Kamis, 27 Maret 2008

Kisah Perjalanan Marwah di Sei-Dompak

AGOES Soemarwah bisa jadi adalah lelaki Semarang pertama di awal tahun ini yang naik sampan kotak di Sungai Dompak itu. Maka kemudian ia pun luar biasa menunjukkan kekagumannya pada penemuan asli orang-orang Dompak itu.

“Biasanya orang membuat kapal itu kan dengan perhitungan rinci tentang berat dan lainnya, sehingga ketika berada di air tak tenggelam. Tapi apakah mereka juga pernah menghitung seperti itu ya,” tanya Marwah, panggilan akrabnya, tanpa melepas pandang pada sampan yang berbentuk persegi panjang berukuran panjang lima meter dan lebar sekitar dua meter itu.

Pakcik Rustam, penambang sampan kotak itu diam, seperti tak ingin menjawab pertanyaan Marwah. Sebab, ia yakin, lelaki berkaca mata minus dua yang posturnya sekilas mirip kelapa hibrida tak subur itu sudah tahu jawabannya. Mereka, para nelayan tradisional itu sudah pasti tidak punya perhitungan tekhnis tentang itu. Yang mereka punya hanya naluri.

Dan naluri itulah yang kemudian menjadi sejarah awal lahirnya empat sampan kotak di penyeberangan yang menghubungkan Kampung Dompak Lama dan Kampung Dompak Seberang. Kedua kampung yang berada di Kelurahan Dompak, Kecamatan Bukit Bestari, Tanjungpinang ini dipisahkan oleh sebuah selat pendek sejarak sekitar 200 meter.

Karena selat pendek yang tak bernama itulah, perjalanan menggunakan sepeda motor yang menghubungkan kedua kampung yang punya sejarah yang mirip ini pun menjadi panjang. Pengendara sepeda motor, setahun lalu, sebelum era kelahiran sampan kotak itu, meski memutar sejauh sampai sekitar 30 kilometer, melalui kawasan Wacopek, untuk sampai ke Kampung Dompak Seberang. Padahal bila naik sampan kotak, jarak tempuh tak sampai lima menit.

Adalah Pakcik Pade, lelaki asal Kampung Dompak Seberang yang memulai sejarah sampan kotak itu. Semuanya bermula dari kebetulan. Setahun lalu, ada turnamen sepakbola antar-kampung di Dompak Lama. Para warga Dompak Seberang punya kesebelasan kesayangan yang bertanding dalam turnamen tanpa piala itu. Mereka ingin menonton, namun terpaksa meletakkan motor di pinggir sungai karena tak bisa dibawa menyeberang.

Pakcik Pade, yang sudah puluhan tahun mencari Ketam Renjong di Sei Dompak pun menangkap peluang bisnis itu. Setelah ketam sulit dicari, apalah daya nelayan Melayu tradisional itu. Maka Pakcik Pade pun bereksperimen, menyulap sampan tangkap ketamnya menjadi alat transportasi penyeberangan, laiknya kapal motor roro (roll-on/roll off).

Diberi nama sampan kotak, karena memang bentuk papan yang bisa mengapung itu mirip kotak, tapi tak bujur sangkar, melainkan persegi panjang. Lebih tepatnya kotak lonjong. Tapi orang Melayu terkenal sebagai orang-orang yang sederhana, termasuk sederhana dan efisien dalam memberi nama benda dan tempat di sekitar mereka. Nama sampan kotak lonjong tentu terlalu panjang, lebih singkat bila sekedar sampan kotak. “Kami sebut kotak saje. Tapi sebut sampan kotak pon boleh juge-lah,” kata Pakcik Rustam, sambil mendayung.

Sekali angkut, sampan kotak Pakcik Rustam bisa membawa tiga sepeda motor sekaligus. Atau kalau pemilik motornya punya nyali, empat sepeda motor pun pernah Pakcik Rustam angkut. Tapi kalau pemilik sepeda motor buatan Jepang dan Cina itu masih pikir panjang, lebih baik bersabar menunggu sampan kotak lain, dari pada berdesakan. Maklum, tak ada asuransi di penyeberangan Roro Seungai Dompak itu.

Sekali Nyebrang, Tarifnya Lima Ribu
SAMPAN kotak itu kemudian telah mengubah sejarah hidup Syahrir, Pakcik Pade, Pakcik Rustam, maupun Meijan. Mereka dulu nelayan pemburu ketam renjong di Sungai Dompak. Namun sejak Pakcik Pade menemukan kapal Roro (roll on-roll off) made in Dompak, mereka berempat pun beralih profesi sebagai penambang sampan kotak.

Ketam renjong kini menjadi komoditas langka di kawasan pesisir Tanjungpinang itu. Dulu, sekali turun ke laut, 10 kilo ketam renjong yang ditangkap dengan menggunakan bubu, bisa didapat. Tapi kini, berharap membawa pulang sekeranjang ketam renjong itu pun sudah terlalu muluk.

Bakaruddin, nelayan pemburu ketam renjong yang tinggal di Kampung Kelam Pagi, Dompak Seberang bertutur tentang sulitnya berburu ketam renjong. “Kadang saya pulang hanya bawa seekor ketam saje,” kata Bakaruddin. Kalau nasib baik, paling banyak ia bisa menangkap satu kilogram ketam renjong, yang dijual seharga Rp 28-Rp 30 ribu di pasar.

Dengan demikian, bisa dibayangkan penghasilan yang bisa dibawa pulang Syahrir, Pakcik Pade dan lainnya sewaktu masih menjadi menjadi nelayan ketam renjong dulu. Bandingkan kini misalnya, dengan penghasilan mereka setelah menjadi penambang sampan kotak. “Sehari saye bisa dapat Rp 50 ribu,” kata Syahrir, yang menekuni pekerjaan itu sejak sekitar setahun lalu itu. Sekali menyeberang, sebuah sepeda motor dikenakan tarif lima ribu rupiah.

Uang sejumlah itu menjadi sambungan nafas bagi Syahrir untuk berbelanja kebutuhan pokok di tengah melonjaknya harga-harga seperti saat ini. Kalau lagi ada hajatan atau turnamen sepakbola antarkampung, penghasilan Syahrir tambah bengkak. “Kadang sehari bisa sampai Rp 100 ribu,” kata lelaki bertubuh gempal ini.

Modal mereka pun tak besar. Mereka hanya perlu membuat sampan kotak berukuran panjang sekitar lima meter dan lebar tiga meter. Memang, bila dilihat sekilas, orang yang tak pernah menyeberang naik Kapal Roro khas buatan Dompak ini mungkin akan khawatir. Seperti misalnya bagi Agus.

Agus terlahir di daratan Jawa, dan mungkin seumur hidupnya tak pernah melihat sampan kotak jenis seperti ini. Yang ia tahu model kapal roro adalah seperti di penyeberangan Ketapang-Gilimanuk, yang menghubungkan Banyuwangi dengan Bali. Padahal di penyeberangan tersebut, besar kapal roro mungkin 49 kali lipat dari kapal sampan kotak itu. Kapal roro di penyeberangan Banyuwangi-Bali sekali jalan bisa mengangkut belasan kendaraan roda empat. Sementara sampan kotak, sekali jalan maksimal hanya bisa mengangkut tiga sepeda motor. Itu pun sudah membuat Pakcik Pade dan Pakcik Rustam kelelahan mendayung sampan kotak itu.

Hebatnya, sampan kotak itu pun sampai setelah setahun lebih beroperasi, belum pernah punya sejarah tenggelam seperti kapal Tampomas. Maka seperti bebek menemukan kolam, sesenang itulah Agus begitu menemukan adanya sampan kotak di Sungai Dompak itu. Lebih dari sepuluh menit Agus terus mengamati bentuk sampan kotak, sambil terus menghitung berat jenis sampan, sehingga masih tetap mengapung di permukaan air, meski mengangkut tiga sepeda motor dengan tiga pengendaranya sekaligus.

Karena begitu terkesima, lelaki yang baru setahun menetap di Tanjungpinang itu pun sampai dua kali mencoba menyeberang dengan sampan kotak, bolak-balik, seperti strika baju.

Yang lebih membuat Agus semakin kagum adalah pembagian sistem kerja di antara empat penambang sampan kotak. Di ujung Kampung Dompak Lama, dua orang penambang sampan kotak, Syahrir dan rekannya siaga menunggu penumpang. Sementara di ujung sebelah satunya lagi, yakni di Dompak Seberang, Pakcik Pade yang siaga. Begitu Syahrir mengangkut penumpang ke Dompak Seberang, maka ketika kembali ia tidak dibenarkan membawa penumpang. Sebab penumpang dari Dompak Seberang ke Dompak Lama adalah jatah Pakcik Pade. Karena itu, setahun pun mereka sama-sama mencari nafkah, tidak pernah timbul persaingan usaha tidak sehat. Bahkan ketika Syahrir mengayuh sampan kotak sampai bertemu Pakcik Rustam, ia terkekeh dan memberikan gelar Pakcik Rustam sebagai lelaki penambang sampan yang menyeramkan. Pakcik Rustam pun terkekeh, mengisap dalam-dalam rokok kereteknya. (trisno aji putra)

Tidak ada komentar: