Kamis, 22 Mei 2008

Pendaratan di Tanjunglelan…

MEREKA adalah orang-orang yang dicintai oleh laut. Orang biasa mungkin harus sampai muntah kuning saat mengarungi laut sejauh 1300 mil mengitari gugus-gugus pulau di Kepri. Tapi mereka, para awak kapal navigasi itu, justru mengisi waktu senggang di perjalanan dengan memancing, main catur, juga main domino. Inilah kisah perjalanan menempuh gelombang Laut Cina Selatan bersama Kapal Negara (KN) Adhara.

MATAHARI masih tepat di atas kepala ketika KN Adhara mulai mendekati Tanjunglelan, sebuah daratan yang menjorok ke laut di selatan Pulau Jemaja, Kabupaten Natuna. Ombak berada pada ketinggian dua sampai tiga meter terus menghantam badan kapal. Sementara air laut jernih yang berada di bawah menunjukkan gugusan karang laut dengan aneka warna.

Tak ada pilihan lain saat itu bagi para staf Distrik Navigasi Tanjungpinang, kecuali harus segera menurunkan pompong. Tak ada dermaga tempat bersandar kapal di Tanjunglelang. Jarak 200 meter, KN Adhara harus lego jangkar.

“Oke, kita turun,” kata Herman Pattiasina, pimpinan rombongan. Sehari-hari ia menjabat sebagai Kepala Seksi (Kasi) Operasional Sarana dan Prasarana di Kantor Distrik Navigasi Tanjungpinang. Tapi dalam perjalanan itu, lelaki yang akrab dipanggil “Kep” (kependekan dari captain, atau kapten) oleh para anak buah kapal (ABK) itu berperan sebagai pimpinan rombongan.

Pompong bercat merah dengan panjang empat meter itu pun diturunkan dari geladak KN Adhara. Satu persatu kami melompat. Laut yang terus bergelora membuat hati tak nyaman. Pompong tak bisa merapat ke badan KN Adhara karena terus menerus dipukul gelombang.

Setelah lima pegawai Distrik Navigasi berturut-turut melompat ke pompong, kapal kayu itu pun mulai bergerak pelan menunggangi gelombang menuju pasir pantai Tanjunglelang. Berkali-kali Herman yang duduk di bagian belakang pompong meminta Polala, seorang stafnya yang berdiri di depan untuk melihat karang di dasar laut. “Kalau mesin pompong ini menabrak karang, celaka kita. Sulit kembali ke kapal lagi,” kata Herman.

Perjalanan sekitar 200 meter itu terpaksa ditempuh selama 15 menit. Berkali-kali pompong berbelok, bergerak lincah di antara gelombang, menghindari karang. Setelah tamparan gelombang yang kesekian, akhirnya kaki-kaki kami berhasil menginjak pasir putih Tanjunglelan. Tak ada kehidupan di tanjung itu. Hanya ada tebing, keheningan, dan dua buah gubuk yang sudah bocor. Dulu mungkin ada penduduk Jemaja yang sempat berkebun di tempat itu.

Di ketinggian sekitar 200 meter dari tebing, ada sebuah rambu suar yang dipasang oleh Navigasi. Rambu ini menjadi penunjuk arah sekaligus penanda pada nakhoda kapal yang mengarungi Laut Cina Selatan di malam hari. Total, untuk wilayah Kepri, terdapat 112 tanda suar. 57 unit di antaranya adalah rambu suar. Sedangkan 24 unit lainnya adalah menara suar, dan 31 unit lagi berbentuk pelampung suar. Berbeda dengan menara suar, rambu suar sama sekali tidak memiliki penjaga.

Pendaratan di Tanjunglelang dengan tingkat kesulitan seperti itu ternyata menjadi santapan rutin awak Distrik Navigasi Tanjungpinang. Setiap tahun, dua kali mereka harus singgah di tempat tersebut. “Tingkat kesulitannya baru 10 persen saja,” kata Herman. Ada lagi yang lebih sulit, yakni pendaratan menuju Menara Suar di Tanjungsekatung, sebuah pulau terluar RI yang masih masuk wilayah Natuna. Di tempat itu, bahkan kapal kadang tidak bisa merapat. “Kami terpaksa mengirimkan suplai makanan dengan melemparnya ke laut. Makanan kami ikat dengan tali. Setelah itu kita berenang menuju pantai,” lanjut Herman yang 20 tahun dari 46 tahun usianya dihabiskan di laut itu. (trisno aji putra/bersambung)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Mas Trisno, Boleh tak blog abang kami link-kan di Blog Batam Cyber Island ( www.batamcyberisland.com/blog )?

trisnoajiputra.blogspot.com mengatakan...

boleh aja. silahkan link blog ini ke blog rekan-rekan batamcyberisland. semoga ke depan masih saling kontak selalu. salam...