Rabu, 04 November 2009

ANAKKU, debu-debu di jalanan ini ternyata banyak bercerita tentang jarak. Kadang ia menjelma menjadi angka, yang kita temukan pada batu penanda di pinggir-pinggir jalan. Dan debu di jalanan ini, sekaligus adalah sebuah pertanda, bahwa semuanya akan hilang begitu saja, dengan ringan, seakan tak terpenjara gravitasi.

Senin, 19 Oktober 2009

The Letter to My Children .... (1)

ANAKKU, setiap kepergian selalu akan melahirkan kehilangan. Dan kehilangan itu selalu berawal dari sebuah kenangan tentang tawa, canda, dan juga harapan.

Apa yang kemudian kita harapkan dari perjalanan ini, ternyata hanya satu, Anakku: pulang. Dan pada setiap kepergian, selalu ada kata pulang. Tak banyak oleh-oleh dari seorang pejalan yang kesepian, Anakku, kecuali kisah dan cerita, tentang kegetiran hidup; tentang kebahagiaan yang berlangsung dari hal-hal yang kecil; juga tentang kesederhanaan. Dan, kepada semua kisah itulah, seorang pejalan akan semakin belajar untuk memahami dan mendalami hidup.

Luqmaan dan Kanisa, ayah menuliskan ini ketika ayah teramat jauh dari kalian. Jarak ini memisahkan kita, namun senyum polos dan lucu kalian, selalu ayah temui di antara kerikil-kerikil tajam di jalanan ini. Dan di perjalanan ini, ayah semakin menemukan ruang hampa itu. Sebuah ruang hampa yang selalu kalian isi, ketika ayah ada di samping kalian.

Dan, ternyata, adalah begitu menyakitkan bila kita terus hidup dihantui ruang kosong itu....

Dulu, saat sebelum Perang Dunia Kedua meletus, ada sebuah kisah nyata tentang kehidupan Heinrich Harrer, pendaki Himalaya yang harus kehilangan banyak hal berharga dalam hidupnya, ketika memutuskan menaklukan puncak Everest, puncak tertinggi di dunia. Tujuh tahun Heinrich habiskan hidupnya di Himalaya, sebagai orang yang nyaris kehilangan hidup. Ia meninggalkan istrinya, saat wanita itu tengah mengandung anak pertamanya. Heinrich, pemuda yang penuh ambisi itu, hanya berjanji kepada sang istri, bahwa ia sudah akan menaklukan Himalaya sebelum kelahiran anak mereka.

Namun nasib berkata lain. Heinrich ditangkap tentara Inggris, dan harus melewati ratusan hari dalam kamp tawanan. Heinrich gagal menepati janji, dan ia semakin kehilangan jejak hidupnya ketika datang surat permohonan cerai dari sang istri. "Kalau anak kita sudah besar nanti bertanya, aku akan katakan bahwa ayahnya sudah hilang di Himalaya," begitu tulis sang istri. Dan dari sanalah kekosongan itu berlangsung setiap detik dalam hidup Heinrich.

Satu-satunya cara ia ingin menebus kesalahannya terhadap sang istri dan sang anak, hanyalah menuliskan seluruh ungkapan hatinya di sebuah buku harian kumal yang terus ia bawa. Dan di perjalanan itu, Heinrich berhasil bertemu, kemudian bersahabat dengan Dalai Lama kecil. Di mata bocah yang menurut keyakinan Tibet akan menjadi pemimpin spiritual itulah, Heinrich menemukan kedua bola mata anaknya, yang bahkan belum pernah ia lihat setelah terlahir ke dunia. Juga Heinrich akhirnya belajar tentang kearifan dari bocah kecil itu.

Perjalanan, anakku, selalunya memang akan melahirkan kearifan. Tapi juga sekaligus melahirkan kesombongan. Bagi mereka yang berhasil membawa kearifan itu pulang, maka mereka akan mendapat makna hidup terdalam. Namun ternyata, sebenarnya, kearifan tidak selalu dapat ditemukan dalam perjalanan. Dalam agama kita yang mengajarkan begitu banyak kesederhanaan, kita sebenarnya bisa mendapat sumber kearifan teragung. Namun mata hati kita selalu ditutupi oleh ambisi dan kesombongan, dua hal yang pada akhirnya membuat kita gagal untuk menggali nilai terdalam dari sebuah ajaran agama.

Dan bagaimana kisah Heinrich itu berakhir, ternyata sederhana. Ia memutuskan untuk lari dari ruang kosong yang tujuh tahun menghantui perjalanannya itu. Dengan sebuah kegetiran, sekaligus kengerian, ia putuskan untuk pulang dan menghadapi kenyataan. Ia tak berharap banyak, bahwa ketika bertemu dengan sang anak, maka bocah itu akan memanggilnya dengan sebutan: ayah. Tapi sudah ia putuskan, apapun yang akan ia hadapi, ia harus pulang dan menebus semua kesalahan masa lalunya, terhadap sang istri tercinta dan anak yang lahir dari rahimnya.

Heinrich pada akhirnya berhasil mengisi ruang kosong itu kembali. Setelah beberapa kali pertemuan, sang anak akhirnya memanggilnya dengan sebutan, ayah....


Dan kisah Heinrich adalah kengerian yang luar biasa dalam diri setiap pejalan. Pada akhirnya, setiap saat, kadang ayah selalu dihantui oleh kengerian itu. Beberapa teman sudah meledek dengan lelucon pahit: suatu saat, ketika kau sampai di pintu rumah, maka anak-anakmu akan menyapamu dengan kalimat pendek, "Mau cari siap, Om?"

Ah, pahit sekali. Lelucon yang sangat pahit dan menyesakkan hati....

Anakku, apa yang bisa ayah lakukan kini, untuk menutup ruang kosong dalam diri ayah itu, hanyalah terus menuliskan ini untuk kalian. Ah, kadang hidup memang memberikan banyak gambaran kengeriannya sendiri-sendiri.

Sabtu, 26 September 2009

Setelah 30 Tahun Berlalu....

SEBUAH PERJALANAN DALAM TIGA DEKADE menjadi teramat panjang. Begitu banyak kisah telah terlewati, dan begitu banyak yang harus dicatat serta diperbaiki. 26 September 2009 hari ini, genap sudah perjalanan tiga dekade itu.

Masih ada sejumlah pertanyaan yang menuntut jawaban. Hidup mungkin adalah sekumpulan pertanyaan kecil yang butuh jawaban besar; juga sekumpulan pertanyaan dalam kalimat-kalimat pendek yang menuntut jawaban baralinea.

Setelah 30 tahun itu, tadi pagi, aku ditemani Luqmaan, Kanissa, dan Dee. Kami bercerita dan tertawa. Luqmaan mengoceh, Kanissa mendengarkan setengah tidak peduli, dan Dee, begitu sabar untuk mengamati kami.

Di 30 tahun ini, tadi pagi, aku kehilangan matahari. Padahal, 30 tahun yang lalu, mentari pagi yang menyambutku. Aku selalu menikmati kisah-kisah orang-iorang yang mengehar pagi, sebab dalam banyak perjalananku, aku sering kehilangan itu.

Agaknya, memang sudah banyak yang harus dipikirkan dan direnungkan ulang. Juga sekaligus memantapkan pilihan. 30 tahun hidup dan mengamati, aku pikir sudah cukup masa untuk melihat dan meski belum pernah cukup untuk mempelajari.

Di 30 tahun ini, aku hanya selalu ingin mengucapkan terima kasih tak terhingga pada semua.....terima kasih....

Rabu, 02 September 2009

4 September....

TINGGAL beberapa jam lagi menuju 4 September. Sebelum dua tahun lalu, tanggal ini sama sekali tidak punya arti apa-apa bagiku. Aku memposisikannya seperti tanggal-tanggal lainnya. Tapi semua berubah sejak dua tahun lalu.

Pukul 08.13 pagi, 4 September, dua tahun lalu, bayi mungil terlahir ke dunia. Aku dan Dee tersenyum menyambutnya. Dan, bayi mungil itu, dua tahun lalu, kami beri nama Luqmaan.

Kini, ia sudah dua tahun kurang satu hari. Besok, Luqmaan akan berulang tahun. Aku dan Dee sepakat untuk tidak merayakan. Kami ingin memberikan Luqmaan sebuah sudut pandang yang berbeda, bahwa ulang tahun bukanlah sesuatu yang identik dengan pesta, tawa, dan konsumerisme.

Maka, besok, tidak akan ada balon serta kue tart dengan lilin angka dua di rumah kecil kami. Aku dan Dee menginginkan agar, di hari kelahirannya, Luqmaan akan memberi, bukan meminta. Kata orang tua, tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah; memberi akan lebih baik dari pada meminta.

TIGA HARI YANG LALU, suhu badan Luqmaan naik. Ia jadi rewel. Sampai semalam, ia tetap rewel. Aku sedih melihat Luqmaan. Tadi pagi, kuajaknya naik sepeda motor, memakai jaket tebal, kami berhenti di depan sebuah sekolah dasar. Luqmaan kubelikan mainan pesawat plastik, kecil, mungil, lucu. Harganya pun sederhana, cuma dua ribu rupiah. Luqmaan pun tersenyum, dan kuantar pulang. Setelah itu aku pergi kerja.

Bahwa kemudian, kebahagian Luqmaan ternyata berlangsung dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Dengan sebuah pesawat, dia akan tersenyum, tertawa, dan pulang serta berceloteh kepada ibu dan adiknya. Ia akan lalu beberapa jam setelah itu dengan tetap ceria.

Aku kadang iri dengan definisi kebahagiaan yang keluar dari jiwa anak-anak kecil. Dan kepada Luqmaan, sebenarnya aku tengah belajar, belajar memandang hidup dan menemukan arti kebahagiaan...


Selamat ulang tahun yang kedua, Nak.....
dari Aku, Dee dan Raihaanah....

Minggu, 30 Agustus 2009

Luqmaan, Raina, dan Ramadhan

SENJA di penghujung Agustus itu ditandai oleh rintik hujan. Aku duduk membelakangi jendela, dan mulai menulis. Jauh dariku, Luqmaan dan Raina tengah bergulingan, bermain, tertawa, juga berteriak.

1 Juni 2009 lalu, Raina hadir di dunia kami, dunia aku, dan Dee. Ia lahir di ruangan yang sama ketika Luqmaan lahir, 4 September 2007 lalu. Dan kemudian, perawat pun membawa ia dan Dee ke ruangan yang sama, seperti saat kehadiran Luqmaan yang pertama dulu.

Aku begitu senang dengan kehadiran Raina, juga Dee aku pikir demikian. Namun dibanding kami berdua, sebenarnya yang paling senang adalah Luqmaan. Aku tidak tahu apa yang berkelebat di dalam benaknya sewaktu melihat gadis kecil mungil itu keluar dari rahim ibunya. Yang aku tahu, dulu sewaktu Raina masih di dalam kandungan Dee, Luqmaan sering mencium dan membelai perut Dee. Jadi aku berpikir, Luqmaan menyayangi adiknya ini.

Tapi ternyata setiap anak punya cara tersendiri untuk menunjukkan kasih sayangnya. Aku kadang tertawa kalau ingat kejadian sejak hampir tiga bulan lalu itu. Ada waktu ketika Luqmaan menindih Raina dengan bantal, juga ada kejadian ketika Luqmaan menjewer telinga Raina, juga tak kalah konyol adalah ketika Luqmaan memanjat baby box tempat tidur Raina dan mulai menganggu gadis kecil itu. Aku tidak melihat kejadian itu, tapi Dee melihatnya.

Pernah sekali waktu, Luqmaan kembali memanjat baby box Raina, namun akibat terlalu tinggi kakinya memanjat, ia jadi takut untuk turun ke lantai. Dee melihat saja sambil tersenyum; sementara masih tetap berpegangan pada kayu yang menjadi dinding baby box itu, Luqmaan terus menerus berteriak, meminta tolong ada seseorang berbaik hati menurunkannya. Raina diam saja melihat semua itu, melihat kekonyolan Luqmaan.

Sore ini, kala rintik hujan turun, aku teringat pada mereka....

DI bulan puasa ini, Luqmaan tidak berpuasa, juga Raina. Luqmaan baru berusia dua tahun kurang lima hari, sementara Raina tiga bulan kurang satu hari. Bagi Raina, ini adalah bulan puasa pertama yang ia alami sejak terlahir dalam dunia yang tidak menentu ini.

Puasa kali ini ada banyak cerita yang berlangsung di rumah kecil yang kami tumpangi. Cerita-cerita itu adalah kisah tentang Luqmaan dan Raina. Mungkin bulan puasa sekarang, pelakon utama kisah itu adalah Luqmaan, sementara Raina adalah penonton setia. Raina belum bisa ikut berlakon, sebab ia berguling pun belum bisa. Ia hanya mengapresiasi lakon Luqmaan dengan dua nada saja, tersenyum atau berteriak nangis. Tapi Luqmaan, aku pikir sudah cukup dengan dua ekpresi Raina itu.


Aku masih membelakangi jendela di kantor ini...dan hujan rintik masih turun...

Ini adalah Ramadhan pertama yang kami lalui berempat. Kurasa, setelah ini berlalu, aku pasti akan merindukannya. Dan kemustahilan terbesar dalam hidup adalah: aku tidak akan pernah bisa kembali lagi pada saat yang sama untuk kedua kalinya. Karena itu, Ramadhan kali ini, yang kami lalui berempat, adalah berkah terindah bagi kami...


--- Untuk... Luqmaan Ahmad Aqsha, Raihaanah Fathimah Khairunnisa, juga Dee.