Melayu
KEMARIN, mereka berkumpul di Daek, Lingga membicarakan
tentang Melayu. Satu pengakuan disebut: bahwa Daek adalah Bunda Tanah Melayu.
Mungkin, membicarakan tentang Melayu di tengah gempuran
budaya massa yang telah masuk jauh ke seluruh ruang kesadaran hidup kita, jelas
bukanlah persoalan yang mudah. Bagi mereka yang berusia di atas 50 tahun,
mungkin Melayu adalah sebuah kebanggan.
Mereka terlahir ketika mall, diskon,
budaya pop, MTV, dan sejenis produk budaya massa belum menusuk masuk sampai ke
sendi-sendi kehidupan.
Tapi bagi mereka yang kini masih berusia 20 tahun, jelas, Melayu adalah sebuah kealpaan.
Andai saja kemarin David Beckham datang ke Lingga dan ikut
seminar tentang Melayu, mungkin ceritanya akan lain. Membandingkan seminar
sejarah dan budaya di Lingga dengan kedatangan David Beckham ke Jakarta, jelas
bukan hal yang adil. Segelintir media saja yang melakukan liputan di Lingga,
dan gaungnya juga sebatas kepada mereka yang memang sedikit peduli dan menaruh
harapan pada budaya dan sejarah.
Tapi coba bandingkan dengan liputan kedatangan
Beckham dua pekan lalu ke Jakarta. Saat itu, televisi bahkan lupa bahwa pada
hari yang sama, masih banyak kasus korupsi yang belum dituntaskan, juga masih banyak debat politik yang belum habis
di negeri ini.
Untuk hari itu, tiba-tiba hampir seluruh media massa
bersepakat dalam satu hal: mari kita lupakan sejenak kepedihan tentang negeri
ini, dan nikmatilah kedatangan Beckham.
Beckham adalah juru bicara dari generasi yang dibesarkan
oleh budaya massa. Ia menjadi dewa, dan sekaligus identitas. Lihat saja, begitu
banyak anak muda yang kemudian mengubah gaya sisiran rambut mereka seperti
Mohawk, begitu si Tuan Beckham melakukan hal itu.
Kini memang semua orang membutuhkan segala sesuatu yang
berbau budaya massa. Mereka butuh diskon yang sampai nyaris seratus persen;
mereka juga butuh membeli pembersih rambut yang sering ditampilkan dalam iklan
di layar kaca; juga mereka butuh mendengarkan lagu yang temanya soal alamat
itu.
Maka Melayu kemudian terlupakan. Tapi di tengah gempuran globalisasi, kita tetap butuh
Melayu. Globalisasi membuat orang berbicara tentang penyeragaman. Di Eropa
dimulai dari mata uang, setelah itu akan masuk ke wilayah lain. Namun
penyeragaman, berarti adalah keuntungan bagi yang kuat dan siap. Sementara bagi
yang lemah dan tidak siap, penyeragaman berarti juga bisa jadi sebuah
penindasan.
Karena itulah, kita membutuhkan Melayu, sebagai sebuah
identitas global kita. Bahwa dari tujuh miliar penghuni muka bumi ini, ada
sekitar setengah miliarnya yang masuk kategori Melayu. Mereka tersebar dari
penghujung timur Indonesia, sampai ke Afrika Selatan.
Setengah miliar berarti sebuah kekuatan, kekuatan untuk
menjadi dan mengidentikan diri. Bahwa kemudian kita butuh identitas; bahwa
kemudian kita butuh sekelompok orang yang merasa bisa senasib dan
sepenanggungan; bahwa kemudian kita membutuhkan kegemilangan sejarah masa
lampau sebagai landasan melompat ke masa
depan; bahwa kemudian kita butuh kerjasama-kerjasama yang bernama ekonomi dan
keuntungan bersama; karena itulah, kita membutuhkan Melayu. (trisno aji putra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar