Selasa, 18 Maret 2008

19 Tahun tak Pernah Beli Minyak Goreng

KENAIKAN harga minyak goreng yang tak terkendali telah menambah panjang beban kehidupan masyarakat kecil. Ini adalah kisah tentang kekagetan Suyati, seorang warga Kampung Jibut, Desa Ekang Anculai, Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan terhadap kenaikan harga minyak goreng yang sudah melewati ambang batas kewajaran itu.

Pekan lalu, untuk pertama kalinya dalam 19 tahun terakhir, Suyati pergi ke kedai kelontong di Simpang Lagoi, yang berjarak sekitar tujuh kilo meter dari rumahnya di pedalaman itu.

Tak seperti biasa, dalam daftar belanjaan yang tertuang di pikirannya, tertera minyak goreng. Padahal 19 tahun terakir Suyati tak pernah membeli komoditas ini. Bukannya ia tak pernah mengolah bahan makanan dengan cara menggoreng. Tapi Suyati punya cara yang lebih efisien, yakni memproduksi sendiri minyak goreng dari kelapa. Pola seperti ini dijalaninya selama 19 tahun terakhir, dari mulai ketika harga minyak goreng hanya beberapa ribu rupiah saja, sampai kemudian tembus ke angka belasan ribu.

“Saya kaget sekali, kok harganya sekarang sudah Rp 15 ribu ya,” kata Suyati. Ia ragu apakah sang pemilik toko kelontongan salah ucap, atau ia yang salah mendengar. Tapi setelah ia berusaha memastikan, baru wanita asal Pacitan, Jawa Timur itu paham bahwa harga minyak goreng sudah sulit dijangkaunya.

“Tapi karena butuh, tetap saya beli,” lanjut Suyati. Ia tak punya pilihan lain. Pohon-pohon kelapa di belakang rumahnya, karena di makan usia, sudah tak bisa berbuah lagi. Karena itu, ia pun tak bisa mengolah minyak kelapa sendiri.

Padahal selama 19 tahun, setiap dua bulan sekali, Suyati pergi ke kebun dan mengambil sekitar 50 butir kelapa. Setelah dibelah, kemudian bagian dalam kelapa itu diparutnya sendiri hingga kemudian diolah menjadi santan dengan cara mencampurkan air matang ke dalam hasil parutan tadi.

Setelah itu, santan akan didiamkan selama satu malam. “Besok paginya, minyak akan naik ke permukaan,” lanjut istri dari Untung Sugiarto ini. Baru setelah itu ia pun akan menciduk minyak tersebut dan menjerangnya di perapian sekitar setengah jam. Kemudian hasilnya, terwujudlah minyak kelapa, yang siap digunakan untuk menggoreng. “Rasanya lebih wangi dari minyak goreng,” kata Suyati lagi.

Di kawasan pedesaan di Pulau Jawa, memproduksi minyak goreng dari kelapa ini bukanlah barang baru. Namun untuk di Pulau Bintan, warga selama ini lebih mengandalkan minyak goreng curah hasil olahan pabrik. Sedikit sekali dari mereka yang mau bersusah payah untuk mengolah kelapa menjadi minyak goreng.

Sayang, di tengah kenaikan harga minyak goreng seperti saat ini, justru Suyati tidak bisa memproduksi sendiri minyak kelapa itu. Padahal apabila biji-biji kelapa masih berbuah di kebunnya, setidaknya Suyati dapat menghemat belanja sejumlah belasan ribu rupiah.

Tak hanya Suyati yang cukup terpukul dengan kenaikan komoditas ini. Sejumlah warga Kampung Jibut lainnya juga demikian. Di Tanjungpinang sendiri, pantauan Tribun, harga minyak goreng di pasar tradisional masih berkisar pada angka Rp 12 sampai Rp 13ribu per kilonya. Namun harga di Simpang Lagoi, yang berjarak sekitar 65 kilometer dari Tanjungpinang justru sudah menembus angka Rp 15 ribu.

Warga cukup khawatir akan rentannya komoditas ini terhadap kenaikan lagi. Namun mereka sejauh ini belum mengetahui bila akan ada rencana pemerintah pusat untuk mensubsidi kebutuhan minyak goreng rumah tangga miskin sejumlah Rp 2.500 per liter, dan maksimal dua liter dalam sebulan. Bila memang ada kebijakan seperti itu, mereka berharap dapat menikmatinya. (trisno aji putra)

Tidak ada komentar: