Rabu, 26 Desember 2007

Hidup Tanpa "Byar-Pet" di Pedalaman

HAMPIR malam di Kampung Jibut, Desa Ekang Anculai, Kabupaten Bintan. Suyati menuju dapur di bagian belakang rumahnya. Dua buah kabel ia tancapkan di sebuah accu. Hanya beberapa detik berselang, lima lampu di beberapa ruangan rumahnya pun menyala. Ia tersenyum. “Sudah sembilan tahun saya menggunakan listrik tenaga surya ini,” kata wanita asal Pacitan, Jawa Timur, yang sejak muda sudah merantau ke Pulau Bintan itu.
Rumah yang ditempati oleh Suyati dan suaminya, Untung, itu memang berada di pedalaman. Untuk sampai ke sana, harus menempuh perjalanan sekitar 62 kilometer dari Tanjungpinang. Kemudian disambung lagi dengan melewati jalan tanah kecil yang meliuk-liuk membelah hutan bekas perkebunan gambir sejauh sekitar tujuh kilometer. Listrik belum masuk ke kampung itu. Lokasi kampung yang berada di pedalaman menyulitkan pembangunan jaringan listrik.
Tapi Sayuti tak patah arang. Ia berniat mengakhiri era lampu teplok di rumahnya dengan penerangan listrik sejak awal 1990-an. Dan niat itu kesampaian begitu ia memutuskan pulang ke kampung halamannya di Pacitan pada sekitar tahun 1998. Seorang saudaranya menyarankan agar ia membeli sebuah penampang listrik tenaga surya. “Saat itu saya membelinya seharga sekitar satu juta rupiah. Saya beli di Pacitan,” kata Suyati lagi.
Suyati berspekulasi saja. Yang ia yakini saat membeli penampang listrik tenaga surya itu adalah cara kerjanya yang mudah, sehingga kemungkinan besar tak akan menyulitkan ketika ia bawa ke Bintan.
Dan spekulasi Suyati ternyata berhasil. Sejak kembali ke Tanjungpinang pada tahun 1998 sampai akhir 2007 ini, penampang yang berukuran sekitar satu kali satu meter itu tak pernah rusak. Setiap malam, rumahnya pun mendapatkan penerangan lampu pijar. “Memang saya belum bisa menonton televisi warna. Penampang listriknya kecil. Jadi hanya bisa televisi hitam putih. Tapi tak apa, sudah cukuplah. Dari pada pakai lampu teplok,” katanya
Apa yang dilakukan Suyati ini sebenarnya sederhana saja. Tapi di balik itu, ternyata ia telah berhasil menciptakan kemandirian dalam mendapatkan sumber energi listrik alternatif. Kalau ia hanya menunggu dan berharap PLN memasang jaringan sampai ke kampungnya, pasti sampai saat ini Suyati masih mengandalkan lampu teplok sebagai penerangan rumahnya di malam hari.
Di Pulau Bintan, masih ada 11 ribu rumah tangga yang kini tengah berharap rumahnya dapat menikmati listrik. Pulau Bintan sendiri saat ini tengah mengalami krisis listrik. Berdasarkan data yang ada di PLN Tanjungpinang, total warga yang sudah masuk daftar tunggu untuk pemasangan baru jaringan listrik kini mencapai sekitar 11 ribu rumah tangga.
Asisten Manajer Pembangkitan PT PLN Cabang Tanjungpinang Taufik Eko W menjelaskan, daya yang dimiliki mereka saat ini hanya sekitar 35 megawatt. Sementara, sekitar pukul 18.00 WIB sampai 23.00 WIB, kalau menjelang malam, beban puncak yang harus ditanggung pembangkit listrik tersebut mencapai 32 sampai 34 megawatt. Daya yang berjumlah 35 megawatt tak bisa digunakan semuanya karena PLN harus menyediakan cadangan.
SEORANG rekan wartawan di Singapura beberapa waktu lalu bercerita, bahwa di negaranya, padamnya listrik selama beberapa jam saja telah menjadi headline surat kabar di sana. Lantas bagaimana dengan Kepri, yang sampai saat ini masih dihantui oleh krisis listrik berkepanjangan. Praktis hanya Batam saja yang luput dari hantaman krisis listrik. Sementra kabupaten/kota lain, justru masih menjalani era “byar pet”.
Kisah Suyati, warga pedalaman Bintan yang menggunakan energi listrik alternatif berbasis tenaga surya setidaknya dapat memberikan banyak inspirasi kepada warga Pulau Bintan dan Kepri. Wanita itu sudah menunjukkan bahwa kemandirian masyarakat adalah langkah praktis untuk mengatasi krisis listrik di Kepri. Andai masih banyak Suyati-Suyati lain, tentu warga Kepri dapat segera mengakhiri era krisis listriknya.
Hambatan yang dihadapi Suyati tak lain karena daya listrik yang dihasilkan dari penampang tersebut terlampau kecil, sehingga tak bisa mencukupi untuk menyetel televisi warna. “Tapi kalau mau dayanya besar, ya beli penampang yang lebih besar. Harganya memang lebih mahal,” katanya.
Apakah ini persoalan baru? Tentunya tidak. Sebab, setiap persoalan justru akan berubah menjadi peluang bila dilihat dari sudut pandang yang tepat. Kembali, kemandirian warga dituntut untuk menjadi jalan keluarnya. Dalam satu kampung, mereka dapat membentuk wadah yang beranggotakan beberapa rumah. Kemudian mereka membeli penampang listrik yang besar dengan cara patungan. Tentu harga yang harus ditanggung oleh tiap-tiap rumah tangga jadi tak terlalu besar.
Demikian, dari satu kampung, virus kebaikan itu akan terus menjalar ke kampung lain. Kemudian dari satu pulau, akan menjalar ke pulau lain. Hingga akhirnya warga Kepri bisa menikmati penerangan listrik berkat kemandirian mereka.
Lantas apa peran pemerintah daerah (pemda) dan PLN? Tentu pemda dan PLN punya porsi pekerjaan tersendiri, yang jauh lebih besar. Setidaknya ancaman yang paling nyata bila krisis listrik di Kepri ini tak bisa diatasi adalah mundurnya calon investor yang akan menanamkan modalnya di kawasan ini. Padahal kawasan Bintan bersama Batam dan Karimun (BBK) kini sedang dikaji oleh DPR RI untuk disahkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau lebih populer sering disebut special economic zone (SEZ).
Nah, pemerintah dan PLN tentu harus memikirkan solusi terkait masalah ini. Saat ini, PLN bersama Pemprov Kepri tengah melakukan kajian seputar wacana interkoneksi listrik Batam-Bintan. Konsekuensinya, akan diterapkan tarif regional. Artinya, tugas utama dari pemda dan PLN tak lain adalah memastikan ketersediaan listrik dalam jumlah besar, untuk mencukupi kebutuhan industri dan rumah tangga yang membutuhkan pasokan daya dalam jumlah besar. (trisno aji putra)





Tidak ada komentar: