Selasa, 07 Februari 2012

Melayu.....


Melayu

KEMARIN, mereka berkumpul di Daek, Lingga membicarakan tentang Melayu. Satu pengakuan disebut: bahwa Daek adalah Bunda Tanah Melayu.

Mungkin, membicarakan tentang Melayu di tengah gempuran budaya massa yang telah masuk jauh ke seluruh ruang kesadaran hidup kita, jelas bukanlah persoalan yang mudah. Bagi mereka yang berusia di atas 50 tahun, mungkin Melayu adalah sebuah kebanggan. 

Mereka terlahir ketika mall, diskon, budaya pop, MTV, dan sejenis produk budaya massa belum menusuk masuk sampai ke sendi-sendi kehidupan.

Tapi bagi mereka yang kini masih berusia 20  tahun, jelas, Melayu adalah sebuah kealpaan.
Andai saja kemarin David Beckham datang ke Lingga dan ikut seminar tentang Melayu, mungkin ceritanya akan lain. Membandingkan seminar sejarah dan budaya di Lingga dengan kedatangan David Beckham ke Jakarta, jelas bukan hal yang adil. Segelintir media saja yang melakukan liputan di Lingga, dan gaungnya juga sebatas kepada mereka yang memang sedikit peduli dan menaruh harapan pada budaya dan sejarah. 

Tapi coba bandingkan dengan liputan kedatangan Beckham dua pekan lalu ke Jakarta. Saat itu, televisi bahkan lupa bahwa pada hari yang sama, masih banyak kasus korupsi yang belum dituntaskan, juga  masih banyak debat politik yang belum habis di negeri ini.

Untuk hari itu, tiba-tiba hampir seluruh media massa bersepakat dalam satu hal: mari kita lupakan sejenak kepedihan tentang negeri ini, dan nikmatilah kedatangan Beckham.

Beckham adalah juru bicara dari generasi yang dibesarkan oleh budaya massa. Ia menjadi dewa, dan sekaligus identitas. Lihat saja, begitu banyak anak muda yang kemudian mengubah gaya sisiran rambut mereka seperti Mohawk, begitu si Tuan Beckham melakukan hal itu.

Kini memang semua orang membutuhkan segala sesuatu yang berbau budaya massa. Mereka butuh diskon yang sampai nyaris seratus persen; mereka juga butuh membeli pembersih rambut yang sering ditampilkan dalam iklan di layar kaca; juga mereka butuh mendengarkan lagu yang temanya soal alamat itu.

Maka Melayu kemudian terlupakan. Tapi di tengah gempuran globalisasi, kita tetap butuh Melayu. Globalisasi membuat orang berbicara tentang penyeragaman. Di Eropa dimulai dari mata uang, setelah itu akan masuk ke wilayah lain. Namun penyeragaman, berarti adalah keuntungan bagi yang kuat dan siap. Sementara bagi yang lemah dan tidak siap, penyeragaman berarti juga bisa jadi sebuah penindasan.

Karena itulah, kita membutuhkan Melayu, sebagai sebuah identitas global kita. Bahwa dari tujuh miliar penghuni muka bumi ini, ada sekitar setengah miliarnya yang masuk kategori Melayu. Mereka tersebar dari penghujung timur Indonesia, sampai ke Afrika Selatan.

Setengah miliar berarti sebuah kekuatan, kekuatan untuk menjadi dan mengidentikan diri. Bahwa kemudian kita butuh identitas; bahwa kemudian kita butuh sekelompok orang yang merasa bisa senasib dan sepenanggungan; bahwa kemudian kita membutuhkan kegemilangan sejarah masa lampau sebagai  landasan melompat ke masa depan; bahwa kemudian kita butuh kerjasama-kerjasama yang bernama ekonomi dan keuntungan bersama; karena itulah, kita membutuhkan Melayu. (trisno aji putra)   

Kamis, 02 Februari 2012

Tomioka


Tomioka

BEBERAPA bulan lalu, masih ada 52 ribu orang yang menghuni kota itu. Tapi kini, Tomioka adalah kota hantu, dengan tak seorang pun berani tinggal di sana.

Adalah nuklir yang menjadi hantu itu. Kebocoran reaktor nuklir yang tak jauh dari kota, telah membuat pemerintah Jepang mengambil keputusan cepat: mengungsikan seluruh warga kota.

Kini, di depan batas kota, serdadu berjaga dengan moncong senapan terkokang. Tidak ada seorang pun boleh masuk ke dalam kota.

Seandainya kita bisa masuk ke sana, maka kita bisa berimajinasi bahwa kita menjadi orang yang serba “ter” di kota itu. Kita bisa mengatakan diri kita terkaya, tercantik, termuda, atau bahkan tertua di kota itu. Sebab, tak ada seorang pun lagi di sana yang bisa menjadi pembanding kita. Tapi siapakah yang berani masuk Tomioka sekarang?

Jalan-jalan kota menjadi lengang. Gedung bertingkat, mall, pasar, sampai tempat ibadah menjadi bisu. Buah peradaban manusia itu pun akhirnya bakal hancur oleh manusia itu sendiri.

Mari kita bayangkan sekarang: andai tak perlu ada rasa permusuhan, andai tidak ada ego intelektual, andai tak ada dana rakyat yang digunakan untuk membangun reaktor nuklir.

Dunia kini tengah tumbuh dalam rasa permusuhannya sendiri. Para petinggi negara dari belahan utara sampai selatan bisa duduk bareng dan menjadi anggota PBB. Setelah sidang, mereka bisa bersalam-salaman dan berpose dengan senyum perdamaian menghiasi wajah. Tapi ketika mereka pulang ke negerinya, maka para pemimpin negara itu pun meneken persetujuan untuk membangun persenjataan militer, dan mengucurkan dana untuk proyek nuklir.

Sampai saat ini, nuklir masih dianggap sebagai senjata pamungkas. Mirip dengan keris Tamin Sari yang pernah dimiliki Hang Tuah dulu. Amerika dan Israel kini mati-matian memojokkan Iran karena proyek nuklirnya. Tapi di dalam negeri mereka sendiri, dua negara itu pun membangun kekuatannya nuklirnya juga.      

Sejumlah futurolog pun kemudian mendeskripsikan masa depan kita yang suram: bahwa perang dunia ketiga akan dipungkasi oleh kehancuran global akibat nuklir. Setelah itu, bisa jadi kiamat datang.

Mari kita kembali ke Tomioka. Di antara 52 ribu penduduk kota di sana, terselip belasan ribu anak-anak yang langkahnya masih panjang. Kini nuklir telah merengut tempat bermain mereka, memindahkan mereka ke tenda-tenda pengungsian. Dan sebentar lagi, para sejarawan Jepang pun akan segera menghapus Tomioka dari peta negara itu.

Kota itu akan menjadi kota yang hilang, seperti halnya Atlantis dulu. Namun tidakkah kita pernah menyadari bahwa, kita akan selalu gagal untuk menghapus kota itu dari ingatan belasan ribu anak-anak Tomioka. Setiap kita pasti memiliki kenangan masa kecil yang indah, tempat di mana kita tumbuh dalam keceriaan. Dan tempat itulah yang tak akan pernah bisa terengut dari ingatan kita, sampai maut kemudian datang ke dalam diri kita. *