Senin, 04 Agustus 2008

Kijang, Dulu dan Sekarang (1)



Kota yang Berawal dari Penggalian Bouksit

KOTA Kijang dan bouksit adalah dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Cerita orang-orang tua di sana, Kijang hanya berawal dari pemukiman lima keluarga di Kampung Tun Tan, atau lebih dikenal dengan istilah Dapur Arang. Tapi kemudian, 1924, penjajah Belanda dengan semboyan gold, glory and gospel, mendaratkan ekpedisi pertama di daerah ini untuk mencari timah. Bagaimana ekspedisi itu kemudian menemukan “emas kuning”, kisah ini akan dituliskan secara bersambung.

MESIN tik tua buatan tahun 1970-an di ruang tamu rumah bercat kuning itu sudah mulai berdebu. Ada tumpukan kertas dan buku di sampingnya, yang juga tak kalah berdebu. Pemiliknya, Abdul Muin Husin (69) sesekali duduk di belakang mesin tik itu, sekedar membaca tumpukan buku, atau juga mengetik.

Muin, sapaan ayah dari enam anak dan kakek dari 19 cucu itu masih menyimpan semuanya. Ia tidak asli penduduk Kijang, tapi diingatannya, sejarah tentang kota yang kini menjadi pusat pemerintahan sementara Kabupaten Bintan itu tersimpan rapi. Kijang boleh saja terus berbenah, bahkan berlari kencang, dari sebuah kota kecamatan menjadi kota sedang dengan pabrik dan toko serba ada yang menghiasi sudut-sudutnya.

Tapi di mata Muin, Kijang tetaplah sebuah kota yang berawal dari sebuah tim ekpedisi Belanda untuk mencari timah di utara Pulau Bangka. Kisah itu semua bermula tahun 1920. Sebuah perusahaan Belanda yang mengeruk timah di Pulau Belitung, NV. GMB terus melakukan penelitian terhadap kemungkinan adanya kandungan biji timah di pulau-pulau yang berada di sebelah selatan Semenanjung Melaka. Dari berbagai kontak dengan penduduk setempat, termasuk di pulau Lingga, Singkep dan Karimun, diperoleh kabar positif. Karena itu penelitian pun dilakukan, termasuk sampai di Bintan.

“Tahun 1924 NV GMB mengirimkan tim ekpedisi,” tutur Muin, yang kini juga bergiat di Dewan Kesenian Kabupaten Bintan sebagai Ketua Bidang Seni dan Budaya. Pendaratan tim itu dilakukan di Kampung Tun Tan, yang masuk wilayah Sungai Enam Lama. Di kawasan ini selanjutnya berdiri tempat-tempat pembuatan arang dari kayu bakau yang diekspor ke Singapura. Karena itu kawasan ini kemudian dikenal dengan sebutan Dapur Arang.

Dalam penelitiannya tentang kandungan di perut bumi Bintan itu, tim menurut Muin menginap di rumah penduduk. Seorang penduduk, Amat S, cucu Lebai Idris, yang rumahnya juga ditumpangi pimpinan rombongan, akhirnya diajak bergabung dalam tim. Amat diajak bergabung karena diperlukan tenaganya sebagai penunjuk jalan. Dari Amat lah kemudian satu persatu sejarah itu terjadi.

Pertama sekali, Amat membawa rombongan menyeberang Sungai Kalang Tua dan menyusur jalan setapak menuju Sungai Kolak. Bunga Kolak yang tumbuh di sepanjang sungai akhirnya ditabalkan sebagai nama sungai itu oleh penduduk setempat. Sejak itu, kemudian kawasan di sekitar sungai itu pun dinamakan Sungai Kolak. “Itu sebelum diubah namanya menjadi Kijang,” kata Muin.

Setelah itu tim mendirikan barak-barak darurat di tepian sungai dan melakukan serangkaian penelitian topografi, pembuatan sumur uji, dan pengambilan sampel. Sample kemudian dikirim ke Belitung, yang waktu itu masih dilafalkan Billiton. Hasil penelitian di laboratorium NV GMB Billiton itulah yang akhirnya menyatakan bahwa kandungan perut bumi Bintan bukanlah timah, melainkan bouksit, yang jumlahnya mungkin bisa untuk membuat panci di dapur-dapur puluhan juta rumah di Eropa. (trisno aji putra/bersambung)

Tidak ada komentar: