Jumat, 01 Februari 2008

Penyelamatan Naskah Kuno di Penyengat :Bagian Dua




SEJARAH peradaban adalah sejarah yang dibuat oleh kertas dan pena. Naskah-naskah kuno di Penyengat menjadi saksi bisu bahwa dulu, seratusan tahun lampau, pernah tumbuh sebuah peradaban di sana. Namun kini, jejak-jejak terakhir peradaban Penyengat yang masih tertuang dalam naskah-naskah kuno itu terancam musnah di makan usia.
SATU hari penuh Jan van der Putten dan koleganya, Alex Teoh, berkeliling Penyengat. Mereka juga sempat mendatang rumah seorang warga Penyengat, Raja Fuad, yang menyimpan naskah-naskah Melayu kuno sebagai koleksi pribadi. Jan dan Alex membawa setumpuk plastik bening, yang sekilas tampak seperti kantong gula. Tapi kantong plastik itu memiliki fungsi tak sekedar sebagai alat pembungkus, tetapi juga sekaligus saringan terhadap sinar ultraviolet yang selalu mempercepat pelapukan naskah.
Ini memang kesibukan baru Jan dan Alex. Jan sebenarnya bukan kali pertama datang ke Penyengat. Pengajar sastra Jawa dan Melayu di National University of Singapore (NUS) ini bahkan sempat “berhutang budi” pada naskah-naskah kuno itu. Disertasi Jan mengangkat seputar surat-surat Haji Ibrahim. Selain itu, Jan juga pernah membuat buku yang berisi kumpulan surat-surat Raja Ali Haji kepada sahabatnya Herman von de Wall.
Sejak sekitar tahun 1995 Jan sudah membuat penelitian tentang naskah-naskah kuno di Penyengat. 13 tahun setelah itu, kini ia kembali lagi bersama Alex, ahli kertas dan manuskrip dari Asean Heritage, Singapura.
Dan pada sebuah pagi di akhir pekan lalu, Alex dengan sigap membersihkan setumpuk naskah yang dimiliki oleh Raja Fuad. Di antara naskah kuno yang usianya jauh lebih tua dari Alex itu, terselip sejumlah surat-surat saham dan surat tanah. Menggunakan sebuah kuas dan beberapa perkakas pelengkap, Alex membersihkan naskah dan menyimpannya dalam plastik khusus. “Ada karat. Ini penyebabnya mungkin menggunakan stapless,” kata Alex. Selain itu, ia menjelaskan bahwa tinta juga bisa memakan kertas. “Coba lihat ini,” lanjutnya seraya menunjukkan sebuah naskah yang bolong tepat di huruf-huruf Arab gundul yang tertera pada naskah.
Alex memperkirakan, bila pola penyimpanan naskah kuno di Penyengat kurang berhati-hati, diperkirakan dua atau tiga tahun lagi naskah tersebut akan musnah. Karena itu perlu dilakukan langkah lain dalam cara penyimpanannya. Dengan cara itu, diharapkan naskah masih bisa bertahan di atas waktu 50 tahun lagi.
Memang, tumpukan naskah itu telah melahirkan kerisauan tersendiri. Jan yang pengajar sastra mengakui, ketertarikan anak-anak muda saat ini untuk memperdalam sejarah dan naskah-naskah kuno sangat kecil. Ia mencontohkan seperti kelas sastra Melayu yang ia ajar di UNS. “Hanya delapan mahasiswanya,” kata Jan yang fasih berbahasa Melayu dan berisitri seorang wanita Indonesia asal Medan.
Tapi fenomena ini bukan terjadi di Asia Tenggara saja. Seluruh dunia menunjukkan gejala yang sama. Anak-anak muda lebih senang memperdalam dunia tekhnologi informasi, karena lebih banyak memberikan peluang kerja dibandingkan menjadi seorang sejarawan. “Tapi kita tidak tahu 50 tahun lagi nanti bagaimana,” kata Jan. Jangan-jangan, justru nanti tren akan berubah dan banyak orang akan kembali mengkaji sejarah. Karena itu, naskah-naskah kuno yang ada sat ini harus dipertahankan dan disimpan untuk diwariskan ke generasi masa depan.
Dan Penyengat di mata Jan, memiliki kekayaan naskah. Ia menolak anggapan bahwa untuk belajar sastra Melayu meski harus pergi ke Museum Leiden di Belanda. Memang, sejak zaman kolonial, banyak naskah yang dibawa ke Eropa oleh para pemburu naskah. Tapi ternyata yang masih tersimpan di Penyengat, cukup banyak, dan diperkirakan jumlahnya bisa mencapai ratusan.
Naskah-naskah Melayu yang dibawa ke Eropa sendiri menurut Jan belum bisa menggambarkan kondisi sastra Melayu secara keseluruhan. “Mereka punya misi ketika membawa naskah tersebut. Sehingga naskah yang dibawa pun hanya seputar hikayat dan cerita-cerita hantu. Dan ini yang mempengaruhi pandangan orang terhadap sastra Melayu klasik.
Padahal masih banyak naskah-naskah seputar dunia Islam yang masih terserak di Penyengat. Jan, yang ternyata adalah seorang muslim ini menyimpan obsesi sendiri. Ia ingin mendata dan menyusun katalog naskah-naskah Melayu kuno di Penyengat. Nantinya ia berharap bisa memberikan gambaran lain bahwa sastra Melayu klasik sangat kaya warna, tidak sekedar bercerita tentang hal-hal mistik saja. (trisno aji putra)

Tidak ada komentar: