Sabtu, 05 April 2008

Jejak Kemiskinan di Tepian Sungai Gesek...

SEI-Nyirih adalah kampung yang terbelah. Secara geografis, kampung itu masuk wilayah Kabupaten Bintan. Namun secara administrasi kependudukan, Sei Nyirih dijangkauan Kota Tanjungpinang. Pilkada Wali Kota Tanjungpinang kemarin, sekitar 53 kepala keluarga di kampung itu ikut menyoblos. Bagaimana kehidupan di kampung nelayan itu, ikuti petualangan ini.

INILAH perjalanan dari kampung ke kampung. Jalan tanah tanpa penanda membuat seluruh ruas Jalan Tembeling siang itu menjadi kumpulan teka-teki yang sulit dipecahkan. Hanya jalan berkelok-kelok yang lenggang, gundukan tanah merah di kiri-kanan jalan, serta tiang listrik yang menjulang langit. Semua itu bukan tempat bertanya yang bisa memberikan jawaban.

Maka Kampung Sei-Nyirih siang itu pun menjadi tujuan yang buram. Cara berpikir kontinental yang mengharuskan segala sesuatu dijangkau dari daratan memang telah membuat perjalanan ini makin sulit. Dulu, orang Melayu tradisional datang membangun kampung itu dengan naik sampan. Mereka tidak mengenal jalan tanah, sebab Melayu tempo dulu selalu identik dengan sampan, laut, dan nelayan. Cara berpikir mereka selalu bersifat archipelago, menjangkau sesuatu dari jalur laut.

Maka kedatangan lelaki pertama di Sei-Nyirih untuk mendirikan kampung di tepian Sungai Gesek itu datang dengan menumpang sampan, bukan sepeda motor seperti yang sedang kami tumpangi hari itu. Informasi awal yang kami dapatkan, cara tercepat mencapai kampung itu memang naik sampan, yakni dari Kampung Madung, di ujung perbukitan Senggarang. “Dari sana, langsung naik sampan saja,” kata seorang yang kami tanyai.

Tapi sampan kemudian menjadi persoalan. Sebab, tidak ada transportasi reguler yang menjangkau Sei-Nyirih. Artinya tidak ada pompong Madung-Sei Nyirih PP (pulang pergi). Maka perjalanan dari kampung ke kampung menuju Sei-Nyirih itu hanya diberi pilihan, menyewa pompong dari Madung atau naik sepeda motor Jepang menembus hutan belukar dari arah Jalan Tanjunguban, tepatnya di simpang Desa Toapaya.

Pada salah jalan yang kesekian, akhirnya jalan menuju kampung itu ditemukan. Orang yang kami temui di Pesantren Al-Madinah, Ceruk Ijo, Kecamatan Teluk Bintan, meminta kami untuk mencari kebun nanas dan gundukan pasir. Itulah dua pertanda alam yang harus ditemukan bila tak ingin sesat sampai di kampung. Bagi warga Tembeling atau Toapaya, Sei-Nyirih mereka kenal lewat dua buah perusahaan pasir yang beroperasi di sana. Namun keduanya kini sudah tutup, menyisakan gundukan pasir yang tingginya dua kali tiang listrik dan lebarnya satu halaman sepakbola di muka kampung itu.

Sahabat seperjalanan saya, Bung Ari Sastra langsung sumringah melihat gundukan pasir itu. Artinya perjalanan kami sudah dekat. Sejak tadi, Aris yang jabatannya Kepala Biro Harian "Tribun Batam" Tanjungpinang itu hanya duduk di jok belakang motor tanpa banyak bicara. Panas membuat energi bicaranya hilang. Dalam terkaman sinar matahari siang itu, sekilas ia seperti bangau Hokaido yang tak terawat, kuyu, lusuh, diam, tapi pakai tas pinggang bermerek. Hanya tas yang dibawanya itulah yang membuat ia demikian berharga, laiknya bangai Hokaido di gurun pasir gersang Sei-Nyirih. Tas itu selalu dibawanya ke mana saja. Tiga bulan yang lalu, seorang pejabat teras di Tanjungpinang meloakkan tas itu di sebuah pasar kaget. Si Bung Bangau itu pun langsung menyambar gesit. Calon pembeli lain terpana, dan sedikit iri, karena kalah cepat.

“Ya, ini Sei-Nyirih. Langsung saje ke bawah, ke rumah Pak RT. Pak Kasman namanya,” kata serorang ibu yang kami temui di muka kampung. Tak banyak yang berbeda dari kampung ini dengan kampung nelayan di pesisir lainnya. Rumah dibangun hanya beberapa jengkal dari laut, di depan rumah yang rata-rata berbentuk panggung itu dibuat beranda, untuk duduk santai, menikmati semilir angin pesisir.

Sebuah masjid bercat kuning yang dibangun di tengah kampung seperti menjadi sentra dari denyut nadi kehidupan kampung. Rumah-rumah warga dibangun di kanan kiri masjid, menyerupai lingkaran tak sempurna. Namun kalau dihitung, rumah bedinding papan mungkin tujuh kali lipat banyaknya dari pada rumah beton. Para warga hidup sebagai nelayan dan buruh kebun karet, serta buruh serabutan. Dulu, para pemuda kampung kerja sebagai buruh di penambangan pasir. “Tapi sejak lebaran Cina kemarin, perusahaan ditutup,” kata Sarifah (50), seorang warga kampung.

Terbelah

SEBELUMNYA, orang tidak pernah tahu nama kampung ini. Namun seiring dengan konflik tapal batas yang tak kunjung usai antara Pemko Tanjungpinang dan Pemkab Bintan, nama kampung ini pun mencuat.

Bahkan nama kampung ini sempat dibahas oleh sejumlah pejabat Pemprov Kepri, Pemkab Bintan dan Pemko Bintan di Kantor Gubernur Kepri pada Senin-Selasa (31/7-1/8/2006). Awal mula konflik sebenarnya muncul seiring pemekaran Tanjungpinang dan Kabupaten Kepri. Setelah Provinsi Kepri terbentuk dan Kabupaten Kepri menjelma menjadi Kabupaten Bintan, ternyata konflik tapal batas di Sei-Nyirih ini tak kunjung usai juga.

Koran Tribun pada edisi Juli-Agustus 2006 maupun Maret 2007 pernah mengangkat hasil pembahasan status Sei-Nyirih ini. Berdasarkan tapal batas wilayah, kawasan Sei- Nyirih diklaim oleh Pemkab Bintan masuk ke dalam teritorial mereka. Namun, selama ini untuk urusan adminsitrasi seperti surat-surat tanah dan dokumen kependudukan, masyarakat Sei-Nyirih dilayani oleh Kelurahan Kampung Bugis, yang masuk dalam wilayah Kecamatan Tanjungpinang Kota, Tanjungpinang.

Karena rapat yang difasilitasi Biro Pemerintahan Pemprov Kepri sempat tak kunjung sampai pada kata putus, maka Pemko Tanjungpinang dan Pemkab Bintan sepakat untuk membentuk Tim Khusus di bawah Biro Pemerintahan Kepri yang akan mengkaji dan menelusuri persoalan di dua wilayah tersebut.

Asisten Satu Bidang Tata Praja Pemkab Bintan waktu itu, Yudha Inangsa, menjelaskan, bila muncul persoalan administratif maka dapat diselesaikan dengan cara memperbaikinya. Namun, selama ini, untuk batas wilayah, masing-masing sudah memiliki titik ordinat sendiri di dalam peta. Dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sudah memiliki peta tersebut.

Di awal pembentukan Kota Tanjungpinang sebagai daerah otonom beberapa tahun lalu, persoalan batas wilayah ini sudah pernah diajukan oleh Pemkab Bintan untuk dibahas. Namun sampai saat ini masih belum bisa dituntaskan. Sei-Nyiri, menurut Yudha, batasnya dipisahkan oleh sungai yang bermuara di Teluk Bintan. “Batas Kota Tanjungpinang itu diambil dari batas alam,” kata Yudha waktu itu.

Sementara itu, Dedy Chandra yang waktu itu mewakili Bagian Pemerintahan Pemko Tanjungpinang menjelaskan, sejak terbentuknya Kota Administratif (Kotif) Tanjungpinang pada sekitar 1983 sampai saat ini, masyarakat Sei-Nyirih dalam urusan kependudukan masih dilayani oleh Kelurahan Kampung Bugis, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Tanjungpinang.

Awal Maret 2007, Raja Ariza yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Kepri ketika dikonfirmasi mengatakan bahwa Tim Khusus sudah selesai bekerja. “Sei-Nyirih tetap masuk wilayah Kabupaten Bintan,” kata Raja Ariza.

Warga Pilih Tanjungpinang

Namun bagi masyarakat sendiri, mereka sebenarnya sudah nyaman berada di bawah naungan Pemko Tanjungpinang. Adalah sejarah yang mereka pegang. Bahwa sejak tiga generasi lalu, mereka memiliki ikatan yang kuat dnegan Kampung Madung, yang masuk wilayah Tanjungpinang. “Sejak tok saye, lalu bapak saye, semuanya sudah masuk Tanjungpinang,” kata Kasman, Ketua RT II RW V Kampung Sei-Nyirih. Bahkan Kasman mengaku masih menyimpan KTP lama yang menunjukkan mereka masuk dalam wilayah Kota Adminsitratif Pemko Tanjungpinang.

Untuk mempertegas daerah tersebut sebagai bagian dari Tanjungpinang, warga pun membuat plang papan kecil di jalan yang menuju kampung. Di plang itu tertulis bahwa wilayah itu masuk Kelurahan Kampung Bugis, Kecamatan Tanjungpinang Kota.

Sebagai bukti bahwa warga tetap ingin bergabung dengan Tanjungpinang, pada Pilwako Tanjungpinang Desember 2007 lalu, mereka pun datang ke tempat pemungutan suara dan mencoblos. “Banyak yang milih Ibu Wali di kampung ini,” kata seorang warga.

Bila Hujan, Para Siswa tak Sekolah

DI Sei-Nyirih, anak-anak berangkat ke sekolah naik sampan. Kalau hujan turun, mereka tak bisa berangkat ke sekolah. Sampan mungil mereka terlalu rapuh untuk menghadapi terjangan ombak. Sampan mereka pernah tenggelam Tapi budak-budak Melayu itu menyimpan rapi cerita itu, hingga para orangtua mereka tak ada satu pun yang tahu.

MEREKA adalah putra-putri para nelayan Melayu yang tangguh. Laut, ombak, dan sampan adalah sahabat keseharian mereka. Maka jangan heran bila budak-budak Melayu di Kampung Sei-Nyirih itu lincah mendayung sampan membelah laut menuju sekolah mereka di kampung seberang.

Pagi masih belum jadi ketika Icam kecil sudah melangkahkan kaki meninggalkan rumahnya, di tepian Sungai Gesek. Seragam putih-merah, sepatu, dan sebuah tas cangklong tergantung di pundaknya. Icam menuju ke dermaga kampung, yang berjarak tak sampai 73 langkah dari pintu rumahnya.

Tak berbeda dengan Icam, Ita, Hendra, dan Daniel juga melangkahkan kaki menembus kabut yang masih menggantung menuju dermaga beton dengan panjang tak sampai 50 meter itu. Sebuah sampan kayu sudah menunggu mereka di situ. Panjang sampan hanya sekitar empat meter dengan lebar tak sampai satu meter. Paling banyak, sampan itu bisa mengangkut empat anak.

Seperti hari-hari kemarin, pukul 06.00 WIB, mereka sudah sampai di dermaga. “Kite biase berangkat pukul enam. Pukul tujuh dah sampai kat sekolah,” kata Icam, yang bernama asli Samsi ini.

Sekolah mereka sebenarnya tak terlalu jauh, hanya sekitar tiga kelokan sungai. Icam, Ita, dan Hendra kini tercatat sebagai siswa SD 001 Madung, Kelurahan Kampung Bugis, Kecamatan Tanjungpinang Kota. Sementara Daniel duduk di kelas dua sekolah yang sama.

Tapi tidak setiap hari perjalanan mereka ke sekolah mulus. “Kalau hujan lebat, kami tak sekolah,” kata Ita, yang bernama asli Mardiah. Adalah ombak yang tak bisa mereka lawan dengan sampan yang tingginya hanya dua setengah jengkal dari permukaan laut itu.

Selain itu, sampan mereka pun tak punya atap. Hujan telah menyurutkan langkah anak-anak kampung itu untuk menuntut ilmu. Tapi, kalau hari cerah, mereka melewati semua dengan kegembiraan. Bahkan mereka saling berebut untuk memegang dayung sewaktu berangkat ke sekolah.

Dengar saja pertikaian Icam dan Ita saat ditanya siapa yang memegang dayung sewaktu mereka berangkat ke sekolah. “Aku!” kata Ita, cepat. “Hei. Aku yang pegang. Budak betine mane bisa pegang dayung,” kata Icam sambil tersenyum ke Hendra dan Daniel. Ini bukan pertikaian gender. Tapi Ita memang diberi julukan oleh kawan-kawannya sebagai gadis cilik tomboi. Lihat saja siang itu. Ia lari ke laut sendiri dan mendayung sampan ke laut. Di tangannya, seekor bayi burung tergenggam.
Ita baru naik ke dermaga sewaktu Icam melompat ke sampannya. Dari keempatnya, hanya Daniel yang punya prestasi bagus di sekolah. Ia juara dua. Sementara Ita, Icam dan Hendra, cukup puas setelah menduduki rangking dua dan tiga dalam lomba makan kerupuk yang digelar saat Agustusan.

Mereka dikenal sebagai kawan karib. Bukti kesetiakawanan itu mereka wujudkan dalam bentuk menyimpan rapat-rapat kisah tenggelamnya sampan yang ditumpangi Hendra di laut sewaktu mereka pulang sekolah.

Waktu itu, cerita Icam, sampan penuh air. Hendra tidak mau membuang air. Akibatnya sampan pun tenggelam. Namun mereka semua yang bergerak bersama untuk menolong Hendra. Anak-anak nelayan itu dikenal jago berenang. Kadang sewaku pulang sekolah, setelah menanggalkan seragam putih merah, mereka menyemplung ke laut. Ita yang perempuan tak ikut nyemplung. Ia yang menceritakan kelakuan teman-temannya itu. Tapi semua kisah kenakalan masa kecil itu mereka simpan rapat. Tak ada orangtua yang tahu. Sarifah maupuh Piah, dua warga kampung juga tak tahu saat ditanya tentang tenggelamnya sampan yang ditumpangi Hendra.

Iuran Sampan Rp 15 Ribu

SAMPAI kapan budak-budak Melayu pesisir itu masih akan terus mendayung sampan ke sekolah, kita tak tahu. Mereka kini terselamatkan oleh adanya dana BOS, yang membuat orangtua mereka tak tak perlu membayar iuran sekolah. Tapi sekitar empat tahun lalu, sewaktu dana BOS belum ada, belasan budak-budak kampung putus sekolah. “Sekarang mereka bise sekolah karena tak bayar,” kata Maryam, ibunda Ita.

Tapi ternyata persoalan tak berhenti sampai di situ saja. Kini para orangtua siswa ternyata harus menanggung biaya transportasi untuk anak-anak mereka. Iyalah, Icam, Ita, Hendra maupun Daniel pagi hari bisa naik sampan gratis, karena milik seorang saudara mereka. Tapi saat pulang sekolah, bocah-bocah ini terpaksa dititipkan ke penambang sampan dengan iuran Rp 15 ribu per bulan per anak. Tak semua dari orangtua mereka punya sampan.

Piah, suami Maryam dan ayah Ita, begitu berharap agar Pemko Tanjungpinang bisa memberikan bantuan pompong untuk para anak sekolah ini Dulu, kata Piah, memang Pemko Tanjungpinang pernah memberikan bantuan pompong. Namun ukurannya besar dan memakan minyak dengan boros. Pompong itu kini sudah tinggal rongsokan. “Kalau bise, pompong kecil saje dah cukup. Agar tak boros,” kata Piah, setengah berharap.

Listrik Tidak Byar-Pett di Rumah Piah

KEBERADAAN listrik tenaga surya telah mengakhiri era malam-malam panjang dengan lampu teplok di rumah Piah dan enam warga lainnya. Tak seperti warga Tanjungpinang yang sebulan terakhir was-was listrik padam tanpa pemberitahuan, Piah yang tinggal di pelosok Kampung Sei-Nyirih itu tenang-tenang saja. Bahkan siang hari pun, ia bisa menghidupkan lampu neon 15 watt di ruang tengah rumah panggungnya.

“Ini, coba lihat sendiri. Hidup, kan,” kata Piah (34), setelah menekan saklar lampu. Lampu neon yang masih putih berkilau itu menyala, berebut dengan sinar matahari menerangi ruangan rumahnya. Di luar sana, panas terik seperti membakar ubun-ubun. Kalau orang Tanjungpinang tahu apa yang dilakukan Piah siang itu, wajar saja bila mereka iri pada lelaki yang berprofesi sebagai nelayan tradisional ini.

Rumah Piah, sejak tiga bulan terakhir tak pernah mati lampu. Dan hebatnya lagi, di tanggal 20 tiap bulannya, ia tak perlu berdesakan antri bayar listrik ke loket pembayaran terdekat. Matahari telah memberikan semua penerangan di rumah lelaki beranak dua itu secara gratis.

Padahal, tiga bulan yang lalu, Piah dan istrinya, Maryam (27) serta dua anak mereka yang masih kecil-kecil terpaksa melewati malam-malam panjang di rumah berdinding papan itu dengan pelita. Tak sampai malam pelita itu dihidupkan, sebab Piah mengaku tak kuat membeli minyak tanah. Jarak 100 meter dari rumahnya yang persis berbatasan dengan Sungai Gesek itu, rumah warga lainnya terang benderang sampai pukul 23.00 malam.

Sekitar setahun silam, Pemko Tanjungpinang mengucurkan bantuan dalam bentuk pembelian satu unit genset beserta jaringan kabel. Namun bantuan itu tidak termasuk pembelian solar. Akibatnya, warga yang ingin menyambung listrik harus mau membayar iuran beli solar saban akhir bulan.

“Satu neon iurannya Rp 15 ribu. Saya tak ada uang,” kata Piah. Tapi tiga bulan lalu, keinginan Piah untuk melihat rumahnya diterangi oleh bola lampu temuan Thomas Alfa Edison itu terwujud. Setelah lebih dari 300 tahun Alfa Edison menemukan bola ajaib yang bisa memancarkan sinar itu, akhirnya di kampung yang letaknya ribuan mil dari Eropa itu, Piah menikmati juga penemuan yang mengubah sejarah umat manusia itu.

Bantuan tersebut tak sekedar penampang listrik tenaga surya saja, tapi lengkap dengan tiga unit neon putih dan sebuah accu. Setelah tiga bulan berjalan, accu itu belum rusak. Sebenarnya, penampang kecil itu masih cukup daya bila sekedar menyalurkan energi listrik ke satu unit monitor televisi hitam putih. “Tapi kami belum punya uang untuk televisi,” kata Piah, yang setiap malam harus bergelut dengan air asin untuk menyuluh udang itu.

Itulah sepenggal kisah kehidupan seorang warga di kampung nelayan itu. Selain persoalan listrik yang tak byar-pett di rumah Piah itu, ada eksotisme lain yang ditawarkan oleh Kampung Sei-Nyirih itu. Kisah-kisah pernak-pernik kehidupan itu terkait dengan kehidupan para nelayan di kampung itu.

Naik Sampan ke Tanjungpinang

Syarifah (50) tak pernah puas bercerita sekedar beberapa menit tentang aktivitas yang dilakukannya sejak puluhan tahun silam. Istri Kasman, Ketua RT II RW V Kampung Sei-Nyirih, Keluarahan Kampung Bugis, Kecamatan Tanjungpinang Kota itu pernah menjalani bagaimana susahnya mendayung sampan menembus malam menuju Pasar Ikan di ujung Pelantar KUD, Tanjungpinang.

Syarifah adalah pengumpul ketam hitam di kampung itu. Nelayan lain banyak yang menyetor hasil tangkapannya kepada wanita asli Daik, Lingga ini. Maka setelah dirasakan jumlah ketam cukup, dinihari, sekitar pukul 02.00 WIB, ia mendayung sampan. “Sampai kat Pelantar KUD sekitar satu setengah jam. Kadang saye juge berangkat pukul tige pagi,” kata wanita yang kini membuka warung kelontongan di rumahnya itu. Hebatnya lagi, wanita berkulit putih itu melakukan pekerjaan mengantar hasil tangkapan laut itu seorang diri.

Tapi sejak dua tahun lalu, Syarifah pun dikalahkan oleh usia. “Saye sudah tak kuat lagi dayung sampan sendiri,” katanya. Maka ia pun memilih cara lain, yakni naik taksi Tembeling. Tauke taksi di pusat kecamatan Teluk Bintan itu bernama Tek Bun. “Kalau saye SMS, dia pasti singgah di kampung ini,” kata Syarifah. Kebetulan Sei Nyirih menjadi rute yang dilewati kendaraan dalam perjalanan dari Tembeling ke Tanjungpinang.

Tekhnologi ternyata telah memudahkan semua. Termasuk cara Syarifah meminta Tek Bun singgah. Tapi ternyata ongkosnya juga bukan kepalang. “Sekali jalan Rp 30 ribu,” kata Syarifah. Mungkin ongkos semahal itu dianggap Tek Bun wajar, sebab jarak tempuh Tembeling-Tanjungpinang bisa mencapai sekitar 45 kilometer.

Tidak ada komentar: