Kamis, 04 September 2008

Luqmaan

AKU selalu merindukan telaga itu....

Telaga berair jernih yang kepadanya aku melihat ada sumur harapan. Saat senja dan fajar, aku selalu datang ke telaga itu, duduk di sampingnya, dan mendapatkan jawaban bahwa hidup ternyata tidak sekedar kebencian dan dendam, tapi cinta, kasih sayang, dan rasa saling berbagi. Bahwa kemudian hidup juga adalah persoalan bagaimana merawat harapan.

Setahun yang lalu, aku menemukan telaga itu. Ya, tepat pada hari ini, setahun yang lalu, 4 September 2007, telaga itu hadir di rumah kecil yang kami tumpangi di Jalan Nila.

Telaga itu kemudian menjadi warna hidup kami, hidup aku dan istriku, Dee. Aku masih ingat, bagaimana setahun yang lalu, air di telaga kecil itu mengalir dalam kehidupan kami. Sebenarnya Dee harus berjuang ekstra ketat. Butuh berhari ia melewati bukaan satu sampai bukaan sembilan, untuk menunggu telaga kecil itu keluar dari rahimnya.

Aku, seperti suami kebanyakan, meski harap-harap cemas, tetap masih terus mengepulkan asap tembakau dari mulutku. Malam itu aku dan Dee menumpang di rumah Jalan Sukarno-Hatta. Sejak mau terlelap, aku tidak mendapat firasat apapun. Karena firasat itu sebenarnya sudah muncul beberapa hari sebelumnya.

Pukul 02.00 WIB dinihari, Dee membangunkanku, memintaku mengantar ke Klinik Pamedan, berjarak sekitar dua kilometer dari tempat kami. Hujan waktu itu rintik-rintik. Kami keluar rumah, dengan mantel. Wajah Dee sudah teramat pucat. Sebuah kamar di lantai dua kami tempati di Klinik yang jarang sepi itu. Malam itu, seorang ibu muda berteriak sekeras-kerasnya. Nyali aku jadi ciut mendengar. Ia akhirnya melahirkan anak pertamanya.

Dee terus gelisah. Semua orang berusaha menenangkannya. Aku juga gelisah. Aku keluar, melihat fajar di ufuk timur, dan kembali menghidupkan rokok entah batang yang keberapa. Pagi itu sepi, dan aku tahu, hati ku pun tengah ciut.

Dua orang perawat berpakaian putih terus mengecek kondisi Dee. Mereka terpaksa memasang oksigen, alat bantu pernafasan, karena fisik Dee teramat lemah saat itu. Kami berdua sejak awal memang menolak untuk menjalani cesar. Meski orang di sekeliling kami akhirnya sudah memberi lampu hijau agar Dee menjalani Cesar, tetap saja kami menolak. Mungkin kami adalah orangtua yang berpikiran agak kolot. Tapi kami hanya ingin memastikan bahwa bayi di rahim istriku itu harus mendapatkan yang terbaik.

Pukul 08.10 WIB, dokter spesialis keluar dari ruangannya dengan keringat jagung di dahinya. Aku tidak sempat menghitung berapa banyak butiran keringat jagung itu, tapi aku yakin, kalau hanya sepuluh butir, pasti lebih. Ia tersenyum padaku, senyum yang penuh beban kelelahan. Aku pun tersenyum. Aku sudah tahu apa yang terjadi, sebab melalui sela di pintu kamar bersalin, aku terus mengintip apa yang terjadi di ruangan yang dipenuhi oleh sekian banyak alat medis yang aku tak tahu namanya satu persatu itu.

"Alhamdulillah, Pak. Sudah lahir. Empat lilitan," kata dokter, seraya menunjukkan empat jarinya ke arahku. Aku agak tercekat. Luar biasa, mungkin apa yang membuat ia lambat lahir, satu di antaranya karena ada empat lilitan tali pusar kepada janin kecil itu. Istriku dulu dilahirkan dengan dua lilitan. Aku sama sekali tak terlilit. eh, anakku ini malah empat lilitan, luar biasa.

Ia menangis juga tersenyum, tangisan dan senyuman pertamanya untuk dunia yang, kata lagu-lagu dangdut, teramat kejam ini.

Aku melantunkan adzan dan iqomah. Aku bersudjud syukur, tapi tak berani aku menggendongnya. Lama aku pandangi dia. Kata orang waktu lahir, ia mirip sepertiku. Tapi kemudian orang yang sama meralat lagi ucapannya, bahwa setelah berusia beberapa bulan, ia lebih mirip ibunya. Entahlah, aku pun bingung juga.

Esoknya, aku membawa Dee dan bayi kecil itu pulang. Ia tidur, lama sekali. Aku hanya melihatnya dari jauh. Kalau pun bangun, ia akan menangis. Waktu berjalan cepat. ia sudah bisa merangkak. Setiap pagi, ia membangunkanku untuk sholat. Ia membangunkan dengan caranya sendiri, yakni naik ke atas tubuhku dan memukul sesuka hatinya. Kebiasaan buruk bangun siangku pun mulai terkikis.

Aku selalu pulang malam. Kadang ia sudah tertidur. Lalu kucuri waktu untuk pulang sebentar siang hari. Aku pandangi matanya. Ada telaga di sana. Ada telaga berair jernih. Aku temukan kehidupan di sana. Dan juga aku temukan banyak jawaban dari sejuta pertanyaanku akan hidup. Setiap datang ke sana, aku menemukan kesejukan. Maka aku pun datang mengunjungi telaga itu, dan menciduk ketentraman di sana.


Telaga itu aku beri nama: Luqmaan...


Selamat ulang tahun yang pertama, Nak....

Tidak ada komentar: