Senin, 19 Mei 2008

Perjalanan ke Timur Laut (1)

Letung, Saksi Bisu Kepunahan Bahasa Jemaja

SEMUA itu sudah samar dalam ingatan Serain (49). Hanya beberapa kosakata yang masih diingatnya, itu pun warisan cerita ibunya dulu. Orang-orang Letung itu kini adalah saksi bisu punahnya Bahasa Jemaja, sebuah bahasa yang pernah menjadi alat komunikasi di pulau yang masuk dalam wilayah Kabupaten Natuna itu.

HAMPIR malam di Letung, ketika Kapal Negara (KN) Adhara yang kami tumpangi merapat di dermaga. Orang-orang Letung sudah menunggu di tepian, membawa sepeda motor. Mereka mengantarkan kami satu persatu ke perkampungan penduduk yang memanjang sekitar beberapa kilometer di tepian pantai.

Di Letung, orang masih belum menjadikan uang sebagai falsafah hidup tertinggi. Kami dijemput sepeda motor dan diantar sampai tujuan dengan gratis. Bahkan seorang tokoh pemuda setempat, Zulfahmi, tak keberatan mengantar kami sampai ke rumah Andrin Ali Muhammad (58), Ketua Lembaga Adat Melayu Kecamatan Jemaja, Kabupaten Natuna.

Setumpuk data sudah ada di meja Andrin sewaktu kami datang. Lelaki bertubuh gempal itu membangun rumah di pelantar, menjorok ke laut. Angin sore, senja yang mulai turun di barat Jemaja, serta sebuah keakraban menemani pembicaraan kami.

Andrin adalah seorang pencari. Puluhan tahun dari hidupnya dihabiskan untuk melihat, mendengar dan mencatat. Di balik rambutnya yang sudah memutih itu, tersimpan ratusan, bahkan ribuan data tentang Jemaja, tanah kelahirannya. Ia berkeliling seluruh Jemaja, berbicara dengan ribuan orang, dan mencatat begitu banyak peristiwa yang nyaris terlupakan.

Orang-orang yang terlahir dalam zaman Pentium IV kini mengalami masalah ingatan. Banyak kearifan lokal yang sudah mulai terlupakan karena ketidaksediaan untuk mengingat itu. Satu di antara catatannya tentang masalah kealpaan itu juga terjadi di Pulau Jemaja. Sampai sekitar tiga generasi lalu, di pesisir timur Jemaja, orang-orang Jemaja masih punya bahasa sendiri, yang berbeda dengan bahasa Melayu yang mereka gunakan kini.

Namun kini, mungkin hanya Andrin, Serain, dan segelintir orang tua di Jemaja yang masih ingat tentang bahasa itu. Itu pun hanya beberapa kosakata saja. Tapi mereka pun sudah tak mampu lagi merangkai kata itu menjadi kalimat. Maka bahasa Jemaja pun punah bersama kealpaan ingatan itu.

“Bahasa ini diucapkan oleh orang-orang di Jemaja Timur. Tepatnya di David,” kata Andrin. David yang dimaksud oleh Andrin bukanlah nama tokoh cerita rakyat Timur Tengah yang berhasil mengalahkan Goliath. David adalah nama perkampungan, yang karena pemekaran kecamatan, kemudian dijadikan sebagai ibukota Kecamatan Jemaja Timur.

Tercatat, memang kampung-kampung tua di Jemaja awalnya berada di Jemaja Timur, di daerah sekitar Ulu Maras. Kampung tertua di pulau yang kini berpenduduk sekitar sepuluh ribu jiwa itu adalah Kampung Ulu Maras. Namun dalam perkembangannya kemudian, persebaran penduduk justru lebih mengarah ke Letung, yang berada di pesisir. Kini Letung menjadi bandar kecamatan teramai di Kecamatan Jemaja.

Tak Berbekas

KAMI berusaha melakukan penelusuran untuk menggali sisa-sisa bahasa Jemaja yang mungkin sudah punah itu. Sepanjang jalan, kami mencari anak-anak muda yang berasal dari Jemaja Timur. Tapi tak satu pun dari mereka mengerti bahwa sempat tumbuh sebuah bahasa yang kini punah di tanah kelahiran mereka itu. Hampir semua dari mereka hanya menggeleng ketika kami tanyakan tentang bahasa Jemaja.

Andrin sendiri tak banyak mencatat kosakata bahasa Jemaja tersebut. Namun menurutnya, bahasa itu sekilas kedengaran seperti menyingkat kalimat bahasa Melayu. Seperti misalnya untuk menyebutkan kalimat, “mau ke mana?”, orang-orang Jemaja tempo dulu hanya mengucapkan, “nak kemar?”. Atau misalnya untuk kalimat membenarkan sebuah pernyataan seperti, “iya juga.” Orang-orang Jemaja dulu mengucapkannya hanya, “iye ga.”

Pencarian itu akhirnya mempertemukan kami dengan Serain. Lelaki asli Letung yang kini bekerja di Kantor Navigasi Kelas I Tanjungpinang itu sebenarnya adalah teman seperjalanan di KN Adhara. Di sepanjang jalan, Serain banyak bercerita tentang kampungnya. Dari mulai eksotisme Pantai Melang, kehidupan pengungsi Vietnam di Jemaja, sampai keramik-keramik kuno peninggalan zaman dinasti-dinasti kerajaan Tiongkok dulu. Tapi tak satu pun cerita itu mengarah pada bahasa yang telah punah itu.

“Saya tak tahu banyak. Hanya cerita ibu saya, dulu memang ada bahasa itu,” kata Serain, sewaktu kami mengobrol di buritan kapal, dalam perjalanan pulang ke Tanjungpinang. Di antara kosakata bahasa itu yang masih diingat Serain adalah seperti man sebagai pengganti penyebutan orang pertama, saya. Atau misalnya kata camce untuk menyebut sendok, belek untuk menyebut botol, dan kehawe untuk menyebut kopi.

Satu kosakata lagi yang masih diingat oleh Serain adalah penyebutan tentang waktu. Bahasa Jemaja itu hanya mengenal penyebutan masa lampau sebetas tiga hari yang lalu saja. “Mereka bilang tiga hari lalu itu dengan kata marenti,” kata Serain. Lebih dari itu, Serain sudah tak ingat lagi kosakatanya.

Masuknya Pengaruh Luar

PARA ahli linguistik memperkirakan bahwa dalam setahun, ada sekitar sepuluh bahasa di dunia ini yang punah. Kepunahan sebuah bahasa itu karena tidak didukung jumlah masyarakat pengucapnya. Jika memang pandangan ini benar, maka bisa jadi Bahasa Jemaja adalah satu dari sepuluh bahasa yang punah setiap tahunnya itu.

Baik Andrin maupun Serain sependapat bahwa faktor utama kepunahan Bahasa Jemaja itu karena semakin kuat masuknya pengaruh luar. Sejak ditemukannya mesin uap oleh James Watt, pulau-pulau terpencil berhasil dijelajahi manusia. Termasuk Pulau Jemaja. Kontak dengan dunia luar pun terjadi, yang menyebabkan masuknya budaya luar. “Sekarang banyak anak-anak sini yang merantau ke luar, dan orang luar pun banyak datang kemari,” kata Serain.

Namun, seorang kawan di Tanjungpinang punya pendapat lain tentang punahnya bahasa Jemaja itu. “Saya menduga bahwa itu hanya merupakan dialek dari bahasa Melayu saja. Artinya bukan bahasa yang berbeda dengan bahasa Melayu,” kata Ari Sastra, jebolan Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang.

Faktor iklim, geografis, sosial budaya adalah sejumlah penyebab terjadinya perubahan dialek dalam sebuah bahasa. “Buktinya, orang-orang Letung saja masih paham dengan arti kalimat mereka,” kata Ari lagi. (trisno aji putra/bersambung)

4 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel di blog ini menarik & bagus. Untuk lebih mempopulerkan artikel (berita/video/ foto) ini, Anda bisa mempromosikan di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di tanah air. Telah tersedia plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://www.infogue.com
http://pariwisata.infogue.com
http://pariwisata.infogue.com/kapal_rumah_bukit

trisnoajiputra.blogspot.com mengatakan...

untuk rekan-rekan di infogue, terima kasih atas apresiasinya. silahkan link blog ini. ke depan, keep on contact....

madzzz mengatakan...

lam kenal

kesatuan pejuang malaysia mengatakan...

Cuba selidik bahasa/loghat negeri terengganu,malaysia.dikhabarkan mempunyai banyak persamaan dengan bahasa kepulauan anambas