Jumat, 25 Januari 2008

Tubuh Andrian Penuh Benjolan Kecil










KASIHAN Andrian. Usianya baru delapan bulan. Tapi ia harus menanggung sejenis penyakit yang bahkan belum bisa terindentifikasi jenisnya. Seluruh tubuhnya penuh benjolan kecil seperti kutil. Namun ukurannya lebih besar dari kutil rata-rata. Bahkan di bagian belakang paha kirinya, ada sebuah benjolan yang berukuran setengah kelereng.

Jumlah benjolan itu mungkin saat ini sudah lebih dari 30 biji. Padahal empat bulan lalu, sewaktu anak kedua dari pasangan Slamet (27) dan Sumiati (21) ini berusia empat bulan, baru satu benjolan yang muncul di tubuhnya. “Benjolan itu ada di bagian tengkuk,” kata Sumiati, sembil menggendong bocah yang diberi nama panjang Muhammad Andrian Dwiputra itu.

Awalnya benjolan itu kecil saja, tapi lama kelamaan semakin membesar. Kemudian mulai tumbuh lagi benjolan di kanan dan kirinya. Hingga akhirnya terus tumbuh di bagian punggung, perut, paha bahkan sampai kepala. Di kepalanya yang masih ditumbuhi rambut jarang-jarang, ada lebih dari lima benjolan kecil. Bahkan benjolan itu kini terus menjalar tumbuh di wajah. Di bagian dagu bocah berkulit kuning langsat ini, sudah tumbuh dua benjolan kecil. “Paling banyak di bagian punggung,” kata Sumiati seraya membuka baju anak keduanya itu.

Entah apa yang menyebabkan benjolan-benjolan yang tak dikehendaki itu tumbuh begitu saja di tubuh Andrian. Memang empat bulan belakangan, benjolan itu belum menyebabkan rengekan si bayi. Paling kalau merengek, kata Sumiati, bila ia lapar saja. Saat ini Andrian memang tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) lagi. “Ia minum susu kaleng,” kata Sumiati, yang sehari-hari hanya menjaga dua anaknya saja di rumah.

Begitu benjolan itu pertama kali muncul, awalnya tidak terlalu merisaukan pasangan yang merantau ke Tanjungpinang sejak awal tahun 2000 ini. Tapi begitu semakin banyak, Slamet dan Sumiati yang merupakan warga Jalan Kampung Lengkuas, Kijang, Kabupaten Bintan ini pun mulai risau. Mereka awalnya membawa Andrian ke Puskesmas terdekat. Lalu mendapat rujukan untuk menemui dokter anak. Dari dokter anak, baru dibawa ke dokter spesialis kulit di Tanjungpinang, yang berjarak sekitar 30 kilo meter dari tempat tinggal mereka.

Setelah mengkonsumsi obat beberapa kali, namun Slamet dan Sumiati melihat belum ada perubahan berarti. Bahkan benjolan mulai tumbuh di bagian lain tubuh Andrian lagi. Kondisi Andrian yang seperti ini ikut menggusarkan seorang tetangganya Susilawati. Akhirnya Susilawati yang juga adalah Ketua Fatayat Nahdatul Ulama (NU) Kabupaten Bintan itu mengontak sejumlah koleganya melalui email sambil mengirimkan foto tubuh Andrian. Ia ingin mencari tahu apa sebenarnya penyakit yang diderita bocah ini. “Sebab kalau sudah tahu penyakitnya, nanti kan lebih mudah mencari obatnya,” kata Susilawati.

Slamet dan Sumiati sendiri sampai kini masih terus berusaha. Hanya saja, mereka mengaku akan kesulitan bila harus menyediakan uang pengobatan dalam jumlah besar. Slamet sendiri hanya bekerja sebagai buruh di tempat pembuatan kapal di Kijang. Sampai saat ini saja, keluarga kecil ini masih mengontrak rumah.

Slamet sangat berharap, bila ada pembaca yang mengetahui jenis penyakit anaknya, atau mau menyumbangkan dana bantuan pengobatan, agar dapat langsung mengontak dirinya.

Ia begitu ingin melihat Andiran tumbuh dalam keceriaan. Langkah Andrian masih panjang. Dan setiap detik dalam hidupnya, Slamet dan Sumiati masih terus berharap, bocah itu bisa terbebas dari benjolan-benjolan yang tak dikehendaki itu. (trisno aji putra)

Pembaca, bila Anda bersimpati dengan Andrian, bisa langsung mengontak ayahnya, Slamet di nomor ponsel 0819 2854 7906


Kisah-kisah dari Singapura (1): Bukan Don't Forget, Tapi Ojolali

MENJADI ekspatriat di negeri kota Singapura adalah jalan hidup yang harus dilalui oleh Kiki Kosasih (41) sejak sekitar enam tahun lalu. Ia mendapat tawaran pekerjaan yang cukup menarik dari sebuah perusahaan produsen komputer ternama. Pada 1999 itu, Kiki yang asli Indonesia dan lama bermukim di Jakarta itu, bekerja sebagai konsultan tekhnologi informasi.

Tapi gaji lumayan tak membuat Kiki betah dengan profesinya. Di pertengahan tahun kelima di Singapura, setelah ia mengantongi predikat sebagai penduduk tetap (permanent resident), Kiki malah banting setir. Ia berhenti bekerja dan mulai berspekulasi untuk menjalankan bisnisnya sendiri.

Bukan tak ada yang dipertaruhkannya. Selain investasi untuk modal usaha awal, ia juga harus siap-siap angkat koper dari Singapura bila ternyata uang yang ditanamkannya tak membuahkan laba. Sekitar Juni 2006, Kiki memulai usahanya, membuka rumah makan "Ayam Bakar Ojolali". Nama Ojolali yang digunakan Kiki bukannya tanpa perhitungan. Memang di negeri yang juga sekaligus kota metropolis dengan penduduk sekitar empat juta jiwa, tentu orang Singapura sudah pasti tak begitu paham makna kata yang diambil dari kosakata Jawa itu. Orang Singapura mungkin lebih peduli bila nama rumah makan Kiki itu adalah "Don't Forget" yang makna harfiahnya sama dengan ojolali.

Tapi Kiki justru punya perhitungan bisnis yang jitu. Lima tahun tinggal di Singapura sebelum ia memulai bisnisnya itu, memberi banyak waktu bagi Kiki untuk mengamati berbagai kecendrungan di negeri tetangga itu. "Banyak orang Indonesia yang datang ke Singapura," kata Kiki, saat ditemui di rumah makan yang dikelolanya, di lantai tiga Lucky Plaza, sebuah mal di kawasan Orchard Road, jantung kota Singapura, pekan lalu.

Kiki sudah survei. Ternyata, kedatangan orang Indonesia ke Singapura tak sekedar mengikuti tren "window shoping" yang ditawarkan negeri Singa itu. Tidak juga sekedar pelesiran. "Mereka banyak yang datang berobat," lanjut ayah dari dua anak ini. Tersebutlah sebuah rumah sakit di sekitar Orchard Road, yang letaknya hanya beberapa langkah dari Lucky Plaza. Nama rumah sakit itu sudah cukup femiliar bagi orang Indonesia, termasuk warga Kepri: Mount Elizabeth Hospital. Bagi orang di negeri ini yang punya penghasilan lebih dan ingin merasakan sentuhan dokter Singapura, Mount Elizabeth adalah satu di antara sedikit pilihan favorit.

Mendapatkan pelayanan medis plus shoping menjadikan alasan orang Indonesia untuk tak sekedar menghabiskan waktu tanpa bermalam di Singapura. Dan pilihan bermalam favorit mereka adalah apartemen di atas Mal Lucky Plaza. Menariknya, di antara pemilik apartemen itu adalah orang Indonesia yang menikah dengan warga Singapura. Sebagai sentra perdagangan, bangunan jangkung Lucky Plaza hanya sekitar lima lantai paling bawah yang difungsikan untuk kawasan pertokoan. Lantai keenam sampai 31, difungsikan sebagai apartemen.

Setelah mendapat sentuhan medis dan puas memelototi aneka barang elektronik dan busana di sepanjang Orchard, tentu kebutuhan mendasar selanjutnya adalah makan. Nah, makan ini punya persoalan tersendiri. Lidah orang Indonesia kadang tak bisa menerima masakan Singapura. Ini menjadi persoalan tersendiri, terutama bagi mereka yang mengutamakan cita rasa masakan sebagai satu di antara kebutuhan primer.

Dari tiga hal besar di atas itulah, kemudian Kiki beranjak mengambil lompatan besar ke impian masa depannya: menanamkan sekitar 150 ribu dolar Singapura, atau sekitar Rp 870 juta (kurs Rp 5800). Ia sewa sebuah ruangan dengan ukuran sekitar 11 X 8 meter. Harga sewa permeter persegi sekitar delapan dolar Singapura, atau Rp 46.400. "Biaya sewanya mahal, jadi investasinya harus besar," lanjut lelaki berkulit putih ini.

Meski ia teken kontrak sewa sampai tiga tahun, tapi Kiki tertolong dengan sistem pembayaran yang dipungut perbulan. Dari satu pengunjung ke seratus pengunjung, hingga sampai ribuan datang ke rumah makan Kiki yang meski ramping, tapi menyediakan kursi sekitar 25 buah. Berbagai menu disediakan, dari mulai ayam bakar sampai ikan bawal, juga gado-gado. Rasanya Indonesia sekali, sebab pelatih masak bagi karyawannya, didatangkan Kiki dari Jogja. Harga masakan juga bervariasi, dari mulai tiga sampai sekitar sembilan dolar Singapura.

Prediksi Kiki diawal, ia sudah cukup senang bila mampu menyedot pelanggan orang Indonesia yang sedang berkunjung ke Singapura. Namun dalam perjalanannya, justru warga Singapura mulau tertarik untuk singgah, kemudian malah jadi pengunjung tetap. Persentase pengunjung rumah makan tersebut kini cukup variatif. Kiki memperkirakan, 40 persen adalah warga Indonesia, 40 persen penduduk Singapura, dan 20 persen sisanya warga dari berbagai belahan dunia, seperti India, Eropa, Asia, Amerika, sampai Australia.

Kiki tersenyum. Hampir memasuki bulan ketiga ia membuka rumah makan itu, Kiki kembali berspekulasi untuk mengambil satu ruangan lain guna difungsikan sebagai sayap rumah makan tersebut. Jarak antara kedua rumah makan Kiki itu hanya terpisah oleh beberapa toko.

Tapi bukan hanya Kiki yang berspekluasi bisnis rumah makan masakan Indonesia di Singapura. Untuk di Lucky Plaza saja, setiap lantai mal tersedia rumah makan Indonesia. Di mulai pada lantai satu, orang Indonesia juga membuka rumah makan "Es Teler 77". Lalu di lantai dua ada "Resto Surabaya". Kemudian di lantai empat ada "Ayam Penyet Ria" dan di lantai enam, sebelum ditutup ada rumah makan "Aneka".

Bagaimana prosedur yang harus dilalui Kiki hingga ia sampai dapat izin membuka usaha di Singapura, menjadi bagian yang tak kalah menarik. Simak kelanjutan tulisan ini esok hari. (trisno aji putra/bersambung)

Selasa, 08 Januari 2008

Ali Achmad, Maestro Pantun Asal Tanjungpinang

TANYAKAN siapa Ali pada warga kota. Tak semua orang kenal. Tapi tambahkan embel-embel di belakangnya, “Pak Ali Tukang Pantun”. Dalam hitungan detik, orang pun langsung paham. Terlebih bagi warga kota yang pernah menikahkan anaknya dalam adat Melayu, mereka akan langsung teringat, siapa Ali Ipon.
Nama lengkapnya sebenarnya adalah Muhammad Ali Achmad. Ia pensiunan guru Bahasa Inggris di SMP 5 Tanjungpinang. Meski usianya sudah lewat kepala enam, tetapi ayah dari lima anak ini masih kocak. “Saye ni ngajar Bahasa Inggris. Tapi bise berpantun. Tak nyambungkan,” kata Ali, dalam logat Melayu. “Tak percaye?” Ali diam sejenak. Dalam hitungan detik, ia pun langsung mengucapkan pantun empat baris.
“If you want to go to United State/ You can go by plane that high speed/ Because the time is limited/ I just explain only a little bit,” kata Ali.

***
SIANG itu kami berpapasan di Jalan Lembah Purnama, sekitar 200 meter dari rumahnya. Ali tak ada di rumah waktu disambangi. “Kakek tadi pergi ke masjid,” kata seorang cucunya. Tapi waktu zuhur sudah lewat hampir satu jam, Ali belum pulang. Rupa-rupanya ada kesibukan lain yang dilakukan lelaki kelahiran Tanjungpinang 1 Maret 1941 ini.
“Saye dengar memang begitu. Tapi sampai sekarang saya belum mendapat kabar resminya,” kata-kata itulah yang pertama kali keluar dari mulut Ali begitu ditanyakan seputar terpilihnya ia menjadi satu dari 27 maestro budaya Indonesia. Ali dinobatkan sebagai maestro bidang pantun.
Obrolan pun berpindah ke ruang tamu rumahnya. Ali mengambil beberapa tumpukan kertas. Juga menunjukkan dua koran nasional yang didalamnya memuat berita Ali sebagai maestro pantun Indonesia. “Saye pun baru tahu dari koran. Waktu itu seorang kawan telpon saye, suruh beli koran ini. Saye pun beli. Memang tertulis ade name saya,” kata Ali sambil menunjukkan koran yang dimaksudnya.
Karena itu Ali pun masih ragu. Sebab, kalau pun benar ia dipilih sebagai maestro pantun Indonesia, ia yakin pastilah ada orang dari Jakarta yang akan menghubunginya. Padahal berita yang dimuat di dua Koran nasional itu terbit pada edisi minggu keemapt Desember lalu. “Entah buaye/entah kata/ Entah iye/entah tidak,” kata Ali berseloroh dalam pantun yang tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutnya.
Kehebatan Ali memang adalah reflek yang dimilikinya dalam mengolah kata hingga tersusun memiliki akhiran dengan bunyi yang sama. Hanya butuh hitungan detik, otaknya mengolah ribuan kata hingga meluncur empat baris kata yang terdengar enak di gendang telinga.
Tapi Ali mengakui, memang pada sekitar November 2007 lalu, Plt Kepala Dinas Pariwisata Tanjungpinang Abdul Kadir Ibrahim (Akib) mengontaknya. Waktu itu, cerita Ali, Akib mengatakan bahwa Ny Pudentia, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) ingin bertemu dengannya. Pudentia datang ke Tanjungpinang memang dalam rangka untuk mencari masukan, siapa-siapa saja ahli tradisi lisan dari daerah ini yang bisa diusulkan untuk menjadi maestro.
Ali pun sempat diwawancara langsung oleh Pudentia di sebuah hotel di Tanjungpinang. Ternyata Pudentia sebelumnya sudah sempat dua kali melihat Ali menunjukkan kemampuan olah kata menjadi bait pantun. Pertama sewaktu digelar acara revitalisasi Budaya Melayu di Senggarang tahun 2005, dan kedua pada sebuah acara di Gedung Daerah, Tanjungpinang.
Setelah itu, Ali pun diminta Pudentia untuk unjuk kemampuan pada sebuah atraksi acara meminang pengantin dalam tradisi Melayu. Atraksi itu langsung di syuting oleh kru Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

***
ALI, pantun, dan acara perwkawinan adalah tiga bagian berbeda yang ternyata membentuk kesatuan dalam hidup lelaki lulusan Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) Tanjungpinang ini. Nama Ali jadi berkibar sebagai “Laksemana Pantun” di Tanjungpinang karena kesatuan dari tiga hal tersebut. Tiap akhir pekan, Ali sulit dihubungi, karena mesti memainkan peran sebagai Penghulu Adat di sejumlah acara pernikahan. Penghulu Adat berperan sebagai orang yang mewakili mempelai wanita dalam perkawinan tradisi Melayu. Si Penghulu Adat akan menerima mempelai laki-laki dengan melontarkan sejumlah pantun.
Peran sebagai penghulu adat itu terjadi kebetulan saja dalam hidup Ali.
Ia masih ingat, waktu itu sekitar tahun 1970-an awal. Temannya, yang juga tetangganya, menikahkan anak perempuannya. Ketika mempelai laki-laki sudah hampir tiba, mendadak ternyata tukang pantung yang telah disiapkan mengundurkan diri. Maka sang teman pun memohon agar Ali yang menggantikannya. Dalam situasi darurat serta seperti tak diberi pilihan lain, Ali pun memberanikan diri menerima tawaran itu. “Saye waktu itu seperti bidang terjun, he-he-he,” katanya, terkekeh.
“Untungnya mempelai laki-laki waktu itu Orang Jawa. Jadi tak terlalu paham pantun,” kata Ali tersenyum, sambil mengenang kisah tiga dekade lalu. Maka Ali pun ambil ancang-ancang. “Buah cempedak di tepi pagar/Ambil galah tolong jolokkan/Saye ni budak baru belajar/Kalau salah, tolong ditunjukkan,” itulah pantun pertama yang diucapkan Ali dalam sebuah acara formal.
Ternyata yang punya hajat merasa cukup senang dengan Ali. Dan cerita kehebatan Ali berpantun tersebar dari mulut ke mulut. Mula-mula, ponakannya menikah. Ali pun diminta menjadi penghulu adat. Lalu saudaranya yang lain, hingag kemudian tetangga dan akhirnya masyarakat satu Tanjungpinang pun meminta bantuannya. Kini dalam sebulan, tak kurang dari 15 panggilan untuk menjadi Penghulu Adat dijalankan Ali.
Tapi justru peran itu membawa berkah rezeki tersendiri dalam hidup Ali. Ia pun membisikkan, berapa uang yang ia terima sebagai “honor” atas kemampuannya membawakan pantun dalam setiap acara perkawinan. Jumlahnya pun tidak sedikit, dan jauh lebih besar dari uang pensiun bulanan PNS yang diterimanya.
Tapi Ali tak memperdulikan persoalan honor. Baginya, itu merupakan kepuasan tersendiri, karena masih bisa memasyarakatkan pantun di zaman ketika globalisasi datang seperti tanpa bisa dilawan. “Anak-anak dan cucu-cucu saye saja sudah tidak bisa berpantun,” kata Ali, sedikit menerawang.

***
TANJUNGPINANG sekitar tahun 1950-an adalah Tanjungpinang yang akrab dengan pantun. Anak-anak sekolah bercanda gurau, saling mengejek, bahkan menembak gadis idaman dengan menggunakan pantun. Beda dengan kini. Mereka lebih akrab dengan mal, lagu top forty Amerika, film Hollywood, dan saban akhir pekan nonton sepak bola Liga Inggris.
Ali dibesarkan dalam buaian irama kata yang menghasilkan bunyi eksotis di tiap akhir baitnya. Ali berkisah tentang ibundanya tercinta. Ketika usia enam tahun, Emaknya akan menghantarkan Ali kecil tertidur dengan untaian kata yang dikemas dalam pantun dan syair. Semua itu kemudian tertanam dalam alam bawah sadarnya. Maka ketika ditanyakan kepadanya, mengapa hanya dalam hitungan detik ia sudah bisa menemukan kalimat untuk membalas pantun yangdilontarkan kepadanya, maka jawabannya adalah kenangan masa kecilnya. Emaknya menanamkan semua kemampuan itu ketika ia masih berada dalam buaian.
Selain itu, Ali juga melihat bahwa pantun yang menjadi bagian dari tradisi lisan mulai tersisihkan oleh seni sejenis, seperti puisi dan syair. Ali tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Namun tahun-tahun belakangan, ia melihat ada perkembangan yang berarti. Para pejabat di daerah ini mulai sering melontarkan pantun untuk mengakhiri pidatonya. Dan Ali pun kadang dimintai olehpara pejabat tersebut untuk membuat pantun sebagai pelengkap kata sambutan. Lumayan, kadang ia mendapatkan honor tak sedikit atas kemampuannya itu.
Itulah kisah Ali, sang maestro pantun yang kocak. Kalau seandainya nanti ia akan dinobatkan menjadi maestro pantun, maka obsesi Ali pun hanya satu: memasyarakatkan pantun. (trisno aji putra)