulau Jemaja. Kontak dengan dunia luar pun terjadi, yang menyebabkan masuknya budaya luar. “Sekarang banyak anak-anak sini yang merantau ke luar, dan orang luar pun banyak datang kemari,” kata Serain.

Namun, seorang kawan di Tanjungpinang punya pendapat lain tentang punahnya bahasa Jemaja itu. “Saya menduga bahwa itu hanya merupakan dialek dari bahasa Melayu saja. Artinya bukan bahasa yang berbeda dengan bahasa Melayu,” kata Ari Sastra, jebolan Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang.

Faktor iklim, geografis, sosial budaya adalah sejumlah penyebab terjadinya perubahan dialek dalam sebuah bahasa. “Buktinya, orang-orang Letung saja masih paham dengan arti kalimat mereka,” kata Ari lagi. (trisno aji putra/bersambung)

Sabtu, 17 Mei 2008

Di Tanjunglelan, Natuna....



Tak ada kehidupan, hanya ombak, tebing, pasir putih, dan terik matahari....Waktu seperti berhenti di sini....Kawan-kawan, nanti akan kutuliskan kisah perjalanan ke Timur Laut ini dalam blog ini.....Sepanjang jalan, aku hanya memungut gelombang.....

Perjalanan ke Timur Laut



KAKI-kaki rapuh kami akhirnya bisa melangkah di atas pasir Tanjunglelan, Pulau Jemaja...tak ada kehidupan, kecuali panas yang menyengat, juga ombak yang masih sekitar tiga meter. Angin selatan memukul pantai, dan kami pun melanjutkan perjalanan terus ke timur laut...

Minggu, 11 Mei 2008

Perjalanan ke Selatan

PULAU Penaah adalah tempat persinggahan para bule yang berkonvoi naik yacht dalam perjalanan mereka dari Singapura menuju Bali. Inilah pulau yang menjadi surga bagi nelayan. Jutaan ikan di sana membuat para pemancing dari berbagai penjuru jagat yang datang seperti mengail ikan di dalam kolam.

ORANG-orang Penaah sudah kumpul di tepi lapangan sepakbola ketika kami sampai. Mereka duduk, jongkok, duduk, berdiri, lalu duduk lagi. Jumlah mereka seratusan orang. Sudah berjam-jam mereka menunggu di pinggir lapangan. Bukan laga sepakbola antar kampung yang mereka tunggu. Tapi sebuah helikopter yang ditumpangi oleh Gubernur Kepri Ismeth Abdullah yang mereka tunggu.

“Kami belum pernah lihat helikopter,” kata seorang warga di tepi lapangan. Dan sekitar pukul 16.00 WIB, sebuah helikopter berwarna biru langit milik TNI AL meraung-raung di atas langit Penaah. Sebagian warga yang sudah menjauh untuk berteduh di pohon kontan berhamburan. Bocah-bocah kesil terselip di antara mereka yang berhamburan mendekat itu.

Bagi mereka, helikopter kemudian benda ajaib tercanggih yang pernah singgah di pulau dengan penduduk sekitar 371 orang. Begitu Ismeth turun para bocah berdiri di tepi jalan semen seluas satu setengah meter yang menghubungkan lapangan sepakbola dengan panggung tempat pembukaan acara Lingga Fishing Festival (LFF) 2008. Tapi baru beberapa detik Ismeth berlalu melewati jalan semen itu, para bocah kembali berhamburan, menuju lapangan bola, menjauhi panggung. Mereka mengelilingi helikopter dan memandangnya sampai berjam-jam. Gadis-gadis kampung yang sudah punya ponsel kamera asyik berpose dengan latar belakang benda ajaib yang punya baling-baling itu. Sementara pemuda kampung, dengan santai baring-baring di bawah pohon di tepi lapangan, sambil terus menatap helikopter itu.

Rupanya, persiapan penyambutan helikopter itu sudah dilakukan sejak sekitar satu bulan lalu. Warga kampung dengan sukarela membersihkan lapangan. “Kami juga tadi pagi tabur beras kencur di lapangan,” kata seorang warga lainnya. Mereka khawatir, helikopter canggih itu akan diganggu oleh makhluk halus yang terkenal ada di sekitar pulau yang luas kelilingnya hanya sekitar 1,3 kilometer itu.
Tapi jerih payah sebulan penuh itu terpuaskan sore itu. Benda yang hanya pernah mereka saksikan di film-film action Hollywood, sore itu singgah di kampung mereka juga. Hampir petang, helikopter itu terbang kembali meninggalkan kampung mereka dengan diiringi lambaian tangan bocah-bocah kampung.

Tapi lepas dari persoalan helikopter, sore itu, bocah-bocah kampung juga punya “mainan” baru, memelototi empat bule yang datang untuk ikut lomba mancing. Hasrat hati ingin mendekat, tapi di SD di kampung mereka itu, Bahasa Inggris belum diajarkan.

Alain, bule asal Prancis yang sudah setengah tahun menetap di Batam dan bekerja untuk PBB mengaku cukup terhibur dengan keramahan kampung dan keindahan Penaah. Ia mengaku hobi naik sepeda gunung. Tapi begitu seorang rekannya mengajak untuk ke Penaah ikut lomba memancing, Alain tak menolak. Maka Jumat (2/5) kemarin, ia pun menjadi satu dari sekitar 350 peserta lomba mancing. Selain Alain, ada tiga bule lainnya, sahabat Alain, yang ikut lomba yang diadakan tiap tahun itu.

Ketika acara pembukaan sedang berlangsung, Alain yang sudah terbiasa menghadapi forum seremonial, justru meluangkan waktu untuk berkeliling Penaah. “Saya tak pernah melihat pulau seindah ini di Prancis. Di sana ada pulau, tapi tak ada pohon kelapanya,” kata lelaki yang fasih bercerita soal Zinedine Zidane, bintang sepakbola legendaris asal Prancis yang sudah gantung sepatu itu. Karena itu, memancing sebenarnya bukan tujuan Alain. “Saya tak ada persiapan. Dan saya tak punya ambisi juara,” lanjutnya.

Sebenarnya Alain bukan bule pertama yang singgah di Penaah. September hingga Oktober adalah musim kunjungan para bule ke pulau yang terletak di ujung Selatan gugus kepulauan Senayang ini. Letak Penaah yang ada di persimpangan jalur yang menghubungkan Laut Bankga dengan Laut China Selatan itu menjadikan tempat ini pilihan singgah bagi para petualang laut dari berbagai sudut kolong jagat itu untuk singgah mengambil perbekalan air bersih. Mereka biasanya labuh jangka di Selat Kongki, sebuah laut sempt yang diapit oleh Pulau Kongki Besar dan Kongki Kecil. Ujung dari selat itu adalah Pulau Penaah.

Tapi tak sekedar mengambil perbekalan air bersih saja. Para bule itu sudah memasukkan dalam agenda perjalanan mereka nama Penaah. Pulau ini, selain menawarkan pantai pasir putih, sekaligus menyimpan terumbu karang indah di dasar lautnya. Para pengebom ikan yang pernah mencoba datang diusir oleh nelayan Penaah. Sehingga, sejak dulu, terumbu karang aneka warna dan jenis itu masih tersimpan rapi di dasar laut.

“Kedatangan mereka biasanya untuk menyelam,” kata Abang Azhari, Ketua RW 08 Pulau Penaah. September datang, rombongan konvoi yacht yang digunakan bule-bule itu jumlahnya sampai belasan, yang mengangkut puluhan penumpang. Tapi, mereka jarang singgah ke Penaah. Sesekali saja bila mereka ingin menikmati pulau kecil itu, mereka menjejakkan kaki di pasir putih pantai Penaah.

Penaah Terancam Tenggelam

PULAU Penaah adalah penanda, bahwa di gugus kepulauan Senayang, Kabupaten Lingga, ikan belum menjadi barang langka. Lautnya masih terjaga dari pengeboman liar, namun ada ancaman, pulau itu suatu saat akan tenggelam akibat abrasi dan pemanasan global global warming).

SEPANJANG mata memandang, hanyalah hamparan warna biru lautan yang berkilauan terpantul sinar matahari sore. Pulau Penaah seperti titik noktah kecil di atas hamparan biru lautan yang sesekali beriak.
Di ujung sana, anak-anak nelayan berlarian di pasir putih pantai. Satu dua canda tawa mereka masih terdengar dari ujung selatan, dekat lapangan sepakbola di tengah pulau.

Luas pulau itu hanya sekitar 1,3 kilometer apabila dikelilingi. Garis tengah pulau yang berbentuk lingkaran tak sempurna itu hanya 600 meter, dari ujung ke ujung. Rumah-rumah penduduk hanya di sisi sebelah barat, tepatnya memanjang dari barat laut sampai barat daya pulau. Pemukiman berakhir di pantai pasir putih di ujung utaranya. Pada sisi timur pulau yang ditumbuhi kelapa tak sampai seratusan batang ini, tak ada rumah, melainkan semak belukar.

Kini penduduk Penaah adalah generasi yang ketiga. Sejarah kehidupan di pulau itu berawal sewaktu Abang Akil datang ke pulau itu lebih dari 150 tahun lalu untuk membuka kebun kelapa. Abang Akil adalah warga Daek, Kabupaten Lingga. Kini, generasi ketiga dari keturunan Abang Akil, Abang Azhari dipilih menjadi Ketua RW 08. Tingkat birokrasi tertinggi di pulau berpenduduk 115 kepala keluarga (KK) tersebut hanyalah RW. Di bawah RW, ada dua RT. Adminstratif pulau ini masuk dalam wilayah Kelurahan Senayang, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga.

Kini setelah lebih dari 150 tahun pulau di ujung selatan gugus kepulauan Senayang itu ditempati, ada ancaman yang tengah mengintip. Di sisi selatan pulau terjadi abrasi terus menerus sepanjang tahun. Dulu, jalan semen dengan lebar sekitar satu setengah meter dibangun mengelilingi pulau. Pengunjung yang datang pun bisa menikmati keindahan seluruh pulau dengan berjalan kaki melewati jalan semen tadi.

Tapi itu cerita lima tahun lalu. Sejak tiga tahun terakhir, terjadi abrasi terus menerus, memanjang dari sisi timur laut sampai tenggara pulau. Tak ada jalan semen yang tersisa lagi, melainkan batu-batu karang.

Abang Azhari, Ketua RW 08 Pulau Penaah berujar, jalan itu hancur sekitar tiga tahun lalu. Pendapat Abang Azhari ini diperkuat oleh Khairul, seorang warga. “Dulu pulau ini luas. Kalau ada anak kecil nangis di perkampungan, kita tak bisa mendengarnya. Tapi sekarang, kalau kita berada di selatan pulau, atau di tenggara kita bisa dengar suara anak kecil nangis,” kata Khairul, mendeskripsikan bagaimana pulau itu dalam benaknya terasa semakin menciut.

Penyebab abrasi yang semakin berkepanjangan itu tak lain tamparan angin selatan. Kalau angin utara datang, meski terkenal kencang berhembus dari arah Laut China Selatan, tak terlalu berpengaruh. Ujung utara pulau ini dilindungi oleh dua pulau yang ukurannya lebih besar, yakni Pulau Kongki Besar dan Kongki Kecil. Meski secara ukuran kedua pulau lebih besar sampai empat hingga lima kali lipat Penaah, tetapi tak tampak satu pun pemukiman warga.

Sementara, bila arah angin berbalik, yakni bertiup dari selatan, sama sekali Penaah tak terlindungi. Tamparan ombak ganas Laut Bangka langsung menyentuh pantai di sisi selatan dan tenggara Penaah. Karenanya, abrasi terus menerus pun terjadi.

Khairul pun punya firasat tak baik. Kalau tenggelam dalam waktu dekat, menurut lelaki itu masih sulit dicerna akal sehat. “Tapi mungkin di masa dia,” kata Khairul sambil menunjuk putrinya yang masih berusia sekitar lima tahun itu.

Dan bila itu terjadi, maka berakhirlah kisah tentang pulau penanda itu. Dan para turis, nelayan, pun akan kehilangan penanda ketika mereka mencari jutaan ikan yang bersarang di dasar laut Penaah. (trisno aji putra/bersambung)

Berburu Ikan Sunuk ke Penaah
NELAYAN Kepri sudah hafal di luar kepala di mana letak Pulau Penaah. Adalah Ikan Kerapu Sunuk (Plectrophomus Leopardus) yang selalu membuat para nelayan itu rindu untuk mengarungi riak-riak gelombang di lepas pantai Penaah.

Tak semua nelayan memang bisa beruntung mengail Sunuk dari dasar laut Penaah. Tapi kalau nasib lagi berpihak, dua kilo Sunuk sudah membuat modal solar pompong mereka kembali.

“Di sini, biasanya nelayan mencari Ikan Sunuk,” kata Abang Azhari, Ketua RW 08 Pulau Penaah, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga. Sekilo Sunuk, menurut Azahari, harganya bisa menembus angka Rp 140 ribu. Artinya, bila sekali melaut dapat dua kilo saja, jumlah tersebut sudah cukup untuk membeli solar dan sedikit rezeki untuk diserahkan kepada istri di rumah. Karena Sunuk inilah, nelayan-nelayan dari Kijang, Kecamatan Bintan Timur yang jaraknya sekitar tujuh jam perjalanan laut pakai pompong sampai mau mengarungi gelombang menuju Penaah.

Sunuk sendiri adalah komoditas ekspor. Namun yang dicari pembeli yang kebanyakan dari Hongkong itu adalah Sunuk yang beratnya hanya berkisar empat sampai enam kilogram per ekornya. Kalau beratnya sudah sampai di atas satu kilogram, justru pembeli tak terlalu terpikat.

Di perarian lain di Kepri, sebenarnya ada juga Ikan Sunuk. Namun komunitasnya tak sebanyak di Penaah. Adalah kearifan lokal yang membuat Sunuk-Sunuk berharga ratusan ribu itu masih betah bertahan di Penaah.

Azhari maupun nelayan lain sudah hafal di luar kepala tentang adanya peraturan menangkap ikan yang tak tertulis di atas kertas. Saat musim angin selatan ada satu pulau yang bisa ditempuh sepuluh menit perjalanan laut dari Penaah. Pulau itu diberi nama Ceranggong. Namun penduduk setempat lebih senang mengganti huruf di depan nama pulau itu dengan “S’. Maka dalam lafal pengucapan orang Penaah, Ceranggong adalah Serangong.

Pulau itu hanyalah kumpulan batu karang kecil, yang luasnya tak sampai setengah hektar. Tak ada persediaan air bersih dan pemukiman di atasnya. Namun nelayan setempat mensakralkan pulau itu. Musim angin teduh, yakni musim selatan, tak dibenarkan seorang nelayanpun mendekat ke Ceranggong. Mereka harus mencari ikan ke laut lepas, sampai ke Laut Sayak, laut terjauh dari Penaah.

Cerenggong hanya boleh disentuh saat musim angin utara yang terkenal menyebabkan ombak setinggi sampai lebih dari empat meter. Saat itulah, nelayan boleh mendekat dan menangkap ikan di Ceranggong. Inilah kearifan tradisional yang diwariskan oleh datuk nenak moyang orang Penaah. Para pembuat nilai-nilai ini mengantisipasi, agar jangan sampai anak cucunya kelak tak bisa menangkap ikan saat ombak ganas. Maka dipilihlah sebuah pulau berkarang yang akan menjadi ekosistem laut menarik bagi para ikan.

Pancur, Hongkong Van Lingga
RATUSAN rumah berdiri menjajar di tepian Sungai Pancur. Aktivitas perdagangan bermula sejak pagi masih belum jadi, berlangsung hingga menjelang tengah malam di Pancur. Inilah kota, yang orang-orang Daek dengan bangga menggelarinya sebagai Hongkong-nya Lingga.

Pancur adalah jantung perekonomian di Pulau Lingga bagian utara. Denyut nadi ekonomi sudah berlangsung di sana sejak sebelum orang-orang republik mengibarkan bendera Merah-Putih dan memproklamirkan Indonesia. Dulu, aktivitas di Pancur berjaya seiring dengan kegiatan smokel. Mereka membawa barang dari Singapura sebelum didistribusikan ke berbagai kawasan terdekat, bahkan sampai Kuala Tungkal, Jambi. Dari Pancur, mereka membawa kayu, karet, sampai kopra ke Singapura.

Bermula dari sebuah rumah di satu sisi sungai, puluhan tahun kemudian, tak kurang dari 500 rumah sudah berdiri di sepanjang tepian sungai, baik di sisi kanan maupun di sisi kiri. Bangunan rumah-rumah papan itu terus memanjang ke laut. “Sebenarnya kalau masih bisa ditambah, pasti dibangun rumah lagi. Tapi dasar lautnya ada seperti ceruk. Jadi tak bisa dipancang tiang lagi,” kata seorang warga.

Dari rumah pertama di hulu sungai, sampai rumah terakhir yang berbatasan
langsung dengan laut, panjangnya tak kurang 600 meter. Selain karena dianggap mudah untuk menggerakkan aktivitas perekonomian, pembangunan rumah panggung di atas laut itu juga menjadi pilihan mengingat tepian laut langsung berbatasan dengan sebuah bukit terjal.

Camat Lingga Utara Rusli bercerita, pembangunan rumah di atas laut itu diawali dari aktivitas perekonomian. Kala itu, para nelayan kesulitan bila harus mengangkat hasil tangkapannya ke darat. Maka dibangunlah satu-dua buah rumah di atas laut. Namun lama kelamaan, rumah-rumah lain bermunculan. Apalagi Lingga sendiri dikenal sebagai daerah penghasil kayu di Kepri, sehingga mereka tak kesulitan untuk mencari bahan bangunan rumah papan tersebut.

Di antara rumah yang saling berhadap-hadapan itu mengalir air Sungai Pancur, yang sayangnya sudah mulai tercemar akibat perilaku membuang sampah tak pada tempatnya. Ada empat buah jembatan gantung di sepanjang sungai. Jembatan ini memperindah pemandangan menelusuri Sungai Pancur. “Orang menggelarinya Hongkongnya Lingga, karena memang mirip seperti di Hongkong,” lanjut Rusli.

Bila air sungai pancur jernih, mungkin bukan lagi orang menggelari Pancur sebagai Hongkong-nya Lingga, melainkan Venesia-nya Lingga. Keberanian orang-orang membangun rumah di atas laut itu tak lain karena ada beberapa pulau besar dan kacil di depan Pancur yang melindungi daerah ini dari terpaan angin Utara. Karenanya, dulu, banyak kapal dalam perjalanan dari Selat Melaka menuju Jawa lebih memilih singgah di Pancur untuk mengambil air bersih. Dermaga Pancur yang terlindung dari hantaman ombak besar adalah alasan utama para nakhoda kapal untuk singgah.

Di sisi kanan dan kiri sungai, rumah-rumah warga sekaligus difungsikan sebagai pusat pertokoan. Carilah apapun, semua ada di sana. Dari mulai baju baru sampai baju second, aneka sembako, sampai penginapan. Tarif penginapan di losmen-losmen kayu itu bervariasi, anatar Rp 30 ribu-Rp 14 ribu satu malam. Siapa pun yang ingin menikmati Hongkong tapi belum kesampaian, agaknya singgah di Pancur bisa sedikit mengobati keinginan itu. (trisno aji putra)

Rabu, 07 Mei 2008

Senja di Selatan

Perjalanan ke Selatan.....

Perjalanan ke Selatan.......



KE selatan, orang-orang mengejar keheningan. Negeriku, Tanah Melayu, kini menjadi negeri yang terbelah...

Perjalanan ke selatan adalah perjalanan memungut kesunyian. Anak-anak nelayan berkisah tentang masa depannya yang masih samar. di utara sana, orang-orang Melayu telah membangun gedung bertingkat. Mereka mengubah rawa menjadi gedung pencakar langit di Singapura. Di Malaysia, mereka mengubah kebun sawit menjadi jalan aspal mulur beratus kilometer....

Tapi di sini, di selatan, aku hanya mendengarkan sejuta keluh kesah. Mereka, orang-orang negeriku itu, masih mewarisi dayung untuk mencari ikan ke laut menggunakan sampan. Tak ada gedung pencakar langit. Tapi, kadang aku perlu bersyukur, sebab di selatan sini, kesederhanaan dan kearifan lokal itu masih mereka simpan rapi.....

Jejak kemiskinan yang kutemukan sepanjang perjalanan ke selatan itu justru dibalut dengan eksotisme alam.... Negeriku,Tanah Melayu yang ada di selatan ini, kini menawarkan kisah tentang bagaimana mereka tetap menjaga kesunyian menjadi sebuah kekuatan panorama....

Aku selalu rindu untuk kembali ke selatan, menyusuri gugus-gugus pulau, dari Pulau Cempa sampai Penaah. Inilah negeriku, orang-orang Melayu di selatan....

Perjalanan ke Selatan...


Sabtu, 05 April 2008

Jejak Kemiskinan di Tepian Sungai Gesek...

SEI-Nyirih adalah kampung yang terbelah. Secara geografis, kampung itu masuk wilayah Kabupaten Bintan. Namun secara administrasi kependudukan, Sei Nyirih dijangkauan Kota Tanjungpinang. Pilkada Wali Kota Tanjungpinang kemarin, sekitar 53 kepala keluarga di kampung itu ikut menyoblos. Bagaimana kehidupan di kampung nelayan itu, ikuti petualangan ini.

INILAH perjalanan dari kampung ke kampung. Jalan tanah tanpa penanda membuat seluruh ruas Jalan Tembeling siang itu menjadi kumpulan teka-teki yang sulit dipecahkan. Hanya jalan berkelok-kelok yang lenggang, gundukan tanah merah di kiri-kanan jalan, serta tiang listrik yang menjulang langit. Semua itu bukan tempat bertanya yang bisa memberikan jawaban.

Maka Kampung Sei-Nyirih siang itu pun menjadi tujuan yang buram. Cara berpikir kontinental yang mengharuskan segala sesuatu dijangkau dari daratan memang telah membuat perjalanan ini makin sulit. Dulu, orang Melayu tradisional datang membangun kampung itu dengan naik sampan. Mereka tidak mengenal jalan tanah, sebab Melayu tempo dulu selalu identik dengan sampan, laut, dan nelayan. Cara berpikir mereka selalu bersifat archipelago, menjangkau sesuatu dari jalur laut.

Maka kedatangan lelaki pertama di Sei-Nyirih untuk mendirikan kampung di tepian Sungai Gesek itu datang dengan menumpang sampan, bukan sepeda motor seperti yang sedang kami tumpangi hari itu. Informasi awal yang kami dapatkan, cara tercepat mencapai kampung itu memang naik sampan, yakni dari Kampung Madung, di ujung perbukitan Senggarang. “Dari sana, langsung naik sampan saja,” kata seorang yang kami tanyai.

Tapi sampan kemudian menjadi persoalan. Sebab, tidak ada transportasi reguler yang menjangkau Sei-Nyirih. Artinya tidak ada pompong Madung-Sei Nyirih PP (pulang pergi). Maka perjalanan dari kampung ke kampung menuju Sei-Nyirih itu hanya diberi pilihan, menyewa pompong dari Madung atau naik sepeda motor Jepang menembus hutan belukar dari arah Jalan Tanjunguban, tepatnya di simpang Desa Toapaya.

Pada salah jalan yang kesekian, akhirnya jalan menuju kampung itu ditemukan. Orang yang kami temui di Pesantren Al-Madinah, Ceruk Ijo, Kecamatan Teluk Bintan, meminta kami untuk mencari kebun nanas dan gundukan pasir. Itulah dua pertanda alam yang harus ditemukan bila tak ingin sesat sampai di kampung. Bagi warga Tembeling atau Toapaya, Sei-Nyirih mereka kenal lewat dua buah perusahaan pasir yang beroperasi di sana. Namun keduanya kini sudah tutup, menyisakan gundukan pasir yang tingginya dua kali tiang listrik dan lebarnya satu halaman sepakbola di muka kampung itu.

Sahabat seperjalanan saya, Bung Ari Sastra langsung sumringah melihat gundukan pasir itu. Artinya perjalanan kami sudah dekat. Sejak tadi, Aris yang jabatannya Kepala Biro Harian "Tribun Batam" Tanjungpinang itu hanya duduk di jok belakang motor tanpa banyak bicara. Panas membuat energi bicaranya hilang. Dalam terkaman sinar matahari siang itu, sekilas ia seperti bangau Hokaido yang tak terawat, kuyu, lusuh, diam, tapi pakai tas pinggang bermerek. Hanya tas yang dibawanya itulah yang membuat ia demikian berharga, laiknya bangai Hokaido di gurun pasir gersang Sei-Nyirih. Tas itu selalu dibawanya ke mana saja. Tiga bulan yang lalu, seorang pejabat teras di Tanjungpinang meloakkan tas itu di sebuah pasar kaget. Si Bung Bangau itu pun langsung menyambar gesit. Calon pembeli lain terpana, dan sedikit iri, karena kalah cepat.

“Ya, ini Sei-Nyirih. Langsung saje ke bawah, ke rumah Pak RT. Pak Kasman namanya,” kata serorang ibu yang kami temui di muka kampung. Tak banyak yang berbeda dari kampung ini dengan kampung nelayan di pesisir lainnya. Rumah dibangun hanya beberapa jengkal dari laut, di depan rumah yang rata-rata berbentuk panggung itu dibuat beranda, untuk duduk santai, menikmati semilir angin pesisir.

Sebuah masjid bercat kuning yang dibangun di tengah kampung seperti menjadi sentra dari denyut nadi kehidupan kampung. Rumah-rumah warga dibangun di kanan kiri masjid, menyerupai lingkaran tak sempurna. Namun kalau dihitung, rumah bedinding papan mungkin tujuh kali lipat banyaknya dari pada rumah beton. Para warga hidup sebagai nelayan dan buruh kebun karet, serta buruh serabutan. Dulu, para pemuda kampung kerja sebagai buruh di penambangan pasir. “Tapi sejak lebaran Cina kemarin, perusahaan ditutup,” kata Sarifah (50), seorang warga kampung.

Terbelah

SEBELUMNYA, orang tidak pernah tahu nama kampung ini. Namun seiring dengan konflik tapal batas yang tak kunjung usai antara Pemko Tanjungpinang dan Pemkab Bintan, nama kampung ini pun mencuat.

Bahkan nama kampung ini sempat dibahas oleh sejumlah pejabat Pemprov Kepri, Pemkab Bintan dan Pemko Bintan di Kantor Gubernur Kepri pada Senin-Selasa (31/7-1/8/2006). Awal mula konflik sebenarnya muncul seiring pemekaran Tanjungpinang dan Kabupaten Kepri. Setelah Provinsi Kepri terbentuk dan Kabupaten Kepri menjelma menjadi Kabupaten Bintan, ternyata konflik tapal batas di Sei-Nyirih ini tak kunjung usai juga.

Koran Tribun pada edisi Juli-Agustus 2006 maupun Maret 2007 pernah mengangkat hasil pembahasan status Sei-Nyirih ini. Berdasarkan tapal batas wilayah, kawasan Sei- Nyirih diklaim oleh Pemkab Bintan masuk ke dalam teritorial mereka. Namun, selama ini untuk urusan adminsitrasi seperti surat-surat tanah dan dokumen kependudukan, masyarakat Sei-Nyirih dilayani oleh Kelurahan Kampung Bugis, yang masuk dalam wilayah Kecamatan Tanjungpinang Kota, Tanjungpinang.

Karena rapat yang difasilitasi Biro Pemerintahan Pemprov Kepri sempat tak kunjung sampai pada kata putus, maka Pemko Tanjungpinang dan Pemkab Bintan sepakat untuk membentuk Tim Khusus di bawah Biro Pemerintahan Kepri yang akan mengkaji dan menelusuri persoalan di dua wilayah tersebut.

Asisten Satu Bidang Tata Praja Pemkab Bintan waktu itu, Yudha Inangsa, menjelaskan, bila muncul persoalan administratif maka dapat diselesaikan dengan cara memperbaikinya. Namun, selama ini, untuk batas wilayah, masing-masing sudah memiliki titik ordinat sendiri di dalam peta. Dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sudah memiliki peta tersebut.

Di awal pembentukan Kota Tanjungpinang sebagai daerah otonom beberapa tahun lalu, persoalan batas wilayah ini sudah pernah diajukan oleh Pemkab Bintan untuk dibahas. Namun sampai saat ini masih belum bisa dituntaskan. Sei-Nyiri, menurut Yudha, batasnya dipisahkan oleh sungai yang bermuara di Teluk Bintan. “Batas Kota Tanjungpinang itu diambil dari batas alam,” kata Yudha waktu itu.

Sementara itu, Dedy Chandra yang waktu itu mewakili Bagian Pemerintahan Pemko Tanjungpinang menjelaskan, sejak terbentuknya Kota Administratif (Kotif) Tanjungpinang pada sekitar 1983 sampai saat ini, masyarakat Sei-Nyirih dalam urusan kependudukan masih dilayani oleh Kelurahan Kampung Bugis, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Tanjungpinang.

Awal Maret 2007, Raja Ariza yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Kepri ketika dikonfirmasi mengatakan bahwa Tim Khusus sudah selesai bekerja. “Sei-Nyirih tetap masuk wilayah Kabupaten Bintan,” kata Raja Ariza.

Warga Pilih Tanjungpinang

Namun bagi masyarakat sendiri, mereka sebenarnya sudah nyaman berada di bawah naungan Pemko Tanjungpinang. Adalah sejarah yang mereka pegang. Bahwa sejak tiga generasi lalu, mereka memiliki ikatan yang kuat dnegan Kampung Madung, yang masuk wilayah Tanjungpinang. “Sejak tok saye, lalu bapak saye, semuanya sudah masuk Tanjungpinang,” kata Kasman, Ketua RT II RW V Kampung Sei-Nyirih. Bahkan Kasman mengaku masih menyimpan KTP lama yang menunjukkan mereka masuk dalam wilayah Kota Adminsitratif Pemko Tanjungpinang.

Untuk mempertegas daerah tersebut sebagai bagian dari Tanjungpinang, warga pun membuat plang papan kecil di jalan yang menuju kampung. Di plang itu tertulis bahwa wilayah itu masuk Kelurahan Kampung Bugis, Kecamatan Tanjungpinang Kota.

Sebagai bukti bahwa warga tetap ingin bergabung dengan Tanjungpinang, pada Pilwako Tanjungpinang Desember 2007 lalu, mereka pun datang ke tempat pemungutan suara dan mencoblos. “Banyak yang milih Ibu Wali di kampung ini,” kata seorang warga.

Bila Hujan, Para Siswa tak Sekolah

DI Sei-Nyirih, anak-anak berangkat ke sekolah naik sampan. Kalau hujan turun, mereka tak bisa berangkat ke sekolah. Sampan mungil mereka terlalu rapuh untuk menghadapi terjangan ombak. Sampan mereka pernah tenggelam Tapi budak-budak Melayu itu menyimpan rapi cerita itu, hingga para orangtua mereka tak ada satu pun yang tahu.

MEREKA adalah putra-putri para nelayan Melayu yang tangguh. Laut, ombak, dan sampan adalah sahabat keseharian mereka. Maka jangan heran bila budak-budak Melayu di Kampung Sei-Nyirih itu lincah mendayung sampan membelah laut menuju sekolah mereka di kampung seberang.

Pagi masih belum jadi ketika Icam kecil sudah melangkahkan kaki meninggalkan rumahnya, di tepian Sungai Gesek. Seragam putih-merah, sepatu, dan sebuah tas cangklong tergantung di pundaknya. Icam menuju ke dermaga kampung, yang berjarak tak sampai 73 langkah dari pintu rumahnya.

Tak berbeda dengan Icam, Ita, Hendra, dan Daniel juga melangkahkan kaki menembus kabut yang masih menggantung menuju dermaga beton dengan panjang tak sampai 50 meter itu. Sebuah sampan kayu sudah menunggu mereka di situ. Panjang sampan hanya sekitar empat meter dengan lebar tak sampai satu meter. Paling banyak, sampan itu bisa mengangkut empat anak.

Seperti hari-hari kemarin, pukul 06.00 WIB, mereka sudah sampai di dermaga. “Kite biase berangkat pukul enam. Pukul tujuh dah sampai kat sekolah,” kata Icam, yang bernama asli Samsi ini.

Sekolah mereka sebenarnya tak terlalu jauh, hanya sekitar tiga kelokan sungai. Icam, Ita, dan Hendra kini tercatat sebagai siswa SD 001 Madung, Kelurahan Kampung Bugis, Kecamatan Tanjungpinang Kota. Sementara Daniel duduk di kelas dua sekolah yang sama.

Tapi tidak setiap hari perjalanan mereka ke sekolah mulus. “Kalau hujan lebat, kami tak sekolah,” kata Ita, yang bernama asli Mardiah. Adalah ombak yang tak bisa mereka lawan dengan sampan yang tingginya hanya dua setengah jengkal dari permukaan laut itu.

Selain itu, sampan mereka pun tak punya atap. Hujan telah menyurutkan langkah anak-anak kampung itu untuk menuntut ilmu. Tapi, kalau hari cerah, mereka melewati semua dengan kegembiraan. Bahkan mereka saling berebut untuk memegang dayung sewaktu berangkat ke sekolah.

Dengar saja pertikaian Icam dan Ita saat ditanya siapa yang memegang dayung sewaktu mereka berangkat ke sekolah. “Aku!” kata Ita, cepat. “Hei. Aku yang pegang. Budak betine mane bisa pegang dayung,” kata Icam sambil tersenyum ke Hendra dan Daniel. Ini bukan pertikaian gender. Tapi Ita memang diberi julukan oleh kawan-kawannya sebagai gadis cilik tomboi. Lihat saja siang itu. Ia lari ke laut sendiri dan mendayung sampan ke laut. Di tangannya, seekor bayi burung tergenggam.
Ita baru naik ke dermaga sewaktu Icam melompat ke sampannya. Dari keempatnya, hanya Daniel yang punya prestasi bagus di sekolah. Ia juara dua. Sementara Ita, Icam dan Hendra, cukup puas setelah menduduki rangking dua dan tiga dalam lomba makan kerupuk yang digelar saat Agustusan.

Mereka dikenal sebagai kawan karib. Bukti kesetiakawanan itu mereka wujudkan dalam bentuk menyimpan rapat-rapat kisah tenggelamnya sampan yang ditumpangi Hendra di laut sewaktu mereka pulang sekolah.

Waktu itu, cerita Icam, sampan penuh air. Hendra tidak mau membuang air. Akibatnya sampan pun tenggelam. Namun mereka semua yang bergerak bersama untuk menolong Hendra. Anak-anak nelayan itu dikenal jago berenang. Kadang sewaku pulang sekolah, setelah menanggalkan seragam putih merah, mereka menyemplung ke laut. Ita yang perempuan tak ikut nyemplung. Ia yang menceritakan kelakuan teman-temannya itu. Tapi semua kisah kenakalan masa kecil itu mereka simpan rapat. Tak ada orangtua yang tahu. Sarifah maupuh Piah, dua warga kampung juga tak tahu saat ditanya tentang tenggelamnya sampan yang ditumpangi Hendra.

Iuran Sampan Rp 15 Ribu

SAMPAI kapan budak-budak Melayu pesisir itu masih akan terus mendayung sampan ke sekolah, kita tak tahu. Mereka kini terselamatkan oleh adanya dana BOS, yang membuat orangtua mereka tak tak perlu membayar iuran sekolah. Tapi sekitar empat tahun lalu, sewaktu dana BOS belum ada, belasan budak-budak kampung putus sekolah. “Sekarang mereka bise sekolah karena tak bayar,” kata Maryam, ibunda Ita.

Tapi ternyata persoalan tak berhenti sampai di situ saja. Kini para orangtua siswa ternyata harus menanggung biaya transportasi untuk anak-anak mereka. Iyalah, Icam, Ita, Hendra maupun Daniel pagi hari bisa naik sampan gratis, karena milik seorang saudara mereka. Tapi saat pulang sekolah, bocah-bocah ini terpaksa dititipkan ke penambang sampan dengan iuran Rp 15 ribu per bulan per anak. Tak semua dari orangtua mereka punya sampan.

Piah, suami Maryam dan ayah Ita, begitu berharap agar Pemko Tanjungpinang bisa memberikan bantuan pompong untuk para anak sekolah ini Dulu, kata Piah, memang Pemko Tanjungpinang pernah memberikan bantuan pompong. Namun ukurannya besar dan memakan minyak dengan boros. Pompong itu kini sudah tinggal rongsokan. “Kalau bise, pompong kecil saje dah cukup. Agar tak boros,” kata Piah, setengah berharap.

Listrik Tidak Byar-Pett di Rumah Piah

KEBERADAAN listrik tenaga surya telah mengakhiri era malam-malam panjang dengan lampu teplok di rumah Piah dan enam warga lainnya. Tak seperti warga Tanjungpinang yang sebulan terakhir was-was listrik padam tanpa pemberitahuan, Piah yang tinggal di pelosok Kampung Sei-Nyirih itu tenang-tenang saja. Bahkan siang hari pun, ia bisa menghidupkan lampu neon 15 watt di ruang tengah rumah panggungnya.

“Ini, coba lihat sendiri. Hidup, kan,” kata Piah (34), setelah menekan saklar lampu. Lampu neon yang masih putih berkilau itu menyala, berebut dengan sinar matahari menerangi ruangan rumahnya. Di luar sana, panas terik seperti membakar ubun-ubun. Kalau orang Tanjungpinang tahu apa yang dilakukan Piah siang itu, wajar saja bila mereka iri pada lelaki yang berprofesi sebagai nelayan tradisional ini.

Rumah Piah, sejak tiga bulan terakhir tak pernah mati lampu. Dan hebatnya lagi, di tanggal 20 tiap bulannya, ia tak perlu berdesakan antri bayar listrik ke loket pembayaran terdekat. Matahari telah memberikan semua penerangan di rumah lelaki beranak dua itu secara gratis.

Padahal, tiga bulan yang lalu, Piah dan istrinya, Maryam (27) serta dua anak mereka yang masih kecil-kecil terpaksa melewati malam-malam panjang di rumah berdinding papan itu dengan pelita. Tak sampai malam pelita itu dihidupkan, sebab Piah mengaku tak kuat membeli minyak tanah. Jarak 100 meter dari rumahnya yang persis berbatasan dengan Sungai Gesek itu, rumah warga lainnya terang benderang sampai pukul 23.00 malam.

Sekitar setahun silam, Pemko Tanjungpinang mengucurkan bantuan dalam bentuk pembelian satu unit genset beserta jaringan kabel. Namun bantuan itu tidak termasuk pembelian solar. Akibatnya, warga yang ingin menyambung listrik harus mau membayar iuran beli solar saban akhir bulan.

“Satu neon iurannya Rp 15 ribu. Saya tak ada uang,” kata Piah. Tapi tiga bulan lalu, keinginan Piah untuk melihat rumahnya diterangi oleh bola lampu temuan Thomas Alfa Edison itu terwujud. Setelah lebih dari 300 tahun Alfa Edison menemukan bola ajaib yang bisa memancarkan sinar itu, akhirnya di kampung yang letaknya ribuan mil dari Eropa itu, Piah menikmati juga penemuan yang mengubah sejarah umat manusia itu.

Bantuan tersebut tak sekedar penampang listrik tenaga surya saja, tapi lengkap dengan tiga unit neon putih dan sebuah accu. Setelah tiga bulan berjalan, accu itu belum rusak. Sebenarnya, penampang kecil itu masih cukup daya bila sekedar menyalurkan energi listrik ke satu unit monitor televisi hitam putih. “Tapi kami belum punya uang untuk televisi,” kata Piah, yang setiap malam harus bergelut dengan air asin untuk menyuluh udang itu.

Itulah sepenggal kisah kehidupan seorang warga di kampung nelayan itu. Selain persoalan listrik yang tak byar-pett di rumah Piah itu, ada eksotisme lain yang ditawarkan oleh Kampung Sei-Nyirih itu. Kisah-kisah pernak-pernik kehidupan itu terkait dengan kehidupan para nelayan di kampung itu.

Naik Sampan ke Tanjungpinang

Syarifah (50) tak pernah puas bercerita sekedar beberapa menit tentang aktivitas yang dilakukannya sejak puluhan tahun silam. Istri Kasman, Ketua RT II RW V Kampung Sei-Nyirih, Keluarahan Kampung Bugis, Kecamatan Tanjungpinang Kota itu pernah menjalani bagaimana susahnya mendayung sampan menembus malam menuju Pasar Ikan di ujung Pelantar KUD, Tanjungpinang.

Syarifah adalah pengumpul ketam hitam di kampung itu. Nelayan lain banyak yang menyetor hasil tangkapannya kepada wanita asli Daik, Lingga ini. Maka setelah dirasakan jumlah ketam cukup, dinihari, sekitar pukul 02.00 WIB, ia mendayung sampan. “Sampai kat Pelantar KUD sekitar satu setengah jam. Kadang saye juge berangkat pukul tige pagi,” kata wanita yang kini membuka warung kelontongan di rumahnya itu. Hebatnya lagi, wanita berkulit putih itu melakukan pekerjaan mengantar hasil tangkapan laut itu seorang diri.

Tapi sejak dua tahun lalu, Syarifah pun dikalahkan oleh usia. “Saye sudah tak kuat lagi dayung sampan sendiri,” katanya. Maka ia pun memilih cara lain, yakni naik taksi Tembeling. Tauke taksi di pusat kecamatan Teluk Bintan itu bernama Tek Bun. “Kalau saye SMS, dia pasti singgah di kampung ini,” kata Syarifah. Kebetulan Sei Nyirih menjadi rute yang dilewati kendaraan dalam perjalanan dari Tembeling ke Tanjungpinang.

Tekhnologi ternyata telah memudahkan semua. Termasuk cara Syarifah meminta Tek Bun singgah. Tapi ternyata ongkosnya juga bukan kepalang. “Sekali jalan Rp 30 ribu,” kata Syarifah. Mungkin ongkos semahal itu dianggap Tek Bun wajar, sebab jarak tempuh Tembeling-Tanjungpinang bisa mencapai sekitar 45 kilometer.