Senin, 31 Desember 2007

Senjakala Dunia Pariwisata Tanjungpinang

INILAH senjakala dunia pariwisata Tanjungpinang. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI) Tanjungpinang, terjadi penurunan angka wisatawan yang signifikan sejak tahun 2002 lalu.
Sepanjang 2004, angka kunjungan wisatawan asing ke Tanjungpinang mencapai 174.038. Lalu 2005, turun menjadi 141.339, dan turun lagi pada tahun 2006 menjadi 130.021. Dan tahun 2007 ini, seperti sudah bisa ditebak, terjadi lagi penurunan. Sampai pukul 14.00 WIB 31 Desember sore, Ketua PHRI Tanjungpinang Rudy Chua menjelaskan bahwa angka kunjungan belum sampai 120 ribu orang.
Mungkin, Anda yang sempat menikmati hidup di Tanjungpinang pada sekitar 1992-2002 lalu masih ingat, betapa surganya kota kecil ini bagi wisatawan asing. Apalagi pada dekade 1990-an, para backpacker, petualang dari seluruh kolong jagat, menjadikan Lorong Bintan sebagai daerah yang wajib mereka singgahi dalam traveling mereka dari Asia menuju Australia, ataupun sebaliknya. Lalu penghujung 1990-an, giliran wisatawan Singapura dan Malaysia yang mengembangkan budaya weekend saban minggu dengen plesiran di Tanjungpinang.
Bahkan saking seringa mereka berkunjung ke Tanjungpinang, tidak sedikit dari wisatawan itu yang akhirnya menikahi perempuan-perempuan yang mereka temukan di Tanjungpinang. Ringgit dan dolar Singapura pun mereka hamburkan saat menikmati Sabtu dan Minggu di Tanjungpinang.
Tapi itu dulu. Semua kisah surga pariwisata itu berhenti ketika pendulum waktu sampai pada 2002. Terakhir, angka kunjungan wisatawan asing tahun 2002 mencapai 197.508 orang. Sebelum 2002, angkanya jauh lebih tinggi, bahkan bisa melampaui di atas 250 ribu jiwa pertahunnya.
Rudy Chua yang juga pengelola beberapa hotel di Tanjungpinang ini masih ingat betul bagaimana pada era 1992-2002, seluruh kamar hotel terisi penuh tiap penghujung minggu. Bahkan tidak ada kamar yang diistirahatkan oleh pengelola hotel. Padahal jumlah kamar hotel di Tanjungpinang saat itu mencapai angka sekitar 1300 kamar. Bagi yang punya modal besar, mereka bangun hotel berbintang, sementara yang modal pas-pasan, membangun hotelk melati. Dunia perhotelan menmggeliat karena terimbas dari tingginya angka kunjungan wisatawan asing.
Tapi mari kita simak lagi data PHRI Tanjungpinang 2007. Bila pada masa emas 1992-2002 itu, dari 1300 kamar hotel, 90 persennya diisi oleh wisatawan asing dan 10 persennya lokal, kini justru terbalik. Hanya sepuluh persen wisatawan asing yang singgah di Tanjungpinang dan menginap di hotel. Sementara 90 persennya lebih mengandalkan tamu lokal. Untunglah pusat pemerintahan Kepri di pindah ke Tanjungpinang, sehingga banyak tamu lokal yang datang ke kota ini danmenginap di hotel. Selain itu, pengelola juga menyediakan jasa ruang pertemuan yang sering dipakai oleh Pemda untuk mengelar acara. Itu strategi mereka bertahan hidup saat ini. Selebihnya, tidak ada.
Maka dalam refleksi akhir tahun dunia pariwisata Tanjungpinang ini, PHRI menurut Rudy terus berharap ada mukjizat di tahun 2008. Mukjizat bukan untuk mengembalikan kejayaan dunia pariwisata Tanjungpinang seperti era 1992-2002. “Kalau penurunan angka kunjungan wisatawan asing ini bisa dihentikan, itu sudah lebih dari cukup,” kata Rudy berseloroh. Artinya, ia melihat, memang terlalu muluk untuk melihat Tanjungpinang akan dibanjiri wisatawan lagi, seperti pada era 1992-2002. Jadi, bisa dihentikannya laju penurunan angka kunjungan wisatawan tahunan saja, menurut Rudy sudah bisa membuat pengelola dunia pariwisata merasa cukup senang.
Rudy berusaha menghitung angka kasar, berapa besar kerugian yang harus diterima oleh Tanjungpinang akibat dari menurunnya angka kunjungan wisatawan ini. Berdasarkan data nasional, satu wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia rata-rata akan menghabiskan dana empat sampai enam juta. “Nah, untuk Tanjungpinang, kita ambil saja angka satu juta rupiah per satu wisatawan asing,” kata Rudy. Berarti, bila terjadi penurunan jumlah wisatawan sampai sekitar 80 ribu orang selang waktu lima tahun terakhir, Rudy menaksir, sudah ada sekitar Rp 80 milyar yang hilang. Itulah potensi dana segar yang lenyap dari Kota Tanjungpinang lima tahun terakhir. (trisno aji putra)

Sabtu, 29 Desember 2007

Waktu Menghentikan Mereka...

SEBENARNYA, malam itu adalah malam kecemasan. Melalui caranya sendiri, para seniman Kepri yang tampil di Gedung Aisyah Sulaiman, Tanjungpinang, Jumat (28/12) malam dalam kegiatan refleksi budaya akhir tahun yang digelar Dewan Kesenian Provinsi Kepri (DKPK), membahasakan kecemasannya.
Ada penyair-sastrawan Mahzumi Dawood, juga Teja, Iben, Akib serta lainnya yang membacakan syair. Juga ada pidato lepas dari Hoesnizar Hood, penyair yang kini menjabat sebagai Ketua DKPK. Mereka sampai kini masih setia menjaga amanah besar itu: menjaga kejayaan budaya Melayu.
Para penerus Raja Ali Haji itu sebenarnya kini tengah dihadapkan pada kondisi, ketika zaman yang cepat berubah membuat anak-anak muda Tanah Melayu mulai berlari dari budaya warisan zaman Riau-Linga dulu. Kini, mereka lebih akrab dengan sebuah budaya baru yang memang hadir dalam konteks zaman mereka: budaya massa yang mencari simbolisasi pada pola hedonisme dan konsumerisme.
Dulu, sekitar seabad silam, para pujangga, intelektual, penyair, seniman, dan lainnya berkumpul saban hari untuk bnerdiskusi tentang budaya dan kemajuan masyarakat. Terbentuklah Rusdiyah Club, sebuah klub yang dirintis oleh para pemikir dan budayawan di Pulau Penyengat, yang saat itu menjadi satu di antara pusat tamadun Melayu Kepri.
Dari tangan dingin anggota Rusdiyah Club itu, lahirlah ratusan, atau bahkan ribuan karya yang kini tercecer dan hanya sedikit yang kini masih bisa terselamatkan. “Dalam setahun, setidaknya seratusan karya mereka diterbitkan,” kata Hoesnizar, dalam obrolan santai di sela-sela berlangsungnya acara yang mengambil tema “Kataku, Bangsaku, Negeriku” itu.
Tapi kini, jumlah itu terus menciut. Bahkan ada masa ketika benar-benar tahun-tahun berlalu dengan karya yang bisa dihitung dengan jari. Sepanjang 2007 ini, menurut data dari DKPK, paling hanya ada belasan karya yang lahir. Memang ada yang membanggakan. “Mulai muncul penulis-penulis muda belia,” kata Hoesnizar lagi.
Tapi apakah ini cukup? Hoesnizar mencoba membandingkan antara angka ratusan dengan angka belasan itu. Padahal, zaman Rusdiyah Club dulu, lanjutnya, jumlah penduduk di wilayah Kepri paling hanya 200 ribu jiwa saja. Tapi kini, di tahun 2007 yang hanya melahirkan karya berjumlah belasan itu, jumlah penduduk membengkak sampai sekitar tujuh kali lipatnya. Ada sekitar 1,4 juta jiwa penduduk yang kini mendiami bumi Melayu Kepri.
Lantas di mana salahnya? Memang, seniman tidak bisa lahir lewat proses mekanik. “Orang yang kuliah di Fakultas Sastra saja belum tentu jadi penyair,” kata Hoesnizar. Seniman lahir dalam kesunyiannya masing-masing. Di tengah zaman yang semakin hingar bingar, mereka bekerja sendiri-sendiri, berbicara dengan kesunyian dan mengkritik hingar bingar zaman yang semakin bermusuhan dengan nilai-nilai kemanusiaan itu.
Setiap zaman pasti memiliki senimannya sendiri-sendiri, dan setiap seniman, pasti memiliki kritiknya sendiri terhadap zaman itu. Hoesnizar percaya itu. Karenanya menciptakan seniman lewat proses mekanik ala mesin industrialiasasi hanya akan melahirkan seniman-seniman instan, yang cepat melejit, lalu segera hilang dalam proses pergantian waktu.
Tapi kemudian, masyarakat juga harus menciptakan pra kondisi yang nyaman bagi lahirnya Raja Ali Haji-Raja Ali Haji baru itu. Setidaknya, Hoesnizar percaya, apabila adanya gedung kesenian, digiatkannya lomba-lomba serta kurikulum pendidikan yang memberi porsi lebih bagi sastra dan budaya akan menjadi stimulan. “Juga, media pun harus berani untuk sedikit berkorban guna menyediakan ruang budaya,” katanya.
“Kita sekarnag sedang dalam proses back to the top, kembali ke puncak. Dulu, kita pernah berjaya, tapi kemudian terjatuh. Kini kita sedang bangkit.” Tapi sampai kapan? “Mungkin sampai 2020 nanti, kita akan back to the top,” demikian keyakinan Hoesnizar. (trisno aji putra)

Rabu, 26 Desember 2007

Hidup Tanpa "Byar-Pet" di Pedalaman

HAMPIR malam di Kampung Jibut, Desa Ekang Anculai, Kabupaten Bintan. Suyati menuju dapur di bagian belakang rumahnya. Dua buah kabel ia tancapkan di sebuah accu. Hanya beberapa detik berselang, lima lampu di beberapa ruangan rumahnya pun menyala. Ia tersenyum. “Sudah sembilan tahun saya menggunakan listrik tenaga surya ini,” kata wanita asal Pacitan, Jawa Timur, yang sejak muda sudah merantau ke Pulau Bintan itu.
Rumah yang ditempati oleh Suyati dan suaminya, Untung, itu memang berada di pedalaman. Untuk sampai ke sana, harus menempuh perjalanan sekitar 62 kilometer dari Tanjungpinang. Kemudian disambung lagi dengan melewati jalan tanah kecil yang meliuk-liuk membelah hutan bekas perkebunan gambir sejauh sekitar tujuh kilometer. Listrik belum masuk ke kampung itu. Lokasi kampung yang berada di pedalaman menyulitkan pembangunan jaringan listrik.
Tapi Sayuti tak patah arang. Ia berniat mengakhiri era lampu teplok di rumahnya dengan penerangan listrik sejak awal 1990-an. Dan niat itu kesampaian begitu ia memutuskan pulang ke kampung halamannya di Pacitan pada sekitar tahun 1998. Seorang saudaranya menyarankan agar ia membeli sebuah penampang listrik tenaga surya. “Saat itu saya membelinya seharga sekitar satu juta rupiah. Saya beli di Pacitan,” kata Suyati lagi.
Suyati berspekulasi saja. Yang ia yakini saat membeli penampang listrik tenaga surya itu adalah cara kerjanya yang mudah, sehingga kemungkinan besar tak akan menyulitkan ketika ia bawa ke Bintan.
Dan spekulasi Suyati ternyata berhasil. Sejak kembali ke Tanjungpinang pada tahun 1998 sampai akhir 2007 ini, penampang yang berukuran sekitar satu kali satu meter itu tak pernah rusak. Setiap malam, rumahnya pun mendapatkan penerangan lampu pijar. “Memang saya belum bisa menonton televisi warna. Penampang listriknya kecil. Jadi hanya bisa televisi hitam putih. Tapi tak apa, sudah cukuplah. Dari pada pakai lampu teplok,” katanya
Apa yang dilakukan Suyati ini sebenarnya sederhana saja. Tapi di balik itu, ternyata ia telah berhasil menciptakan kemandirian dalam mendapatkan sumber energi listrik alternatif. Kalau ia hanya menunggu dan berharap PLN memasang jaringan sampai ke kampungnya, pasti sampai saat ini Suyati masih mengandalkan lampu teplok sebagai penerangan rumahnya di malam hari.
Di Pulau Bintan, masih ada 11 ribu rumah tangga yang kini tengah berharap rumahnya dapat menikmati listrik. Pulau Bintan sendiri saat ini tengah mengalami krisis listrik. Berdasarkan data yang ada di PLN Tanjungpinang, total warga yang sudah masuk daftar tunggu untuk pemasangan baru jaringan listrik kini mencapai sekitar 11 ribu rumah tangga.
Asisten Manajer Pembangkitan PT PLN Cabang Tanjungpinang Taufik Eko W menjelaskan, daya yang dimiliki mereka saat ini hanya sekitar 35 megawatt. Sementara, sekitar pukul 18.00 WIB sampai 23.00 WIB, kalau menjelang malam, beban puncak yang harus ditanggung pembangkit listrik tersebut mencapai 32 sampai 34 megawatt. Daya yang berjumlah 35 megawatt tak bisa digunakan semuanya karena PLN harus menyediakan cadangan.
SEORANG rekan wartawan di Singapura beberapa waktu lalu bercerita, bahwa di negaranya, padamnya listrik selama beberapa jam saja telah menjadi headline surat kabar di sana. Lantas bagaimana dengan Kepri, yang sampai saat ini masih dihantui oleh krisis listrik berkepanjangan. Praktis hanya Batam saja yang luput dari hantaman krisis listrik. Sementra kabupaten/kota lain, justru masih menjalani era “byar pet”.
Kisah Suyati, warga pedalaman Bintan yang menggunakan energi listrik alternatif berbasis tenaga surya setidaknya dapat memberikan banyak inspirasi kepada warga Pulau Bintan dan Kepri. Wanita itu sudah menunjukkan bahwa kemandirian masyarakat adalah langkah praktis untuk mengatasi krisis listrik di Kepri. Andai masih banyak Suyati-Suyati lain, tentu warga Kepri dapat segera mengakhiri era krisis listriknya.
Hambatan yang dihadapi Suyati tak lain karena daya listrik yang dihasilkan dari penampang tersebut terlampau kecil, sehingga tak bisa mencukupi untuk menyetel televisi warna. “Tapi kalau mau dayanya besar, ya beli penampang yang lebih besar. Harganya memang lebih mahal,” katanya.
Apakah ini persoalan baru? Tentunya tidak. Sebab, setiap persoalan justru akan berubah menjadi peluang bila dilihat dari sudut pandang yang tepat. Kembali, kemandirian warga dituntut untuk menjadi jalan keluarnya. Dalam satu kampung, mereka dapat membentuk wadah yang beranggotakan beberapa rumah. Kemudian mereka membeli penampang listrik yang besar dengan cara patungan. Tentu harga yang harus ditanggung oleh tiap-tiap rumah tangga jadi tak terlalu besar.
Demikian, dari satu kampung, virus kebaikan itu akan terus menjalar ke kampung lain. Kemudian dari satu pulau, akan menjalar ke pulau lain. Hingga akhirnya warga Kepri bisa menikmati penerangan listrik berkat kemandirian mereka.
Lantas apa peran pemerintah daerah (pemda) dan PLN? Tentu pemda dan PLN punya porsi pekerjaan tersendiri, yang jauh lebih besar. Setidaknya ancaman yang paling nyata bila krisis listrik di Kepri ini tak bisa diatasi adalah mundurnya calon investor yang akan menanamkan modalnya di kawasan ini. Padahal kawasan Bintan bersama Batam dan Karimun (BBK) kini sedang dikaji oleh DPR RI untuk disahkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau lebih populer sering disebut special economic zone (SEZ).
Nah, pemerintah dan PLN tentu harus memikirkan solusi terkait masalah ini. Saat ini, PLN bersama Pemprov Kepri tengah melakukan kajian seputar wacana interkoneksi listrik Batam-Bintan. Konsekuensinya, akan diterapkan tarif regional. Artinya, tugas utama dari pemda dan PLN tak lain adalah memastikan ketersediaan listrik dalam jumlah besar, untuk mencukupi kebutuhan industri dan rumah tangga yang membutuhkan pasokan daya dalam jumlah besar. (trisno aji putra)





Minggu, 09 Desember 2007

Home Sweet Home


HIDUP kemudian adalah kumpulan perjalanan. Dan perjalanan selalu bermula dari sebuah kata: pergi.
Tapi setiap kepergian pasti akan menemukan jalan pulangnya sendiri. Orang-orang di dataran tinggi Tibet di awal permulaan hari melangkahkan kaki, meninggalkan rumah. Mereka yakin, bahwa setiap perjalanan jauh adalah sebuah bentuk dari penyucian diri tertinggi. “Perjalanan adalah upaya untuk penghapusan dari dosa yang melekat dalam setiap denyut nadi, mengalir bersama darah,” begitu keyakinan mereka.
Tapi pada akhirnya mereka akan pulang. Setelah puluhan, ratusan atau bahkan ribuan kilo meter mereka berjalan, mereka tetap akan pulang. Bahwa penyucian dosa mungkin bisa dilakukan bertahap, kita tidak tahu. Sebab itu adalah wilayah Zat Maha Suci yang mungkin tak bisa kita tafsirkan dengan logika manusia yang serba terbatas. Tapi mereka pulang untuk kemudian pergi lagi. Dan pergi lagi untuk kemudian pulang. Begitu seterusnya, sampai akhirnya waktu menghentikan langkah mereka. Orang-orang di dataran tinggi Tibet terus melakukan itu, bahkan sejak puluhan, ratusan, atau ribuan tahun lalu.
Dan setiap kepulangan kemudian berarti adalah rumah….
Sebuah rumah kecil di kaki bukit, beratap jerami berpagar anyaman, atau sebuah rumah terakhir berbatu nisan putih, tetap adalah sebuah rumah. Rumah tempat setiap pejalan akan kembali, beristirah, menghitung langkah, dan mungkin meratapi kesalahan.
Setiap kita pasti akan sampai di rumah. Dan setiap petualang pasti akan merindukan pulang. Tawa, canda, kehangatan dari orang-orang terkasih; cangkul, parang dan ilalang; sinar cahaya tipis dari lampu teplok yang tergantung di pojok ruangan; atau bisa juga tumpukan buku berdebu yang yang belum terselesaikan dibaca. Atau lainnya. Tapi semua itu adalah alasan yang membuat setiap kita pasti merindukan rumah.
Adalah rumah yang kemudian membuat kita akan menjadi “ada”. Industrialisme yang berpangkal dari kapitalisme kemudian melahirkan sikap individualistik. Kita kemudian memang pernah mengutuk, mengapa harus hidup dalam zaman yang teramat sinis ini. Dalam zaman ketika tetangga hanyalah sebuah penanda, bahwa di samping rumah kita bukanlah tanah kosong, melainkan rumah orang lain.
Kemudian manusia diterjemahkan menjadi sekedar sekumpulan objek untuk mendatangkan laba. Maka kemudian orang-orang pun berjalan dengan kepala tertengadah.
Dan seorang wanita muda di dataran tinggi Tibet pernah berkata kepada Heinrich Harrer, “Yang membedakan ‘kami’ dengan ‘kalian’ adalah bahwa ‘kalian’ selalu melihat ke atas. Sedangkan ‘kami’ sebaliknya.”
Tujuh tahun Heinrich menghabiskan hidupnya untuk sekedar menaklukan Mount Everest, puncak tertinggi di Himalaya. Dan ia mencatat dengan baik setiap detik yang terlewati di tempat itu, dalam sebuah buku harian kusamnya. Di buku itu kemudian tertulis bahwa Heinrich ternyata selama tujuh tahun itu tidak pernah berhasil menjejakkan kakinya di Puncak Everest, yang berada pada ketinggian lebih dari delapan ribu kaki dari permukaan laut.
Tapi Heinrich ternyata mampu menjejakkan kakinya di puncak yang lebih tinggi dari sekedar Puncak Everest: sebuah puncak kearifan dalam memandang hidup. Tujuh tahun setelah itu ia pulang dengan sebuah kesadaran, sebuah kesadaran yang ia temukan dari tuturan perempuan muda Tibet itu.
Lelaki Jerman itu kemudian berdamai dengan kenyataan. Ia yakin bahwa setiap kepergian pasti berarti pulang, dan setiap petualang pasti selalu merindukan rumah. Ia bisa melawan dinginnya salju di kaki Himalaya, ia juga bisa melawan kelaparan yang berlangsung di sepanjang jalan. Tapi satu hal yang tak bisa ia lawan adalah kerinduannya untuk pulang: memeluk bocah lelakinya yang bahkan belum pernah ia lihat sejak terlahir ke dunia. Heinrich meninggalkan rumah ketika usia kandungan sang mantan istrinya sudah berusia empat bulan.
Hidup kemudian terkadang sekedar kumpulan kisah sedih yang berakhir dengan kebahagiaan abadi. Tapi ada jurang terjal di setiap tikungan yang siap mengintip, dan kerikil-kerikil tajam yang melukai hati. Heinrich pulang untuk mendapati bahwa satu-satunya anak lelaki yang dilahirkan dari rahim mantan istrinya itu bahkan tak kenal dengan dirinya. Yang diketahui bocah itu, berdasarkan kisah ibunya, bahwa ayahnya sudah meninggal di dataran tinggi Tibet sewaktu hendak menaklukan Himalaya. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Heinrich untuk meyakinkan sang bocah, bahwa ia adalah sang ayah biologisnya. Seperti bisa diduga pada akhir film “Seven Years in Tibet” yang diangkat dari kisah nyata kehidupan Heinrich Harrer itu, ia berhasil mengajak sang buah hati mendaki Puncak Everest, tetapi bukan untuk menaklukannya, melainkan sekedar mencari kearifan hidup...

Sabtu, 08 Desember 2007

Sunyi di Ujung Perjalanan Fahzam…

FAHZAM Fadlil pada akhirnya menjadi seorang lelaki yang selalu merasa kesepian di daratan. Ombak, badai, dan senja di balik awan itu terlalu menggoda baginya, sehingga, pada akhirnya, ia pun kembali ke laut.
Tahun lalu, ia mempersiapkan semuanya, sebuah petualangan gila naik perahu kecil dari Tanjungpinang ke Madagaskar, sebuah tujuan di daratan Afrika sana. Tapi Fahzam terbentur dana. Ia optimis bisa menaklukan gelombang, tapi ternyata ia sponsor gagal ia dapatkan.
“Lebih mudah untuk menaklukan gelombang dari pada birokrasi,” katanya. Ia roboh. Proposal permintaan bantuan dana bagi mewujudkan Melayu yang jaya di laut belum terjawab pemerintah daerah di Kepri sampai saat ini. Satu tahun Fahzam hanya mondar-mandir Bandung-Tanjungpinang.
Di tengah rasa frustasinya itu, Fahzam sempat berpikir nekat: cari perahu kecil, dan melanglang buana di lautan lagi. Tapi, niat itu mungkin baru bisa terwujud September ini.
“Saya sudah membeli satu perahu kecil, yang harganya tak lebih mahal dari motor Mio,” katanya, terkekeh.
Perahu itu kini ia tambatkan di Bali. Sambil menunggu September datang, ia sedang menerima kerjaan menggarap pembuatan perahu kecil lagi. “Mudah-mudahan bisa buat modal,” katanya.
Mimpi merapatkan perahu di bibir pantai Madagaskar kini sudah nyaris pupus dalam dirinya. Tapi, mimpi untuk merapatkan perahu di bibir pantai Desa Penghujan, Kabupaten Bintan, sudah di depan mata. Rencana pelayaran itu sudah disusun Fahzam dengan rapi. Rute yang ia pilih adalah yang langsung menuju Tanjungpinang. Dari Bali, perahu kecil yang sering disebut orang sebagai Jukung itu akan melintasi Selat Lombok, berputar menuju Laut Jawa, masuk ke Selat Karimata, dan tembak langsung ke Laut China Selatan. Sebentar ia akan singgah di pelabuhan Tanjungpinang, sebelum menggerakkan arah kemudi layer ke Desa Penghujan, sebuah desa yang terletak di Pulau Penghujan, jarak 30 menit perjalanan laut dari Tanjungpinang. Kenapa mesti Penghujan? Fahzam dan Penghujan adalah dua objek yang disatukan oleh kenangan. Selepas melayari Samudra Pasifik dalam perjalanannya dari Amerika ke Bali naik yacht pada pertengahan 1990-an silam, Fahzam pun langsung jatuh hati pada tanah Penghujan. Ia membeli sepetak tanah, dan membangun sebuah rumah yang menghadap ke laut. Hampir 60 tahun lalu, ia lahir di Pulau Buluh, sebuah pulau di Kabupaten Karimun yang berbatasan dengan Singapura. Cita-citanya dari kecil hanyalah ingin menjadi penjaga mercusuar. Tapi menghabiskan waktu 20 tahun tinggal di Amerika membuatnya tak sempat meniti karir untuk bekerja di lingkungan Kantor Navigasi. Maka rumah kecil di Penghujan itu ia jadikan sebagai mercusuar sendiri, yang telah ia niatkan untuk menghabiskan hari tua di sana. Kini perjalanan sejuah 1500 kilo meter itu sudah ditunggunya. Tinggal tunggu dana di tangan, Fahzam pun siap menggerakkan arah kemudi layar ke Tanjungpinang. Jukung kecil yang akan dikendalikan oleh Fahzam tanpa mesin. Hanya layar dan sepasang dayung. Tanpa atap sama sekali di atasnya, tapi Jukung dan laut biru itu tidak membuat ciut nyalinya. Fahzam enggan berdebat soal nyali. “Orang yang korupsi itu jauh lebih berani dari pada aku,” katanya, terkekeh lagi. Tapi, ada sesuatu cerita yang terus ia kejar dari laut biru itu, cerita tentang sebuah kebahagaian, yang mungkin kita tak pernah bisa memahaminya.
SEBUAH perahu, sederet harapan, dan sunyi yang amat melekat. Fahzam akan melewati semua itu selama sekitar tiga minggu pada awal September mendatang. Diperkirakan, lama perjalanan yang akan ia habiskan untuk melewati rute Bali-Tanjungpinang memakan waktu sampai tiga minggu.
Kalau dibandingkan dengan kapal besi milik PT Pelni, mungkin waktu ini relatif lama. Kapal-kapal besi milik Pelni mungkin hanya membutuhkan waktu tak sampai lima hari untuk melayari rute yang sama seperti yang akan ditempuh Fahzam. Tapi, Fahzam tak pakai kapal besi. Jukung yang akan ia tumpangi hanya terbuat dari bahan fiber glass. Parahnya lagi, jukung itu tak dilengkapi dengan mesin.
Fahzam menyerahkan semuanya pada sebuah layar dan sepasang dayung. Bila angin enggan berhembus, maka ia pun terpaksa harus mendayung dengan kedua tangannya. Atau kalau lelah, ia pun harus tabah membiarkan kapal tak bergerak, kecuali diombang-ambingkan oleh ombak ganas Laut Jawa dan Laut Cina Selatan.
Celakanya lagi, jukung itu juga sama sekali tak punya terpal di atasnya. Kalau hujan, Fahzam pun kehilangan tempat berteduh, kecuali mungkin memasang jas hujan dan meringkuk kedinginan sambil berharap hujan cepat berlalu. Dari awal Fahzam sudah mengakuinya. “Pelayaran ini akan tidak mudah mengingat perahunya sangat kecil dan
tidak terlindung sama sekali,” katanya.
Tapi, jiwa petualangan membawa ia untuk berpikir sebaliknya, “Justru ini tantangannnya. Kalau pelayaran ini mudah, tidak perlu dibuat sama sekali.” Bahkan Fahzam punya idealisme versinya sendiri. “Biar aku sensitif dengan orang kecil seperti nelayan yang berpanas dan berujan di laut hanya untuk menghidupi keluarga mereka,” katanya.
Ini juga terkait dengan jenis perahu yang dipilih Fahzam untuk mengantarkannya ke Tanjungpinang. Jukung, sebutan perahu itu, atau lebih keren lagi disebut Jukung Bali, adalah jenis perahu yang biasa digunakan oleh para nelayan di Bali. Panjangnya tak lebih dari lima meter.
Perahu itu sendiri ditemukan Fahzam sewaktu berada di Desa Kusamba, pantai timur Bali. Selain mencari perahu berdasarkan kemampuan koceknya, kenyamanan ia mengedarai perahu itu juga menjadi alasan Fahzam memilih perahu tersebut.
Kini Fahzam sedang melakukan persiapan. “Kadang saya push up,” katanya sambil berseloroh. Maklum, Fahzam tak bisa dibilang muda lagi. Usianya sudah mendekati kepala enam. Dalam pelayaran ini pun, ia akan meninggalkan seorang istri dan dua orang anaknya yang masih kecil-kecil.
“But, I’m the man on the mission,” katanya. Saya seorang lelaki yang akan menjalankan sebuah misi, begitu keyakinannya. Kalau bisa merapatkan perahunya ke Desa Penghujan nanti, Fahzam tak muluk-muluk. Ia hanya sekedar ingin menantang para generasi muda saat ini. Ia sudah tua tetapi masih mampu, lantas bagaimana dengan anak-anak muda.
Itulah Fahzam, lelaki yang pernah menghabiskan lebih lima bulan perjalanan laut saat menyebrang dari Amerika menuju Bali naik yacht. 20 tahun lebih hidup di Amerika membuat ia punya cara pikir dan cara pandang tersendiri dalam melihat sebuah tantangan. Tapi, Fahzam menolak bahwa pelaut Melayu tak tangguh. “Dulu orang naik haji pakai perahu,” katanya. Karena itu, dalam perjalanan kali ini, ia pun akan bernostalgia tentang kejayaan Melayu di laut tempo dulu. (bersambung)

Sebatang Rokok di Tepi Peradaban

Di tepi peradaban, manusia mengajukan pertanyaan. Apakah mungkin semua yang sudah dibangun dapat diselamatkan...
Hari ini, sekelompok orang Melayu mulai resah. Mampukah mereka menyelematkan peradabannya. Sebagian lainnya mempertanyakan, bila tidak ada yang mengancam, apa yang mesti diselamatkan.

Jumat, 07 Desember 2007

Midai: Sisa Kejayaan Negeri Cengkeh

BANGUNAN Koperasi Ahmadi & CO masih tegak. Aktivitas keseharian pun masih berjalan. Tapi sudah tak seperti dulu lagi, ketika kebesaran perusahaan ini bahkan sampai memiliki cabang di Singapura.
Ada sisa kejayaan yang masih tertinggal: sebuah prasasti bertanda tangan Muhammad Hatta, Wakil Presiden pertama RI. Sekitar 1949 Bung Hatta datang ke Pulau Midai, satu dari sekian ratus pulau-pulau kecil di gugus perairan Natuna. Selain melihat kehidupan di pulau perbatasan RI dengan Vietnam tersebut, Bapak Koperasi Indonesia juga dibuat takjub dengan keberadaan serikat dagang orang Melayu: Ahmadi & CO tersebut. Diperkirakan, Ahmadi & CO adalah sebuah koperasi yang tumbuh pada deret paling awal di republik yang sempat bercita-cita membangun ekonomi kerakyatan melalui koperasi ini.
Kolektor naskah-naskah kuno di Pulau Penyengat Raja Malik, punya cerita tersendiri tentang kedatangan Bung Hatta ke Tanah Midai. Begitu sampai, Bung Hatta langsung masuk ke dalam kantor dn memeriksa buku-buku laporan keuangan perusahaan. Di situ, Bung Hatta dibuat terkagum-kagum. “Ini sebuah lembaga ekonomi pertama di Nusantara yang manajemennya sangat rapi,” kata Malik menirukan kira-kira ucapan Bung Hatta saat itu.
Serikat dagang itu berawal dari sekumpulan pemukir, penulis dan politisi yang tergabung dalam Rusdiyah Club di Pulau Penyengat. Kajian diskusi Rusdiyah saat itu masih seputar politik dan kebudayaan. Namun pada dekade sekitar 1890-an, para pemikir di Rusdiyah merasa perlu untuk mengembangkan sayap bisnis, dengan tujuan dapat menggerakkan roda ekonomi dan sekaligus memberikan penghasilan kepada anggota keluarga kerajaan.
Maka disepakatilah pembentukan serikat dagang yang bernama Asyarikatul Ahmadiyah. Dalamn perkembangannya, berdasarkan survei yang mereka lakukan ke berbagai penjuru pulau-pulau di Kerajaan Riau Lingga, para pemikir Rusdiyah Club sepakat memindahkan usaha dagang mereka ke Midai. Komoditas cengkeh dan kopra yang tumbuh subur di tanah Midai menjadi faktor lahirnya keputusan itu.
Meski luasnya hanya sekitar 18 kilo meter kalau dikeliling, tapi tanah Midai dikaruniai kesuburan luar biasa. Di antara deretan pepohonan cengkeh, kelapa masih bisa tumbuh subur.
Seorang penduduk Midai, Andri Chandra memberi ilustrasi kesuburan tanah di Negeri Cengkeh itu. “Biasanya, kalau orang habis tanam ubi, mau tanam tanaman lain, dibiakan dulu. Tapi di sini (Midai), tak perlu. Bisa langsung tanam saja,” kata Andri, yang berprofesi sebagai petani itu.
Maka pada 1906, didirikanlah Ahmadi & CO. CO adalah kependekan corporation. Nama Ahmadi sendiri diambil dari salah satu pendirinya, yang sekaligus pemegang saham utama, yakni Raja Ahmad Ibnu Umar.
Sulit dilacak sejak kapan penduduk Midai mulai menanam cengkeh. Tetapi, begitu komoditas itu tumbuh subur dan semakin terkenal kualitasnya ke seantero negeri, Ahmadi & CO pun sukses besar. Serikat dagang ini sebetulnya punya anak perusahaan di Singapura, Ahmadi Press yang bergerak di bidang percetakan Tapi diperkirakan, omset penjualan Cengkeh dari Midai menjadi penyumbang terbesar keuntungan serikat dagang tersebut. Saat itu, Ahmadi & CO memasarkan cengkehnya ke Singapura, yang kemudian diteruskan ke berbagai penjuru dunia, sampai ke Turki.

bintan, kata, peristiwa

Bintan adalah kata dan kenangan. Dulu, di pulau ini, orang pernah mengukir sejarah emas, bahkan meahirkan sejumlah kerajaan di sekitarnya. Namun Bintan kini hanyalah pulau yang hidup degan terlalu banyak menyimpan kenangan....