Sabtu, 08 Desember 2007

Sunyi di Ujung Perjalanan Fahzam…

FAHZAM Fadlil pada akhirnya menjadi seorang lelaki yang selalu merasa kesepian di daratan. Ombak, badai, dan senja di balik awan itu terlalu menggoda baginya, sehingga, pada akhirnya, ia pun kembali ke laut.
Tahun lalu, ia mempersiapkan semuanya, sebuah petualangan gila naik perahu kecil dari Tanjungpinang ke Madagaskar, sebuah tujuan di daratan Afrika sana. Tapi Fahzam terbentur dana. Ia optimis bisa menaklukan gelombang, tapi ternyata ia sponsor gagal ia dapatkan.
“Lebih mudah untuk menaklukan gelombang dari pada birokrasi,” katanya. Ia roboh. Proposal permintaan bantuan dana bagi mewujudkan Melayu yang jaya di laut belum terjawab pemerintah daerah di Kepri sampai saat ini. Satu tahun Fahzam hanya mondar-mandir Bandung-Tanjungpinang.
Di tengah rasa frustasinya itu, Fahzam sempat berpikir nekat: cari perahu kecil, dan melanglang buana di lautan lagi. Tapi, niat itu mungkin baru bisa terwujud September ini.
“Saya sudah membeli satu perahu kecil, yang harganya tak lebih mahal dari motor Mio,” katanya, terkekeh.
Perahu itu kini ia tambatkan di Bali. Sambil menunggu September datang, ia sedang menerima kerjaan menggarap pembuatan perahu kecil lagi. “Mudah-mudahan bisa buat modal,” katanya.
Mimpi merapatkan perahu di bibir pantai Madagaskar kini sudah nyaris pupus dalam dirinya. Tapi, mimpi untuk merapatkan perahu di bibir pantai Desa Penghujan, Kabupaten Bintan, sudah di depan mata. Rencana pelayaran itu sudah disusun Fahzam dengan rapi. Rute yang ia pilih adalah yang langsung menuju Tanjungpinang. Dari Bali, perahu kecil yang sering disebut orang sebagai Jukung itu akan melintasi Selat Lombok, berputar menuju Laut Jawa, masuk ke Selat Karimata, dan tembak langsung ke Laut China Selatan. Sebentar ia akan singgah di pelabuhan Tanjungpinang, sebelum menggerakkan arah kemudi layer ke Desa Penghujan, sebuah desa yang terletak di Pulau Penghujan, jarak 30 menit perjalanan laut dari Tanjungpinang. Kenapa mesti Penghujan? Fahzam dan Penghujan adalah dua objek yang disatukan oleh kenangan. Selepas melayari Samudra Pasifik dalam perjalanannya dari Amerika ke Bali naik yacht pada pertengahan 1990-an silam, Fahzam pun langsung jatuh hati pada tanah Penghujan. Ia membeli sepetak tanah, dan membangun sebuah rumah yang menghadap ke laut. Hampir 60 tahun lalu, ia lahir di Pulau Buluh, sebuah pulau di Kabupaten Karimun yang berbatasan dengan Singapura. Cita-citanya dari kecil hanyalah ingin menjadi penjaga mercusuar. Tapi menghabiskan waktu 20 tahun tinggal di Amerika membuatnya tak sempat meniti karir untuk bekerja di lingkungan Kantor Navigasi. Maka rumah kecil di Penghujan itu ia jadikan sebagai mercusuar sendiri, yang telah ia niatkan untuk menghabiskan hari tua di sana. Kini perjalanan sejuah 1500 kilo meter itu sudah ditunggunya. Tinggal tunggu dana di tangan, Fahzam pun siap menggerakkan arah kemudi layar ke Tanjungpinang. Jukung kecil yang akan dikendalikan oleh Fahzam tanpa mesin. Hanya layar dan sepasang dayung. Tanpa atap sama sekali di atasnya, tapi Jukung dan laut biru itu tidak membuat ciut nyalinya. Fahzam enggan berdebat soal nyali. “Orang yang korupsi itu jauh lebih berani dari pada aku,” katanya, terkekeh lagi. Tapi, ada sesuatu cerita yang terus ia kejar dari laut biru itu, cerita tentang sebuah kebahagaian, yang mungkin kita tak pernah bisa memahaminya.
SEBUAH perahu, sederet harapan, dan sunyi yang amat melekat. Fahzam akan melewati semua itu selama sekitar tiga minggu pada awal September mendatang. Diperkirakan, lama perjalanan yang akan ia habiskan untuk melewati rute Bali-Tanjungpinang memakan waktu sampai tiga minggu.
Kalau dibandingkan dengan kapal besi milik PT Pelni, mungkin waktu ini relatif lama. Kapal-kapal besi milik Pelni mungkin hanya membutuhkan waktu tak sampai lima hari untuk melayari rute yang sama seperti yang akan ditempuh Fahzam. Tapi, Fahzam tak pakai kapal besi. Jukung yang akan ia tumpangi hanya terbuat dari bahan fiber glass. Parahnya lagi, jukung itu tak dilengkapi dengan mesin.
Fahzam menyerahkan semuanya pada sebuah layar dan sepasang dayung. Bila angin enggan berhembus, maka ia pun terpaksa harus mendayung dengan kedua tangannya. Atau kalau lelah, ia pun harus tabah membiarkan kapal tak bergerak, kecuali diombang-ambingkan oleh ombak ganas Laut Jawa dan Laut Cina Selatan.
Celakanya lagi, jukung itu juga sama sekali tak punya terpal di atasnya. Kalau hujan, Fahzam pun kehilangan tempat berteduh, kecuali mungkin memasang jas hujan dan meringkuk kedinginan sambil berharap hujan cepat berlalu. Dari awal Fahzam sudah mengakuinya. “Pelayaran ini akan tidak mudah mengingat perahunya sangat kecil dan
tidak terlindung sama sekali,” katanya.
Tapi, jiwa petualangan membawa ia untuk berpikir sebaliknya, “Justru ini tantangannnya. Kalau pelayaran ini mudah, tidak perlu dibuat sama sekali.” Bahkan Fahzam punya idealisme versinya sendiri. “Biar aku sensitif dengan orang kecil seperti nelayan yang berpanas dan berujan di laut hanya untuk menghidupi keluarga mereka,” katanya.
Ini juga terkait dengan jenis perahu yang dipilih Fahzam untuk mengantarkannya ke Tanjungpinang. Jukung, sebutan perahu itu, atau lebih keren lagi disebut Jukung Bali, adalah jenis perahu yang biasa digunakan oleh para nelayan di Bali. Panjangnya tak lebih dari lima meter.
Perahu itu sendiri ditemukan Fahzam sewaktu berada di Desa Kusamba, pantai timur Bali. Selain mencari perahu berdasarkan kemampuan koceknya, kenyamanan ia mengedarai perahu itu juga menjadi alasan Fahzam memilih perahu tersebut.
Kini Fahzam sedang melakukan persiapan. “Kadang saya push up,” katanya sambil berseloroh. Maklum, Fahzam tak bisa dibilang muda lagi. Usianya sudah mendekati kepala enam. Dalam pelayaran ini pun, ia akan meninggalkan seorang istri dan dua orang anaknya yang masih kecil-kecil.
“But, I’m the man on the mission,” katanya. Saya seorang lelaki yang akan menjalankan sebuah misi, begitu keyakinannya. Kalau bisa merapatkan perahunya ke Desa Penghujan nanti, Fahzam tak muluk-muluk. Ia hanya sekedar ingin menantang para generasi muda saat ini. Ia sudah tua tetapi masih mampu, lantas bagaimana dengan anak-anak muda.
Itulah Fahzam, lelaki yang pernah menghabiskan lebih lima bulan perjalanan laut saat menyebrang dari Amerika menuju Bali naik yacht. 20 tahun lebih hidup di Amerika membuat ia punya cara pikir dan cara pandang tersendiri dalam melihat sebuah tantangan. Tapi, Fahzam menolak bahwa pelaut Melayu tak tangguh. “Dulu orang naik haji pakai perahu,” katanya. Karena itu, dalam perjalanan kali ini, ia pun akan bernostalgia tentang kejayaan Melayu di laut tempo dulu. (bersambung)

Tidak ada komentar: