Sabtu, 29 Desember 2007

Waktu Menghentikan Mereka...

SEBENARNYA, malam itu adalah malam kecemasan. Melalui caranya sendiri, para seniman Kepri yang tampil di Gedung Aisyah Sulaiman, Tanjungpinang, Jumat (28/12) malam dalam kegiatan refleksi budaya akhir tahun yang digelar Dewan Kesenian Provinsi Kepri (DKPK), membahasakan kecemasannya.
Ada penyair-sastrawan Mahzumi Dawood, juga Teja, Iben, Akib serta lainnya yang membacakan syair. Juga ada pidato lepas dari Hoesnizar Hood, penyair yang kini menjabat sebagai Ketua DKPK. Mereka sampai kini masih setia menjaga amanah besar itu: menjaga kejayaan budaya Melayu.
Para penerus Raja Ali Haji itu sebenarnya kini tengah dihadapkan pada kondisi, ketika zaman yang cepat berubah membuat anak-anak muda Tanah Melayu mulai berlari dari budaya warisan zaman Riau-Linga dulu. Kini, mereka lebih akrab dengan sebuah budaya baru yang memang hadir dalam konteks zaman mereka: budaya massa yang mencari simbolisasi pada pola hedonisme dan konsumerisme.
Dulu, sekitar seabad silam, para pujangga, intelektual, penyair, seniman, dan lainnya berkumpul saban hari untuk bnerdiskusi tentang budaya dan kemajuan masyarakat. Terbentuklah Rusdiyah Club, sebuah klub yang dirintis oleh para pemikir dan budayawan di Pulau Penyengat, yang saat itu menjadi satu di antara pusat tamadun Melayu Kepri.
Dari tangan dingin anggota Rusdiyah Club itu, lahirlah ratusan, atau bahkan ribuan karya yang kini tercecer dan hanya sedikit yang kini masih bisa terselamatkan. “Dalam setahun, setidaknya seratusan karya mereka diterbitkan,” kata Hoesnizar, dalam obrolan santai di sela-sela berlangsungnya acara yang mengambil tema “Kataku, Bangsaku, Negeriku” itu.
Tapi kini, jumlah itu terus menciut. Bahkan ada masa ketika benar-benar tahun-tahun berlalu dengan karya yang bisa dihitung dengan jari. Sepanjang 2007 ini, menurut data dari DKPK, paling hanya ada belasan karya yang lahir. Memang ada yang membanggakan. “Mulai muncul penulis-penulis muda belia,” kata Hoesnizar lagi.
Tapi apakah ini cukup? Hoesnizar mencoba membandingkan antara angka ratusan dengan angka belasan itu. Padahal, zaman Rusdiyah Club dulu, lanjutnya, jumlah penduduk di wilayah Kepri paling hanya 200 ribu jiwa saja. Tapi kini, di tahun 2007 yang hanya melahirkan karya berjumlah belasan itu, jumlah penduduk membengkak sampai sekitar tujuh kali lipatnya. Ada sekitar 1,4 juta jiwa penduduk yang kini mendiami bumi Melayu Kepri.
Lantas di mana salahnya? Memang, seniman tidak bisa lahir lewat proses mekanik. “Orang yang kuliah di Fakultas Sastra saja belum tentu jadi penyair,” kata Hoesnizar. Seniman lahir dalam kesunyiannya masing-masing. Di tengah zaman yang semakin hingar bingar, mereka bekerja sendiri-sendiri, berbicara dengan kesunyian dan mengkritik hingar bingar zaman yang semakin bermusuhan dengan nilai-nilai kemanusiaan itu.
Setiap zaman pasti memiliki senimannya sendiri-sendiri, dan setiap seniman, pasti memiliki kritiknya sendiri terhadap zaman itu. Hoesnizar percaya itu. Karenanya menciptakan seniman lewat proses mekanik ala mesin industrialiasasi hanya akan melahirkan seniman-seniman instan, yang cepat melejit, lalu segera hilang dalam proses pergantian waktu.
Tapi kemudian, masyarakat juga harus menciptakan pra kondisi yang nyaman bagi lahirnya Raja Ali Haji-Raja Ali Haji baru itu. Setidaknya, Hoesnizar percaya, apabila adanya gedung kesenian, digiatkannya lomba-lomba serta kurikulum pendidikan yang memberi porsi lebih bagi sastra dan budaya akan menjadi stimulan. “Juga, media pun harus berani untuk sedikit berkorban guna menyediakan ruang budaya,” katanya.
“Kita sekarnag sedang dalam proses back to the top, kembali ke puncak. Dulu, kita pernah berjaya, tapi kemudian terjatuh. Kini kita sedang bangkit.” Tapi sampai kapan? “Mungkin sampai 2020 nanti, kita akan back to the top,” demikian keyakinan Hoesnizar. (trisno aji putra)

Tidak ada komentar: