Senin, 19 Mei 2008

Perjalanan ke Timur Laut (2)

Cukong dari Singapura Buru Barang Antik

JEMAJA ternyata cukup digambarkan dengan tiga kata saja: barak-barak bekas pengungsi Vietnam, sendratari gubang, dan tumpukan harta karun yang tertimbun di pasir putih Pantai Melang. Selebihnnya, Jemaja tak ubahnya seperti gugus pulau-pulau yang dulu dikenal dengan sebutan Pulau Tujuh: perkampungan nelayan di tepi pantai, pelaut-pelaut tangguh, dan ombak yang menggulung sampai lima meter di musim angin utara.


Karena tiga kata itulah nama Jemaja pun mengglobal ke seantero Asia Tenggara. Bagi orang-orang di Vietnam, Jemaja adalah kenangan masa lalu mereka. Kala itu, pendulum waktu masih bergerak di angka sekitar tahun 1975. Ribuan, bahkan puluhan ribu orang-orang Vietnam yang tidak sepakat dengan rezim yang berkuasa nekat kabur lewat jalur laut dari negeri itu.

Mereka menuju negeri di selatan, Australia. Dari kabar yang mereka terima samar-samar, hidup di Australia lebih bebas. Naik perahu kayu, mereka pun menuju negeri di selatan. Tapi negeri yang dituju itu teramat jauh. Sementara daratan pertama yang mereka temui dalam perjalanan itu adalah Jemaja. Banyak pelarian Vietnam saat itu berpikir untuk menetap di Jemaja saja, karena mereka menganggap yang penting sudah lepas dulu dari cengkeraman rezim yang berkuasa.

Dari satu perahu, kemudian diikuti perahu lain, hingga jumlah pastinya semakin tak terdata. Dari satu keluarga, kemudian Jemaja dihuni sampai ribuan keluarga Vietnam. “Jumlah mereka lebih banyak dari pada jumlah penduduk Jemaja sendiri,” kata Thamrin, seorang warga Jemaja.

Kondisi kehidupan di Jemaja zaman pelarian Vietnam itu masih lekat dalam ingatan Thamrin. Namun seiring bergurlirnya waktu, pengungsi itu setelah dibawa ke Pulau Galang, kemudian dikembalikan ke negaranya. Kini tak ada yang tersisa, kecuali puing-puing barak. Tapi Thamrin masih menyimpan peninggalan yang tersisa dari pelarian Vietnam itu. “Beberapa masyarakat Jemaja sampai kini masih bisa berbahasa Vietnam,” kata lelaki yang sehari-hari bekerja membuka bengkel di Letung ini.

Sewaktu Vietnam masih ramai di Jemaja, Thamrin melihat peluang ekonomi. Sehari-hari ia berjualan makanan keliling barak. Ia pun melakukan kontak dan belajar bahasa mereka. Zaman itu, orang-orang Jemaja ada yang kaya mendadak. Sebab, saking mungkin sudah sangat kelaparan, ada orang Vietnam yang rela menukarkan seuntai kalung emas dengan sebungkus nasi.

Keramik Dinasti Song

Kisah tentang pelarian Vietnam itu melengkapi satu lagi daya pikat Jemaja di mata orang-orang di Asia Tenggara. Bagi orang di Malaysia maupun Singapura, Jemaja mereka kenal sebagai surga barang antik. Cukong-cukong benda-benda antik dari kedua negeri jiran itu kerap mendatangi pulau yang terpisah sekitar 20 jam perjalanan laut naik kapal besi dari Tanjungpinang ini.

Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kecamatan Jemaja Andrin Ali Muhammad adalah seorang saksi dari bagaimana kegigihan para pemburu harta karun itu di Jemaja. Tersebutlah sebuah pantai di utara Jemaja. Orang-orang memberikan nama pantai yang sejauh mata memandang hanya hamparan pasir putih itu dengan sebutan Pantai Melang. Kini pantai itu menjadi objek wisata bagi orang Letung, karena hanya 15 menit jarak tempuhnya dari kota kecamatan itu.

Pantai itu kini memang hanya tempat rekreasi. Tapi sampai sekitar tahun 1960-an, pantai itu dikenal sebagai tempat penemuan keramik-keramik kuno. Banyak penggalian yang dilakukan di sana. Dari beberapa keramik yang pernah ditemukan Andrin, di antaranya ada yang menunjukkan bahwa benda-benda bernilai jual tinggi itu ada yang dibuat pada zaman Dinasti Ming, yang diperkirakan berkuasa di Cina sekitar periode tahun 1368-1644. “Tapi ada juga pernah saya temukan keramik yang berasal dari zaman Dinasti Song,” kata Andrin lagi.

Kalau lah benar demikian adanya, maka usia keramik yang ditemukan di Pantai Melang itu sudah cukup tua. Sebab berdasarkan catatan sejarah, Dinasti Song sendiri berkuasa sekitar tahun 960-1268. Berapa banyak keramik yang tersimpan di dasar pasir Pantai Melang, belum ada yang menghitung. Tapi, Serain, seorang warga Letung memberikan ilustrasi. Di zaman ketika ia masih bersekolah SMP, sekitar akhir dekade 1960-an, ia sering mengunjungi Pantai Melang. “Kalau kita menginjakkan kaki di pasir, seperti ada suara gema. Artinya di sepanjang pasir pantai itulah terkubur keramik-keramik tua itu,” kata Serain.

Tak hanya keramik tua saja yang tersimpan di Pantai Melang. “Juga ada emas batangan, mahkota dan lainnya,” kata Serain. Penduduk setempat pernah menemukan itu. Diperkirakan, emas batangan ini adalah simpanan para bajak laut yang zaman dulu kerap melintas perairan lepas pantai Jemaja.

Dari mana keramik itu bersumber? Andrin memperkirakan, keramik itu berasal dari kapal-kapal yang karam di sekitar lepas pantai Jemaja. Pantai Melang yang menghadap ke utara, persis berada di jalur pelayaran internasional yang menghubungkan Cina di utara dengan Jawa di selatan.

Lantas bagaimana perburuan benda-benda antik itu? Andrin berkisah bahwa ia beberapa kali didatangi tamu asing yang tak dikenal. Di antaranya ada yang mengaku dari Jakarta, Singapura maupun Malaysia. Pernah ada seorang cukong benda antik dari Singapura yang mau membeli keramik kuno berbentuk vas bunga setinggi 30 sentimeter dengan harga 60 ribu dolar Singapura (atau Rp 390 juta dengan kurs Rp 6.500 per dolarnya).

Itulah Jemaja, pulau yang masuk dalam gugusan Pulau Tujuh. Banyak kisah tua yang pernah berlangsung di sana. Namun setelah semua kisah itu berlalu, ekonomi Jemaja ternyata masih bergerak pelan. Orang-orang Jemaja kini tengah sibuk berbicara tentang pembentukan Kabupaten Anambas, dari pada mengingat pelarian Vietnam maupun benda-benda kuno. (trisno aji putra)

Tidak ada komentar: