Kamis, 22 Mei 2008

Pendaratan di Tanjunglelan…

MEREKA adalah orang-orang yang dicintai oleh laut. Orang biasa mungkin harus sampai muntah kuning saat mengarungi laut sejauh 1300 mil mengitari gugus-gugus pulau di Kepri. Tapi mereka, para awak kapal navigasi itu, justru mengisi waktu senggang di perjalanan dengan memancing, main catur, juga main domino. Inilah kisah perjalanan menempuh gelombang Laut Cina Selatan bersama Kapal Negara (KN) Adhara.

MATAHARI masih tepat di atas kepala ketika KN Adhara mulai mendekati Tanjunglelan, sebuah daratan yang menjorok ke laut di selatan Pulau Jemaja, Kabupaten Natuna. Ombak berada pada ketinggian dua sampai tiga meter terus menghantam badan kapal. Sementara air laut jernih yang berada di bawah menunjukkan gugusan karang laut dengan aneka warna.

Tak ada pilihan lain saat itu bagi para staf Distrik Navigasi Tanjungpinang, kecuali harus segera menurunkan pompong. Tak ada dermaga tempat bersandar kapal di Tanjunglelang. Jarak 200 meter, KN Adhara harus lego jangkar.

“Oke, kita turun,” kata Herman Pattiasina, pimpinan rombongan. Sehari-hari ia menjabat sebagai Kepala Seksi (Kasi) Operasional Sarana dan Prasarana di Kantor Distrik Navigasi Tanjungpinang. Tapi dalam perjalanan itu, lelaki yang akrab dipanggil “Kep” (kependekan dari captain, atau kapten) oleh para anak buah kapal (ABK) itu berperan sebagai pimpinan rombongan.

Pompong bercat merah dengan panjang empat meter itu pun diturunkan dari geladak KN Adhara. Satu persatu kami melompat. Laut yang terus bergelora membuat hati tak nyaman. Pompong tak bisa merapat ke badan KN Adhara karena terus menerus dipukul gelombang.

Setelah lima pegawai Distrik Navigasi berturut-turut melompat ke pompong, kapal kayu itu pun mulai bergerak pelan menunggangi gelombang menuju pasir pantai Tanjunglelang. Berkali-kali Herman yang duduk di bagian belakang pompong meminta Polala, seorang stafnya yang berdiri di depan untuk melihat karang di dasar laut. “Kalau mesin pompong ini menabrak karang, celaka kita. Sulit kembali ke kapal lagi,” kata Herman.

Perjalanan sekitar 200 meter itu terpaksa ditempuh selama 15 menit. Berkali-kali pompong berbelok, bergerak lincah di antara gelombang, menghindari karang. Setelah tamparan gelombang yang kesekian, akhirnya kaki-kaki kami berhasil menginjak pasir putih Tanjunglelan. Tak ada kehidupan di tanjung itu. Hanya ada tebing, keheningan, dan dua buah gubuk yang sudah bocor. Dulu mungkin ada penduduk Jemaja yang sempat berkebun di tempat itu.

Di ketinggian sekitar 200 meter dari tebing, ada sebuah rambu suar yang dipasang oleh Navigasi. Rambu ini menjadi penunjuk arah sekaligus penanda pada nakhoda kapal yang mengarungi Laut Cina Selatan di malam hari. Total, untuk wilayah Kepri, terdapat 112 tanda suar. 57 unit di antaranya adalah rambu suar. Sedangkan 24 unit lainnya adalah menara suar, dan 31 unit lagi berbentuk pelampung suar. Berbeda dengan menara suar, rambu suar sama sekali tidak memiliki penjaga.

Pendaratan di Tanjunglelang dengan tingkat kesulitan seperti itu ternyata menjadi santapan rutin awak Distrik Navigasi Tanjungpinang. Setiap tahun, dua kali mereka harus singgah di tempat tersebut. “Tingkat kesulitannya baru 10 persen saja,” kata Herman. Ada lagi yang lebih sulit, yakni pendaratan menuju Menara Suar di Tanjungsekatung, sebuah pulau terluar RI yang masih masuk wilayah Natuna. Di tempat itu, bahkan kapal kadang tidak bisa merapat. “Kami terpaksa mengirimkan suplai makanan dengan melemparnya ke laut. Makanan kami ikat dengan tali. Setelah itu kita berenang menuju pantai,” lanjut Herman yang 20 tahun dari 46 tahun usianya dihabiskan di laut itu. (trisno aji putra/bersambung)

Selasa, 20 Mei 2008

Cara Laut Berkenalan...

Terhitung baru tiga jam kami berada di atas geladak KN Adhara, satu dari dua unit kapal milik Distrik Navigasi Tanjungpinang. Laju kapal masih di bawah kecepatan sembilan knot. Semua terasa biasa-biasa saja saat kami melintasi perairan Selat Kijang.
Tapi lepas tiga jam pertama perjalanan yang dimulai lepas adzan maghrib Kamis (15/5) pekan lalu itu, tiba-tiba keadaan berubah tak nyaman. Pulau Merapas, yang menjadi pulau terakhir sebelum KN Adhara mengarungi gelombang Laut Cina Selatan menuju Pulau Jemaja, Natuna, sekaligus menjadi penanda tak bersahabatnya laut di pertengahan Mei itu.
Gelombang di musim angin selatan memang masih di bawah ketinggian tiga meter. Tapi alur yang membuat kapal besi itu menjadi tak nyaman dinaiki. Gelombang yang menghantam haluan membuat kapal terus menerus oleng, bergoyang-goyang tanpa henti, seperti ayunan yang tak pernah berhenti bergerak.
Maka kemudian, 19 dari 20 jam perjalanan menuju Jemaja itu pun harus kami lalui dengan berbaring, menghindari mabuk laut. Ah, laut kadang punya caranya sendiri untuk berkenalan dengan manusia.....

Senin, 19 Mei 2008

Perjalanan ke Timur Laut (2)

Cukong dari Singapura Buru Barang Antik

JEMAJA ternyata cukup digambarkan dengan tiga kata saja: barak-barak bekas pengungsi Vietnam, sendratari gubang, dan tumpukan harta karun yang tertimbun di pasir putih Pantai Melang. Selebihnnya, Jemaja tak ubahnya seperti gugus pulau-pulau yang dulu dikenal dengan sebutan Pulau Tujuh: perkampungan nelayan di tepi pantai, pelaut-pelaut tangguh, dan ombak yang menggulung sampai lima meter di musim angin utara.


Karena tiga kata itulah nama Jemaja pun mengglobal ke seantero Asia Tenggara. Bagi orang-orang di Vietnam, Jemaja adalah kenangan masa lalu mereka. Kala itu, pendulum waktu masih bergerak di angka sekitar tahun 1975. Ribuan, bahkan puluhan ribu orang-orang Vietnam yang tidak sepakat dengan rezim yang berkuasa nekat kabur lewat jalur laut dari negeri itu.

Mereka menuju negeri di selatan, Australia. Dari kabar yang mereka terima samar-samar, hidup di Australia lebih bebas. Naik perahu kayu, mereka pun menuju negeri di selatan. Tapi negeri yang dituju itu teramat jauh. Sementara daratan pertama yang mereka temui dalam perjalanan itu adalah Jemaja. Banyak pelarian Vietnam saat itu berpikir untuk menetap di Jemaja saja, karena mereka menganggap yang penting sudah lepas dulu dari cengkeraman rezim yang berkuasa.

Dari satu perahu, kemudian diikuti perahu lain, hingga jumlah pastinya semakin tak terdata. Dari satu keluarga, kemudian Jemaja dihuni sampai ribuan keluarga Vietnam. “Jumlah mereka lebih banyak dari pada jumlah penduduk Jemaja sendiri,” kata Thamrin, seorang warga Jemaja.

Kondisi kehidupan di Jemaja zaman pelarian Vietnam itu masih lekat dalam ingatan Thamrin. Namun seiring bergurlirnya waktu, pengungsi itu setelah dibawa ke Pulau Galang, kemudian dikembalikan ke negaranya. Kini tak ada yang tersisa, kecuali puing-puing barak. Tapi Thamrin masih menyimpan peninggalan yang tersisa dari pelarian Vietnam itu. “Beberapa masyarakat Jemaja sampai kini masih bisa berbahasa Vietnam,” kata lelaki yang sehari-hari bekerja membuka bengkel di Letung ini.

Sewaktu Vietnam masih ramai di Jemaja, Thamrin melihat peluang ekonomi. Sehari-hari ia berjualan makanan keliling barak. Ia pun melakukan kontak dan belajar bahasa mereka. Zaman itu, orang-orang Jemaja ada yang kaya mendadak. Sebab, saking mungkin sudah sangat kelaparan, ada orang Vietnam yang rela menukarkan seuntai kalung emas dengan sebungkus nasi.

Keramik Dinasti Song

Kisah tentang pelarian Vietnam itu melengkapi satu lagi daya pikat Jemaja di mata orang-orang di Asia Tenggara. Bagi orang di Malaysia maupun Singapura, Jemaja mereka kenal sebagai surga barang antik. Cukong-cukong benda-benda antik dari kedua negeri jiran itu kerap mendatangi pulau yang terpisah sekitar 20 jam perjalanan laut naik kapal besi dari Tanjungpinang ini.

Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kecamatan Jemaja Andrin Ali Muhammad adalah seorang saksi dari bagaimana kegigihan para pemburu harta karun itu di Jemaja. Tersebutlah sebuah pantai di utara Jemaja. Orang-orang memberikan nama pantai yang sejauh mata memandang hanya hamparan pasir putih itu dengan sebutan Pantai Melang. Kini pantai itu menjadi objek wisata bagi orang Letung, karena hanya 15 menit jarak tempuhnya dari kota kecamatan itu.

Pantai itu kini memang hanya tempat rekreasi. Tapi sampai sekitar tahun 1960-an, pantai itu dikenal sebagai tempat penemuan keramik-keramik kuno. Banyak penggalian yang dilakukan di sana. Dari beberapa keramik yang pernah ditemukan Andrin, di antaranya ada yang menunjukkan bahwa benda-benda bernilai jual tinggi itu ada yang dibuat pada zaman Dinasti Ming, yang diperkirakan berkuasa di Cina sekitar periode tahun 1368-1644. “Tapi ada juga pernah saya temukan keramik yang berasal dari zaman Dinasti Song,” kata Andrin lagi.

Kalau lah benar demikian adanya, maka usia keramik yang ditemukan di Pantai Melang itu sudah cukup tua. Sebab berdasarkan catatan sejarah, Dinasti Song sendiri berkuasa sekitar tahun 960-1268. Berapa banyak keramik yang tersimpan di dasar pasir Pantai Melang, belum ada yang menghitung. Tapi, Serain, seorang warga Letung memberikan ilustrasi. Di zaman ketika ia masih bersekolah SMP, sekitar akhir dekade 1960-an, ia sering mengunjungi Pantai Melang. “Kalau kita menginjakkan kaki di pasir, seperti ada suara gema. Artinya di sepanjang pasir pantai itulah terkubur keramik-keramik tua itu,” kata Serain.

Tak hanya keramik tua saja yang tersimpan di Pantai Melang. “Juga ada emas batangan, mahkota dan lainnya,” kata Serain. Penduduk setempat pernah menemukan itu. Diperkirakan, emas batangan ini adalah simpanan para bajak laut yang zaman dulu kerap melintas perairan lepas pantai Jemaja.

Dari mana keramik itu bersumber? Andrin memperkirakan, keramik itu berasal dari kapal-kapal yang karam di sekitar lepas pantai Jemaja. Pantai Melang yang menghadap ke utara, persis berada di jalur pelayaran internasional yang menghubungkan Cina di utara dengan Jawa di selatan.

Lantas bagaimana perburuan benda-benda antik itu? Andrin berkisah bahwa ia beberapa kali didatangi tamu asing yang tak dikenal. Di antaranya ada yang mengaku dari Jakarta, Singapura maupun Malaysia. Pernah ada seorang cukong benda antik dari Singapura yang mau membeli keramik kuno berbentuk vas bunga setinggi 30 sentimeter dengan harga 60 ribu dolar Singapura (atau Rp 390 juta dengan kurs Rp 6.500 per dolarnya).

Itulah Jemaja, pulau yang masuk dalam gugusan Pulau Tujuh. Banyak kisah tua yang pernah berlangsung di sana. Namun setelah semua kisah itu berlalu, ekonomi Jemaja ternyata masih bergerak pelan. Orang-orang Jemaja kini tengah sibuk berbicara tentang pembentukan Kabupaten Anambas, dari pada mengingat pelarian Vietnam maupun benda-benda kuno. (trisno aji putra)

Perjalanan ke Timur Laut (1)

Letung, Saksi Bisu Kepunahan Bahasa Jemaja

SEMUA itu sudah samar dalam ingatan Serain (49). Hanya beberapa kosakata yang masih diingatnya, itu pun warisan cerita ibunya dulu. Orang-orang Letung itu kini adalah saksi bisu punahnya Bahasa Jemaja, sebuah bahasa yang pernah menjadi alat komunikasi di pulau yang masuk dalam wilayah Kabupaten Natuna itu.

HAMPIR malam di Letung, ketika Kapal Negara (KN) Adhara yang kami tumpangi merapat di dermaga. Orang-orang Letung sudah menunggu di tepian, membawa sepeda motor. Mereka mengantarkan kami satu persatu ke perkampungan penduduk yang memanjang sekitar beberapa kilometer di tepian pantai.

Di Letung, orang masih belum menjadikan uang sebagai falsafah hidup tertinggi. Kami dijemput sepeda motor dan diantar sampai tujuan dengan gratis. Bahkan seorang tokoh pemuda setempat, Zulfahmi, tak keberatan mengantar kami sampai ke rumah Andrin Ali Muhammad (58), Ketua Lembaga Adat Melayu Kecamatan Jemaja, Kabupaten Natuna.

Setumpuk data sudah ada di meja Andrin sewaktu kami datang. Lelaki bertubuh gempal itu membangun rumah di pelantar, menjorok ke laut. Angin sore, senja yang mulai turun di barat Jemaja, serta sebuah keakraban menemani pembicaraan kami.

Andrin adalah seorang pencari. Puluhan tahun dari hidupnya dihabiskan untuk melihat, mendengar dan mencatat. Di balik rambutnya yang sudah memutih itu, tersimpan ratusan, bahkan ribuan data tentang Jemaja, tanah kelahirannya. Ia berkeliling seluruh Jemaja, berbicara dengan ribuan orang, dan mencatat begitu banyak peristiwa yang nyaris terlupakan.

Orang-orang yang terlahir dalam zaman Pentium IV kini mengalami masalah ingatan. Banyak kearifan lokal yang sudah mulai terlupakan karena ketidaksediaan untuk mengingat itu. Satu di antara catatannya tentang masalah kealpaan itu juga terjadi di Pulau Jemaja. Sampai sekitar tiga generasi lalu, di pesisir timur Jemaja, orang-orang Jemaja masih punya bahasa sendiri, yang berbeda dengan bahasa Melayu yang mereka gunakan kini.

Namun kini, mungkin hanya Andrin, Serain, dan segelintir orang tua di Jemaja yang masih ingat tentang bahasa itu. Itu pun hanya beberapa kosakata saja. Tapi mereka pun sudah tak mampu lagi merangkai kata itu menjadi kalimat. Maka bahasa Jemaja pun punah bersama kealpaan ingatan itu.

“Bahasa ini diucapkan oleh orang-orang di Jemaja Timur. Tepatnya di David,” kata Andrin. David yang dimaksud oleh Andrin bukanlah nama tokoh cerita rakyat Timur Tengah yang berhasil mengalahkan Goliath. David adalah nama perkampungan, yang karena pemekaran kecamatan, kemudian dijadikan sebagai ibukota Kecamatan Jemaja Timur.

Tercatat, memang kampung-kampung tua di Jemaja awalnya berada di Jemaja Timur, di daerah sekitar Ulu Maras. Kampung tertua di pulau yang kini berpenduduk sekitar sepuluh ribu jiwa itu adalah Kampung Ulu Maras. Namun dalam perkembangannya kemudian, persebaran penduduk justru lebih mengarah ke Letung, yang berada di pesisir. Kini Letung menjadi bandar kecamatan teramai di Kecamatan Jemaja.

Tak Berbekas

KAMI berusaha melakukan penelusuran untuk menggali sisa-sisa bahasa Jemaja yang mungkin sudah punah itu. Sepanjang jalan, kami mencari anak-anak muda yang berasal dari Jemaja Timur. Tapi tak satu pun dari mereka mengerti bahwa sempat tumbuh sebuah bahasa yang kini punah di tanah kelahiran mereka itu. Hampir semua dari mereka hanya menggeleng ketika kami tanyakan tentang bahasa Jemaja.

Andrin sendiri tak banyak mencatat kosakata bahasa Jemaja tersebut. Namun menurutnya, bahasa itu sekilas kedengaran seperti menyingkat kalimat bahasa Melayu. Seperti misalnya untuk menyebutkan kalimat, “mau ke mana?”, orang-orang Jemaja tempo dulu hanya mengucapkan, “nak kemar?”. Atau misalnya untuk kalimat membenarkan sebuah pernyataan seperti, “iya juga.” Orang-orang Jemaja dulu mengucapkannya hanya, “iye ga.”

Pencarian itu akhirnya mempertemukan kami dengan Serain. Lelaki asli Letung yang kini bekerja di Kantor Navigasi Kelas I Tanjungpinang itu sebenarnya adalah teman seperjalanan di KN Adhara. Di sepanjang jalan, Serain banyak bercerita tentang kampungnya. Dari mulai eksotisme Pantai Melang, kehidupan pengungsi Vietnam di Jemaja, sampai keramik-keramik kuno peninggalan zaman dinasti-dinasti kerajaan Tiongkok dulu. Tapi tak satu pun cerita itu mengarah pada bahasa yang telah punah itu.

“Saya tak tahu banyak. Hanya cerita ibu saya, dulu memang ada bahasa itu,” kata Serain, sewaktu kami mengobrol di buritan kapal, dalam perjalanan pulang ke Tanjungpinang. Di antara kosakata bahasa itu yang masih diingat Serain adalah seperti man sebagai pengganti penyebutan orang pertama, saya. Atau misalnya kata camce untuk menyebut sendok, belek untuk menyebut botol, dan kehawe untuk menyebut kopi.

Satu kosakata lagi yang masih diingat oleh Serain adalah penyebutan tentang waktu. Bahasa Jemaja itu hanya mengenal penyebutan masa lampau sebetas tiga hari yang lalu saja. “Mereka bilang tiga hari lalu itu dengan kata marenti,” kata Serain. Lebih dari itu, Serain sudah tak ingat lagi kosakatanya.

Masuknya Pengaruh Luar

PARA ahli linguistik memperkirakan bahwa dalam setahun, ada sekitar sepuluh bahasa di dunia ini yang punah. Kepunahan sebuah bahasa itu karena tidak didukung jumlah masyarakat pengucapnya. Jika memang pandangan ini benar, maka bisa jadi Bahasa Jemaja adalah satu dari sepuluh bahasa yang punah setiap tahunnya itu.

Baik Andrin maupun Serain sependapat bahwa faktor utama kepunahan Bahasa Jemaja itu karena semakin kuat masuknya pengaruh luar. Sejak ditemukannya mesin uap oleh James Watt, pulau-pulau terpencil berhasil dijelajahi manusia. Termasuk Pulau Jemaja. Kontak dengan dunia luar pun terjadi, yang menyebabkan masuknya budaya luar. “Sekarang banyak anak-anak sini yang merantau ke luar, dan orang luar pun banyak datang kemari,” kata Serain.

Namun, seorang kawan di Tanjungpinang punya pendapat lain tentang punahnya bahasa Jemaja itu. “Saya menduga bahwa itu hanya merupakan dialek dari bahasa Melayu saja. Artinya bukan bahasa yang berbeda dengan bahasa Melayu,” kata Ari Sastra, jebolan Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang.

Faktor iklim, geografis, sosial budaya adalah sejumlah penyebab terjadinya perubahan dialek dalam sebuah bahasa. “Buktinya, orang-orang Letung saja masih paham dengan arti kalimat mereka,” kata Ari lagi. (trisno aji putra/bersambung)

Sabtu, 17 Mei 2008

Di Tanjunglelan, Natuna....



Tak ada kehidupan, hanya ombak, tebing, pasir putih, dan terik matahari....Waktu seperti berhenti di sini....Kawan-kawan, nanti akan kutuliskan kisah perjalanan ke Timur Laut ini dalam blog ini.....Sepanjang jalan, aku hanya memungut gelombang.....

Perjalanan ke Timur Laut



KAKI-kaki rapuh kami akhirnya bisa melangkah di atas pasir Tanjunglelan, Pulau Jemaja...tak ada kehidupan, kecuali panas yang menyengat, juga ombak yang masih sekitar tiga meter. Angin selatan memukul pantai, dan kami pun melanjutkan perjalanan terus ke timur laut...

Minggu, 11 Mei 2008

Perjalanan ke Selatan

PULAU Penaah adalah tempat persinggahan para bule yang berkonvoi naik yacht dalam perjalanan mereka dari Singapura menuju Bali. Inilah pulau yang menjadi surga bagi nelayan. Jutaan ikan di sana membuat para pemancing dari berbagai penjuru jagat yang datang seperti mengail ikan di dalam kolam.

ORANG-orang Penaah sudah kumpul di tepi lapangan sepakbola ketika kami sampai. Mereka duduk, jongkok, duduk, berdiri, lalu duduk lagi. Jumlah mereka seratusan orang. Sudah berjam-jam mereka menunggu di pinggir lapangan. Bukan laga sepakbola antar kampung yang mereka tunggu. Tapi sebuah helikopter yang ditumpangi oleh Gubernur Kepri Ismeth Abdullah yang mereka tunggu.

“Kami belum pernah lihat helikopter,” kata seorang warga di tepi lapangan. Dan sekitar pukul 16.00 WIB, sebuah helikopter berwarna biru langit milik TNI AL meraung-raung di atas langit Penaah. Sebagian warga yang sudah menjauh untuk berteduh di pohon kontan berhamburan. Bocah-bocah kesil terselip di antara mereka yang berhamburan mendekat itu.

Bagi mereka, helikopter kemudian benda ajaib tercanggih yang pernah singgah di pulau dengan penduduk sekitar 371 orang. Begitu Ismeth turun para bocah berdiri di tepi jalan semen seluas satu setengah meter yang menghubungkan lapangan sepakbola dengan panggung tempat pembukaan acara Lingga Fishing Festival (LFF) 2008. Tapi baru beberapa detik Ismeth berlalu melewati jalan semen itu, para bocah kembali berhamburan, menuju lapangan bola, menjauhi panggung. Mereka mengelilingi helikopter dan memandangnya sampai berjam-jam. Gadis-gadis kampung yang sudah punya ponsel kamera asyik berpose dengan latar belakang benda ajaib yang punya baling-baling itu. Sementara pemuda kampung, dengan santai baring-baring di bawah pohon di tepi lapangan, sambil terus menatap helikopter itu.

Rupanya, persiapan penyambutan helikopter itu sudah dilakukan sejak sekitar satu bulan lalu. Warga kampung dengan sukarela membersihkan lapangan. “Kami juga tadi pagi tabur beras kencur di lapangan,” kata seorang warga lainnya. Mereka khawatir, helikopter canggih itu akan diganggu oleh makhluk halus yang terkenal ada di sekitar pulau yang luas kelilingnya hanya sekitar 1,3 kilometer itu.
Tapi jerih payah sebulan penuh itu terpuaskan sore itu. Benda yang hanya pernah mereka saksikan di film-film action Hollywood, sore itu singgah di kampung mereka juga. Hampir petang, helikopter itu terbang kembali meninggalkan kampung mereka dengan diiringi lambaian tangan bocah-bocah kampung.

Tapi lepas dari persoalan helikopter, sore itu, bocah-bocah kampung juga punya “mainan” baru, memelototi empat bule yang datang untuk ikut lomba mancing. Hasrat hati ingin mendekat, tapi di SD di kampung mereka itu, Bahasa Inggris belum diajarkan.

Alain, bule asal Prancis yang sudah setengah tahun menetap di Batam dan bekerja untuk PBB mengaku cukup terhibur dengan keramahan kampung dan keindahan Penaah. Ia mengaku hobi naik sepeda gunung. Tapi begitu seorang rekannya mengajak untuk ke Penaah ikut lomba memancing, Alain tak menolak. Maka Jumat (2/5) kemarin, ia pun menjadi satu dari sekitar 350 peserta lomba mancing. Selain Alain, ada tiga bule lainnya, sahabat Alain, yang ikut lomba yang diadakan tiap tahun itu.

Ketika acara pembukaan sedang berlangsung, Alain yang sudah terbiasa menghadapi forum seremonial, justru meluangkan waktu untuk berkeliling Penaah. “Saya tak pernah melihat pulau seindah ini di Prancis. Di sana ada pulau, tapi tak ada pohon kelapanya,” kata lelaki yang fasih bercerita soal Zinedine Zidane, bintang sepakbola legendaris asal Prancis yang sudah gantung sepatu itu. Karena itu, memancing sebenarnya bukan tujuan Alain. “Saya tak ada persiapan. Dan saya tak punya ambisi juara,” lanjutnya.

Sebenarnya Alain bukan bule pertama yang singgah di Penaah. September hingga Oktober adalah musim kunjungan para bule ke pulau yang terletak di ujung Selatan gugus kepulauan Senayang ini. Letak Penaah yang ada di persimpangan jalur yang menghubungkan Laut Bankga dengan Laut China Selatan itu menjadikan tempat ini pilihan singgah bagi para petualang laut dari berbagai sudut kolong jagat itu untuk singgah mengambil perbekalan air bersih. Mereka biasanya labuh jangka di Selat Kongki, sebuah laut sempt yang diapit oleh Pulau Kongki Besar dan Kongki Kecil. Ujung dari selat itu adalah Pulau Penaah.

Tapi tak sekedar mengambil perbekalan air bersih saja. Para bule itu sudah memasukkan dalam agenda perjalanan mereka nama Penaah. Pulau ini, selain menawarkan pantai pasir putih, sekaligus menyimpan terumbu karang indah di dasar lautnya. Para pengebom ikan yang pernah mencoba datang diusir oleh nelayan Penaah. Sehingga, sejak dulu, terumbu karang aneka warna dan jenis itu masih tersimpan rapi di dasar laut.

“Kedatangan mereka biasanya untuk menyelam,” kata Abang Azhari, Ketua RW 08 Pulau Penaah. September datang, rombongan konvoi yacht yang digunakan bule-bule itu jumlahnya sampai belasan, yang mengangkut puluhan penumpang. Tapi, mereka jarang singgah ke Penaah. Sesekali saja bila mereka ingin menikmati pulau kecil itu, mereka menjejakkan kaki di pasir putih pantai Penaah.

Penaah Terancam Tenggelam

PULAU Penaah adalah penanda, bahwa di gugus kepulauan Senayang, Kabupaten Lingga, ikan belum menjadi barang langka. Lautnya masih terjaga dari pengeboman liar, namun ada ancaman, pulau itu suatu saat akan tenggelam akibat abrasi dan pemanasan global global warming).

SEPANJANG mata memandang, hanyalah hamparan warna biru lautan yang berkilauan terpantul sinar matahari sore. Pulau Penaah seperti titik noktah kecil di atas hamparan biru lautan yang sesekali beriak.
Di ujung sana, anak-anak nelayan berlarian di pasir putih pantai. Satu dua canda tawa mereka masih terdengar dari ujung selatan, dekat lapangan sepakbola di tengah pulau.

Luas pulau itu hanya sekitar 1,3 kilometer apabila dikelilingi. Garis tengah pulau yang berbentuk lingkaran tak sempurna itu hanya 600 meter, dari ujung ke ujung. Rumah-rumah penduduk hanya di sisi sebelah barat, tepatnya memanjang dari barat laut sampai barat daya pulau. Pemukiman berakhir di pantai pasir putih di ujung utaranya. Pada sisi timur pulau yang ditumbuhi kelapa tak sampai seratusan batang ini, tak ada rumah, melainkan semak belukar.

Kini penduduk Penaah adalah generasi yang ketiga. Sejarah kehidupan di pulau itu berawal sewaktu Abang Akil datang ke pulau itu lebih dari 150 tahun lalu untuk membuka kebun kelapa. Abang Akil adalah warga Daek, Kabupaten Lingga. Kini, generasi ketiga dari keturunan Abang Akil, Abang Azhari dipilih menjadi Ketua RW 08. Tingkat birokrasi tertinggi di pulau berpenduduk 115 kepala keluarga (KK) tersebut hanyalah RW. Di bawah RW, ada dua RT. Adminstratif pulau ini masuk dalam wilayah Kelurahan Senayang, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga.

Kini setelah lebih dari 150 tahun pulau di ujung selatan gugus kepulauan Senayang itu ditempati, ada ancaman yang tengah mengintip. Di sisi selatan pulau terjadi abrasi terus menerus sepanjang tahun. Dulu, jalan semen dengan lebar sekitar satu setengah meter dibangun mengelilingi pulau. Pengunjung yang datang pun bisa menikmati keindahan seluruh pulau dengan berjalan kaki melewati jalan semen tadi.

Tapi itu cerita lima tahun lalu. Sejak tiga tahun terakhir, terjadi abrasi terus menerus, memanjang dari sisi timur laut sampai tenggara pulau. Tak ada jalan semen yang tersisa lagi, melainkan batu-batu karang.

Abang Azhari, Ketua RW 08 Pulau Penaah berujar, jalan itu hancur sekitar tiga tahun lalu. Pendapat Abang Azhari ini diperkuat oleh Khairul, seorang warga. “Dulu pulau ini luas. Kalau ada anak kecil nangis di perkampungan, kita tak bisa mendengarnya. Tapi sekarang, kalau kita berada di selatan pulau, atau di tenggara kita bisa dengar suara anak kecil nangis,” kata Khairul, mendeskripsikan bagaimana pulau itu dalam benaknya terasa semakin menciut.

Penyebab abrasi yang semakin berkepanjangan itu tak lain tamparan angin selatan. Kalau angin utara datang, meski terkenal kencang berhembus dari arah Laut China Selatan, tak terlalu berpengaruh. Ujung utara pulau ini dilindungi oleh dua pulau yang ukurannya lebih besar, yakni Pulau Kongki Besar dan Kongki Kecil. Meski secara ukuran kedua pulau lebih besar sampai empat hingga lima kali lipat Penaah, tetapi tak tampak satu pun pemukiman warga.

Sementara, bila arah angin berbalik, yakni bertiup dari selatan, sama sekali Penaah tak terlindungi. Tamparan ombak ganas Laut Bangka langsung menyentuh pantai di sisi selatan dan tenggara Penaah. Karenanya, abrasi terus menerus pun terjadi.

Khairul pun punya firasat tak baik. Kalau tenggelam dalam waktu dekat, menurut lelaki itu masih sulit dicerna akal sehat. “Tapi mungkin di masa dia,” kata Khairul sambil menunjuk putrinya yang masih berusia sekitar lima tahun itu.

Dan bila itu terjadi, maka berakhirlah kisah tentang pulau penanda itu. Dan para turis, nelayan, pun akan kehilangan penanda ketika mereka mencari jutaan ikan yang bersarang di dasar laut Penaah. (trisno aji putra/bersambung)

Berburu Ikan Sunuk ke Penaah
NELAYAN Kepri sudah hafal di luar kepala di mana letak Pulau Penaah. Adalah Ikan Kerapu Sunuk (Plectrophomus Leopardus) yang selalu membuat para nelayan itu rindu untuk mengarungi riak-riak gelombang di lepas pantai Penaah.

Tak semua nelayan memang bisa beruntung mengail Sunuk dari dasar laut Penaah. Tapi kalau nasib lagi berpihak, dua kilo Sunuk sudah membuat modal solar pompong mereka kembali.

“Di sini, biasanya nelayan mencari Ikan Sunuk,” kata Abang Azhari, Ketua RW 08 Pulau Penaah, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga. Sekilo Sunuk, menurut Azahari, harganya bisa menembus angka Rp 140 ribu. Artinya, bila sekali melaut dapat dua kilo saja, jumlah tersebut sudah cukup untuk membeli solar dan sedikit rezeki untuk diserahkan kepada istri di rumah. Karena Sunuk inilah, nelayan-nelayan dari Kijang, Kecamatan Bintan Timur yang jaraknya sekitar tujuh jam perjalanan laut pakai pompong sampai mau mengarungi gelombang menuju Penaah.

Sunuk sendiri adalah komoditas ekspor. Namun yang dicari pembeli yang kebanyakan dari Hongkong itu adalah Sunuk yang beratnya hanya berkisar empat sampai enam kilogram per ekornya. Kalau beratnya sudah sampai di atas satu kilogram, justru pembeli tak terlalu terpikat.

Di perarian lain di Kepri, sebenarnya ada juga Ikan Sunuk. Namun komunitasnya tak sebanyak di Penaah. Adalah kearifan lokal yang membuat Sunuk-Sunuk berharga ratusan ribu itu masih betah bertahan di Penaah.

Azhari maupun nelayan lain sudah hafal di luar kepala tentang adanya peraturan menangkap ikan yang tak tertulis di atas kertas. Saat musim angin selatan ada satu pulau yang bisa ditempuh sepuluh menit perjalanan laut dari Penaah. Pulau itu diberi nama Ceranggong. Namun penduduk setempat lebih senang mengganti huruf di depan nama pulau itu dengan “S’. Maka dalam lafal pengucapan orang Penaah, Ceranggong adalah Serangong.

Pulau itu hanyalah kumpulan batu karang kecil, yang luasnya tak sampai setengah hektar. Tak ada persediaan air bersih dan pemukiman di atasnya. Namun nelayan setempat mensakralkan pulau itu. Musim angin teduh, yakni musim selatan, tak dibenarkan seorang nelayanpun mendekat ke Ceranggong. Mereka harus mencari ikan ke laut lepas, sampai ke Laut Sayak, laut terjauh dari Penaah.

Cerenggong hanya boleh disentuh saat musim angin utara yang terkenal menyebabkan ombak setinggi sampai lebih dari empat meter. Saat itulah, nelayan boleh mendekat dan menangkap ikan di Ceranggong. Inilah kearifan tradisional yang diwariskan oleh datuk nenak moyang orang Penaah. Para pembuat nilai-nilai ini mengantisipasi, agar jangan sampai anak cucunya kelak tak bisa menangkap ikan saat ombak ganas. Maka dipilihlah sebuah pulau berkarang yang akan menjadi ekosistem laut menarik bagi para ikan.

Pancur, Hongkong Van Lingga
RATUSAN rumah berdiri menjajar di tepian Sungai Pancur. Aktivitas perdagangan bermula sejak pagi masih belum jadi, berlangsung hingga menjelang tengah malam di Pancur. Inilah kota, yang orang-orang Daek dengan bangga menggelarinya sebagai Hongkong-nya Lingga.

Pancur adalah jantung perekonomian di Pulau Lingga bagian utara. Denyut nadi ekonomi sudah berlangsung di sana sejak sebelum orang-orang republik mengibarkan bendera Merah-Putih dan memproklamirkan Indonesia. Dulu, aktivitas di Pancur berjaya seiring dengan kegiatan smokel. Mereka membawa barang dari Singapura sebelum didistribusikan ke berbagai kawasan terdekat, bahkan sampai Kuala Tungkal, Jambi. Dari Pancur, mereka membawa kayu, karet, sampai kopra ke Singapura.

Bermula dari sebuah rumah di satu sisi sungai, puluhan tahun kemudian, tak kurang dari 500 rumah sudah berdiri di sepanjang tepian sungai, baik di sisi kanan maupun di sisi kiri. Bangunan rumah-rumah papan itu terus memanjang ke laut. “Sebenarnya kalau masih bisa ditambah, pasti dibangun rumah lagi. Tapi dasar lautnya ada seperti ceruk. Jadi tak bisa dipancang tiang lagi,” kata seorang warga.

Dari rumah pertama di hulu sungai, sampai rumah terakhir yang berbatasan
langsung dengan laut, panjangnya tak kurang 600 meter. Selain karena dianggap mudah untuk menggerakkan aktivitas perekonomian, pembangunan rumah panggung di atas laut itu juga menjadi pilihan mengingat tepian laut langsung berbatasan dengan sebuah bukit terjal.

Camat Lingga Utara Rusli bercerita, pembangunan rumah di atas laut itu diawali dari aktivitas perekonomian. Kala itu, para nelayan kesulitan bila harus mengangkat hasil tangkapannya ke darat. Maka dibangunlah satu-dua buah rumah di atas laut. Namun lama kelamaan, rumah-rumah lain bermunculan. Apalagi Lingga sendiri dikenal sebagai daerah penghasil kayu di Kepri, sehingga mereka tak kesulitan untuk mencari bahan bangunan rumah papan tersebut.

Di antara rumah yang saling berhadap-hadapan itu mengalir air Sungai Pancur, yang sayangnya sudah mulai tercemar akibat perilaku membuang sampah tak pada tempatnya. Ada empat buah jembatan gantung di sepanjang sungai. Jembatan ini memperindah pemandangan menelusuri Sungai Pancur. “Orang menggelarinya Hongkongnya Lingga, karena memang mirip seperti di Hongkong,” lanjut Rusli.

Bila air sungai pancur jernih, mungkin bukan lagi orang menggelari Pancur sebagai Hongkong-nya Lingga, melainkan Venesia-nya Lingga. Keberanian orang-orang membangun rumah di atas laut itu tak lain karena ada beberapa pulau besar dan kacil di depan Pancur yang melindungi daerah ini dari terpaan angin Utara. Karenanya, dulu, banyak kapal dalam perjalanan dari Selat Melaka menuju Jawa lebih memilih singgah di Pancur untuk mengambil air bersih. Dermaga Pancur yang terlindung dari hantaman ombak besar adalah alasan utama para nakhoda kapal untuk singgah.

Di sisi kanan dan kiri sungai, rumah-rumah warga sekaligus difungsikan sebagai pusat pertokoan. Carilah apapun, semua ada di sana. Dari mulai baju baru sampai baju second, aneka sembako, sampai penginapan. Tarif penginapan di losmen-losmen kayu itu bervariasi, anatar Rp 30 ribu-Rp 14 ribu satu malam. Siapa pun yang ingin menikmati Hongkong tapi belum kesampaian, agaknya singgah di Pancur bisa sedikit mengobati keinginan itu. (trisno aji putra)

Rabu, 07 Mei 2008

Senja di Selatan

Perjalanan ke Selatan.....

Perjalanan ke Selatan.......



KE selatan, orang-orang mengejar keheningan. Negeriku, Tanah Melayu, kini menjadi negeri yang terbelah...

Perjalanan ke selatan adalah perjalanan memungut kesunyian. Anak-anak nelayan berkisah tentang masa depannya yang masih samar. di utara sana, orang-orang Melayu telah membangun gedung bertingkat. Mereka mengubah rawa menjadi gedung pencakar langit di Singapura. Di Malaysia, mereka mengubah kebun sawit menjadi jalan aspal mulur beratus kilometer....

Tapi di sini, di selatan, aku hanya mendengarkan sejuta keluh kesah. Mereka, orang-orang negeriku itu, masih mewarisi dayung untuk mencari ikan ke laut menggunakan sampan. Tak ada gedung pencakar langit. Tapi, kadang aku perlu bersyukur, sebab di selatan sini, kesederhanaan dan kearifan lokal itu masih mereka simpan rapi.....

Jejak kemiskinan yang kutemukan sepanjang perjalanan ke selatan itu justru dibalut dengan eksotisme alam.... Negeriku,Tanah Melayu yang ada di selatan ini, kini menawarkan kisah tentang bagaimana mereka tetap menjaga kesunyian menjadi sebuah kekuatan panorama....

Aku selalu rindu untuk kembali ke selatan, menyusuri gugus-gugus pulau, dari Pulau Cempa sampai Penaah. Inilah negeriku, orang-orang Melayu di selatan....

Perjalanan ke Selatan...