Minggu, 11 Mei 2008

Perjalanan ke Selatan

PULAU Penaah adalah tempat persinggahan para bule yang berkonvoi naik yacht dalam perjalanan mereka dari Singapura menuju Bali. Inilah pulau yang menjadi surga bagi nelayan. Jutaan ikan di sana membuat para pemancing dari berbagai penjuru jagat yang datang seperti mengail ikan di dalam kolam.

ORANG-orang Penaah sudah kumpul di tepi lapangan sepakbola ketika kami sampai. Mereka duduk, jongkok, duduk, berdiri, lalu duduk lagi. Jumlah mereka seratusan orang. Sudah berjam-jam mereka menunggu di pinggir lapangan. Bukan laga sepakbola antar kampung yang mereka tunggu. Tapi sebuah helikopter yang ditumpangi oleh Gubernur Kepri Ismeth Abdullah yang mereka tunggu.

“Kami belum pernah lihat helikopter,” kata seorang warga di tepi lapangan. Dan sekitar pukul 16.00 WIB, sebuah helikopter berwarna biru langit milik TNI AL meraung-raung di atas langit Penaah. Sebagian warga yang sudah menjauh untuk berteduh di pohon kontan berhamburan. Bocah-bocah kesil terselip di antara mereka yang berhamburan mendekat itu.

Bagi mereka, helikopter kemudian benda ajaib tercanggih yang pernah singgah di pulau dengan penduduk sekitar 371 orang. Begitu Ismeth turun para bocah berdiri di tepi jalan semen seluas satu setengah meter yang menghubungkan lapangan sepakbola dengan panggung tempat pembukaan acara Lingga Fishing Festival (LFF) 2008. Tapi baru beberapa detik Ismeth berlalu melewati jalan semen itu, para bocah kembali berhamburan, menuju lapangan bola, menjauhi panggung. Mereka mengelilingi helikopter dan memandangnya sampai berjam-jam. Gadis-gadis kampung yang sudah punya ponsel kamera asyik berpose dengan latar belakang benda ajaib yang punya baling-baling itu. Sementara pemuda kampung, dengan santai baring-baring di bawah pohon di tepi lapangan, sambil terus menatap helikopter itu.

Rupanya, persiapan penyambutan helikopter itu sudah dilakukan sejak sekitar satu bulan lalu. Warga kampung dengan sukarela membersihkan lapangan. “Kami juga tadi pagi tabur beras kencur di lapangan,” kata seorang warga lainnya. Mereka khawatir, helikopter canggih itu akan diganggu oleh makhluk halus yang terkenal ada di sekitar pulau yang luas kelilingnya hanya sekitar 1,3 kilometer itu.
Tapi jerih payah sebulan penuh itu terpuaskan sore itu. Benda yang hanya pernah mereka saksikan di film-film action Hollywood, sore itu singgah di kampung mereka juga. Hampir petang, helikopter itu terbang kembali meninggalkan kampung mereka dengan diiringi lambaian tangan bocah-bocah kampung.

Tapi lepas dari persoalan helikopter, sore itu, bocah-bocah kampung juga punya “mainan” baru, memelototi empat bule yang datang untuk ikut lomba mancing. Hasrat hati ingin mendekat, tapi di SD di kampung mereka itu, Bahasa Inggris belum diajarkan.

Alain, bule asal Prancis yang sudah setengah tahun menetap di Batam dan bekerja untuk PBB mengaku cukup terhibur dengan keramahan kampung dan keindahan Penaah. Ia mengaku hobi naik sepeda gunung. Tapi begitu seorang rekannya mengajak untuk ke Penaah ikut lomba memancing, Alain tak menolak. Maka Jumat (2/5) kemarin, ia pun menjadi satu dari sekitar 350 peserta lomba mancing. Selain Alain, ada tiga bule lainnya, sahabat Alain, yang ikut lomba yang diadakan tiap tahun itu.

Ketika acara pembukaan sedang berlangsung, Alain yang sudah terbiasa menghadapi forum seremonial, justru meluangkan waktu untuk berkeliling Penaah. “Saya tak pernah melihat pulau seindah ini di Prancis. Di sana ada pulau, tapi tak ada pohon kelapanya,” kata lelaki yang fasih bercerita soal Zinedine Zidane, bintang sepakbola legendaris asal Prancis yang sudah gantung sepatu itu. Karena itu, memancing sebenarnya bukan tujuan Alain. “Saya tak ada persiapan. Dan saya tak punya ambisi juara,” lanjutnya.

Sebenarnya Alain bukan bule pertama yang singgah di Penaah. September hingga Oktober adalah musim kunjungan para bule ke pulau yang terletak di ujung Selatan gugus kepulauan Senayang ini. Letak Penaah yang ada di persimpangan jalur yang menghubungkan Laut Bankga dengan Laut China Selatan itu menjadikan tempat ini pilihan singgah bagi para petualang laut dari berbagai sudut kolong jagat itu untuk singgah mengambil perbekalan air bersih. Mereka biasanya labuh jangka di Selat Kongki, sebuah laut sempt yang diapit oleh Pulau Kongki Besar dan Kongki Kecil. Ujung dari selat itu adalah Pulau Penaah.

Tapi tak sekedar mengambil perbekalan air bersih saja. Para bule itu sudah memasukkan dalam agenda perjalanan mereka nama Penaah. Pulau ini, selain menawarkan pantai pasir putih, sekaligus menyimpan terumbu karang indah di dasar lautnya. Para pengebom ikan yang pernah mencoba datang diusir oleh nelayan Penaah. Sehingga, sejak dulu, terumbu karang aneka warna dan jenis itu masih tersimpan rapi di dasar laut.

“Kedatangan mereka biasanya untuk menyelam,” kata Abang Azhari, Ketua RW 08 Pulau Penaah. September datang, rombongan konvoi yacht yang digunakan bule-bule itu jumlahnya sampai belasan, yang mengangkut puluhan penumpang. Tapi, mereka jarang singgah ke Penaah. Sesekali saja bila mereka ingin menikmati pulau kecil itu, mereka menjejakkan kaki di pasir putih pantai Penaah.

Penaah Terancam Tenggelam

PULAU Penaah adalah penanda, bahwa di gugus kepulauan Senayang, Kabupaten Lingga, ikan belum menjadi barang langka. Lautnya masih terjaga dari pengeboman liar, namun ada ancaman, pulau itu suatu saat akan tenggelam akibat abrasi dan pemanasan global global warming).

SEPANJANG mata memandang, hanyalah hamparan warna biru lautan yang berkilauan terpantul sinar matahari sore. Pulau Penaah seperti titik noktah kecil di atas hamparan biru lautan yang sesekali beriak.
Di ujung sana, anak-anak nelayan berlarian di pasir putih pantai. Satu dua canda tawa mereka masih terdengar dari ujung selatan, dekat lapangan sepakbola di tengah pulau.

Luas pulau itu hanya sekitar 1,3 kilometer apabila dikelilingi. Garis tengah pulau yang berbentuk lingkaran tak sempurna itu hanya 600 meter, dari ujung ke ujung. Rumah-rumah penduduk hanya di sisi sebelah barat, tepatnya memanjang dari barat laut sampai barat daya pulau. Pemukiman berakhir di pantai pasir putih di ujung utaranya. Pada sisi timur pulau yang ditumbuhi kelapa tak sampai seratusan batang ini, tak ada rumah, melainkan semak belukar.

Kini penduduk Penaah adalah generasi yang ketiga. Sejarah kehidupan di pulau itu berawal sewaktu Abang Akil datang ke pulau itu lebih dari 150 tahun lalu untuk membuka kebun kelapa. Abang Akil adalah warga Daek, Kabupaten Lingga. Kini, generasi ketiga dari keturunan Abang Akil, Abang Azhari dipilih menjadi Ketua RW 08. Tingkat birokrasi tertinggi di pulau berpenduduk 115 kepala keluarga (KK) tersebut hanyalah RW. Di bawah RW, ada dua RT. Adminstratif pulau ini masuk dalam wilayah Kelurahan Senayang, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga.

Kini setelah lebih dari 150 tahun pulau di ujung selatan gugus kepulauan Senayang itu ditempati, ada ancaman yang tengah mengintip. Di sisi selatan pulau terjadi abrasi terus menerus sepanjang tahun. Dulu, jalan semen dengan lebar sekitar satu setengah meter dibangun mengelilingi pulau. Pengunjung yang datang pun bisa menikmati keindahan seluruh pulau dengan berjalan kaki melewati jalan semen tadi.

Tapi itu cerita lima tahun lalu. Sejak tiga tahun terakhir, terjadi abrasi terus menerus, memanjang dari sisi timur laut sampai tenggara pulau. Tak ada jalan semen yang tersisa lagi, melainkan batu-batu karang.

Abang Azhari, Ketua RW 08 Pulau Penaah berujar, jalan itu hancur sekitar tiga tahun lalu. Pendapat Abang Azhari ini diperkuat oleh Khairul, seorang warga. “Dulu pulau ini luas. Kalau ada anak kecil nangis di perkampungan, kita tak bisa mendengarnya. Tapi sekarang, kalau kita berada di selatan pulau, atau di tenggara kita bisa dengar suara anak kecil nangis,” kata Khairul, mendeskripsikan bagaimana pulau itu dalam benaknya terasa semakin menciut.

Penyebab abrasi yang semakin berkepanjangan itu tak lain tamparan angin selatan. Kalau angin utara datang, meski terkenal kencang berhembus dari arah Laut China Selatan, tak terlalu berpengaruh. Ujung utara pulau ini dilindungi oleh dua pulau yang ukurannya lebih besar, yakni Pulau Kongki Besar dan Kongki Kecil. Meski secara ukuran kedua pulau lebih besar sampai empat hingga lima kali lipat Penaah, tetapi tak tampak satu pun pemukiman warga.

Sementara, bila arah angin berbalik, yakni bertiup dari selatan, sama sekali Penaah tak terlindungi. Tamparan ombak ganas Laut Bangka langsung menyentuh pantai di sisi selatan dan tenggara Penaah. Karenanya, abrasi terus menerus pun terjadi.

Khairul pun punya firasat tak baik. Kalau tenggelam dalam waktu dekat, menurut lelaki itu masih sulit dicerna akal sehat. “Tapi mungkin di masa dia,” kata Khairul sambil menunjuk putrinya yang masih berusia sekitar lima tahun itu.

Dan bila itu terjadi, maka berakhirlah kisah tentang pulau penanda itu. Dan para turis, nelayan, pun akan kehilangan penanda ketika mereka mencari jutaan ikan yang bersarang di dasar laut Penaah. (trisno aji putra/bersambung)

Berburu Ikan Sunuk ke Penaah
NELAYAN Kepri sudah hafal di luar kepala di mana letak Pulau Penaah. Adalah Ikan Kerapu Sunuk (Plectrophomus Leopardus) yang selalu membuat para nelayan itu rindu untuk mengarungi riak-riak gelombang di lepas pantai Penaah.

Tak semua nelayan memang bisa beruntung mengail Sunuk dari dasar laut Penaah. Tapi kalau nasib lagi berpihak, dua kilo Sunuk sudah membuat modal solar pompong mereka kembali.

“Di sini, biasanya nelayan mencari Ikan Sunuk,” kata Abang Azhari, Ketua RW 08 Pulau Penaah, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga. Sekilo Sunuk, menurut Azahari, harganya bisa menembus angka Rp 140 ribu. Artinya, bila sekali melaut dapat dua kilo saja, jumlah tersebut sudah cukup untuk membeli solar dan sedikit rezeki untuk diserahkan kepada istri di rumah. Karena Sunuk inilah, nelayan-nelayan dari Kijang, Kecamatan Bintan Timur yang jaraknya sekitar tujuh jam perjalanan laut pakai pompong sampai mau mengarungi gelombang menuju Penaah.

Sunuk sendiri adalah komoditas ekspor. Namun yang dicari pembeli yang kebanyakan dari Hongkong itu adalah Sunuk yang beratnya hanya berkisar empat sampai enam kilogram per ekornya. Kalau beratnya sudah sampai di atas satu kilogram, justru pembeli tak terlalu terpikat.

Di perarian lain di Kepri, sebenarnya ada juga Ikan Sunuk. Namun komunitasnya tak sebanyak di Penaah. Adalah kearifan lokal yang membuat Sunuk-Sunuk berharga ratusan ribu itu masih betah bertahan di Penaah.

Azhari maupun nelayan lain sudah hafal di luar kepala tentang adanya peraturan menangkap ikan yang tak tertulis di atas kertas. Saat musim angin selatan ada satu pulau yang bisa ditempuh sepuluh menit perjalanan laut dari Penaah. Pulau itu diberi nama Ceranggong. Namun penduduk setempat lebih senang mengganti huruf di depan nama pulau itu dengan “S’. Maka dalam lafal pengucapan orang Penaah, Ceranggong adalah Serangong.

Pulau itu hanyalah kumpulan batu karang kecil, yang luasnya tak sampai setengah hektar. Tak ada persediaan air bersih dan pemukiman di atasnya. Namun nelayan setempat mensakralkan pulau itu. Musim angin teduh, yakni musim selatan, tak dibenarkan seorang nelayanpun mendekat ke Ceranggong. Mereka harus mencari ikan ke laut lepas, sampai ke Laut Sayak, laut terjauh dari Penaah.

Cerenggong hanya boleh disentuh saat musim angin utara yang terkenal menyebabkan ombak setinggi sampai lebih dari empat meter. Saat itulah, nelayan boleh mendekat dan menangkap ikan di Ceranggong. Inilah kearifan tradisional yang diwariskan oleh datuk nenak moyang orang Penaah. Para pembuat nilai-nilai ini mengantisipasi, agar jangan sampai anak cucunya kelak tak bisa menangkap ikan saat ombak ganas. Maka dipilihlah sebuah pulau berkarang yang akan menjadi ekosistem laut menarik bagi para ikan.

Pancur, Hongkong Van Lingga
RATUSAN rumah berdiri menjajar di tepian Sungai Pancur. Aktivitas perdagangan bermula sejak pagi masih belum jadi, berlangsung hingga menjelang tengah malam di Pancur. Inilah kota, yang orang-orang Daek dengan bangga menggelarinya sebagai Hongkong-nya Lingga.

Pancur adalah jantung perekonomian di Pulau Lingga bagian utara. Denyut nadi ekonomi sudah berlangsung di sana sejak sebelum orang-orang republik mengibarkan bendera Merah-Putih dan memproklamirkan Indonesia. Dulu, aktivitas di Pancur berjaya seiring dengan kegiatan smokel. Mereka membawa barang dari Singapura sebelum didistribusikan ke berbagai kawasan terdekat, bahkan sampai Kuala Tungkal, Jambi. Dari Pancur, mereka membawa kayu, karet, sampai kopra ke Singapura.

Bermula dari sebuah rumah di satu sisi sungai, puluhan tahun kemudian, tak kurang dari 500 rumah sudah berdiri di sepanjang tepian sungai, baik di sisi kanan maupun di sisi kiri. Bangunan rumah-rumah papan itu terus memanjang ke laut. “Sebenarnya kalau masih bisa ditambah, pasti dibangun rumah lagi. Tapi dasar lautnya ada seperti ceruk. Jadi tak bisa dipancang tiang lagi,” kata seorang warga.

Dari rumah pertama di hulu sungai, sampai rumah terakhir yang berbatasan
langsung dengan laut, panjangnya tak kurang 600 meter. Selain karena dianggap mudah untuk menggerakkan aktivitas perekonomian, pembangunan rumah panggung di atas laut itu juga menjadi pilihan mengingat tepian laut langsung berbatasan dengan sebuah bukit terjal.

Camat Lingga Utara Rusli bercerita, pembangunan rumah di atas laut itu diawali dari aktivitas perekonomian. Kala itu, para nelayan kesulitan bila harus mengangkat hasil tangkapannya ke darat. Maka dibangunlah satu-dua buah rumah di atas laut. Namun lama kelamaan, rumah-rumah lain bermunculan. Apalagi Lingga sendiri dikenal sebagai daerah penghasil kayu di Kepri, sehingga mereka tak kesulitan untuk mencari bahan bangunan rumah papan tersebut.

Di antara rumah yang saling berhadap-hadapan itu mengalir air Sungai Pancur, yang sayangnya sudah mulai tercemar akibat perilaku membuang sampah tak pada tempatnya. Ada empat buah jembatan gantung di sepanjang sungai. Jembatan ini memperindah pemandangan menelusuri Sungai Pancur. “Orang menggelarinya Hongkongnya Lingga, karena memang mirip seperti di Hongkong,” lanjut Rusli.

Bila air sungai pancur jernih, mungkin bukan lagi orang menggelari Pancur sebagai Hongkong-nya Lingga, melainkan Venesia-nya Lingga. Keberanian orang-orang membangun rumah di atas laut itu tak lain karena ada beberapa pulau besar dan kacil di depan Pancur yang melindungi daerah ini dari terpaan angin Utara. Karenanya, dulu, banyak kapal dalam perjalanan dari Selat Melaka menuju Jawa lebih memilih singgah di Pancur untuk mengambil air bersih. Dermaga Pancur yang terlindung dari hantaman ombak besar adalah alasan utama para nakhoda kapal untuk singgah.

Di sisi kanan dan kiri sungai, rumah-rumah warga sekaligus difungsikan sebagai pusat pertokoan. Carilah apapun, semua ada di sana. Dari mulai baju baru sampai baju second, aneka sembako, sampai penginapan. Tarif penginapan di losmen-losmen kayu itu bervariasi, anatar Rp 30 ribu-Rp 14 ribu satu malam. Siapa pun yang ingin menikmati Hongkong tapi belum kesampaian, agaknya singgah di Pancur bisa sedikit mengobati keinginan itu. (trisno aji putra)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Mantap tulisannya....!