Rabu, 27 Februari 2008

Kisah Semangkuk Bubur Asyura


ZAMAN boleh berganti. Makanan cepat saji sekelas piza sampai hamburger, juga mie instant boleh saja menjadi bagian keseharian mereka. Tapi tiap 11 Muharram, ada satu menu yang selalu lekat dalam ingatan mereka: bubur asyura. Ini adalah kisah bagaimana orang-orang Tambelan di Tanjunginang dengan setia menjaga tradisi itu.


ADA kesibukan luar biasa yang berlangsung sejak pagi di rumah Ajis Saleh (72), seorang sesepuh masyarakat Tambelan di Tanjungpinang sejak Kamis (17/1) kemarin. Bahan makanan dari berbagai jenis tertumpuk di pojok dapur rumah yang berada di kawasan Jalan Sukarno-Hatta itu.

Tak tanggung-tanggung, lebih dari 40 jenis makanan, dari mulai beras, ubi, kelapa, kentang, keledek, hingga keladi dan labu ada di antara tumpukan bahan makanan itu. “Ini untuk mempersiapkan bubur asyura,” kata Ajis, yang merupakan pensiunan pegawai negeri di Dinas Pendidikan Kabupaten Bintan.

Sebenarnya kesibukan mempersiapkan pembuatan bubur asyura ini bukanlah hal yang baru bagi keluarga ini. Sejak tahun 1976, sewaktu Ajis dan keluarga masih tinggal di kawasan Teluk Keriting, Tanjungpinang, tradisi seperti ini sudah dimulai.

Tapi ada yang berbeda dengan yang terjadi pada tahun ini. Jemaah Masjid As-Shobirin, masjid yang berjarak satu gang dari rumah Ajis memintanya untuk membuat bubur asyura. Waktu itu, jemaah masjid mengadakan rapat. Kemudian usulan disampaikan ke Wakil Gubernur Provinsi Kepri M Sani, yang rumahnya persis di samping masjid yang berlokasi di Jalan Cempedak itu. Sani pun menyambut baik ide tersebut. Setelah itu dikirimlah seorang utusan untuk menemui Ajis. Rencananya bubur asyura akan disajikan ada 11 Muharram, atau jatuh pada Sabtu (20/1) besok. Istri Ajis, Mishbach (60) pun ditunjuk sebagai koordinator tim pembuatan bubur asyura tersebut.

“Dulu tidak pernah. Ini memang baru yang pertama kali,” kata Ajis. Tahun-tahun sebelumnya, tradisi ini hanya dilangsungkan di rumah Ajis saja. Usai menjalankan ritual puasa pada 9-10 Muharram, seluruh sanak kerabat dan handai taulan serta warga Tambelan yang merantau di Tanjunginang diundang untuk datang ke rumah Ajis. Mereka disuguhkan bubur yang terbuat dari campuran lebih dari 40 jenis bahan makanan ini.

Dari menjelang tengah hari hingga petang, satu persatu tamu datang. Tak kurang ada 100 orang lebih yang datang tahun lalu. “Biasanya disejalankan dengan arisan ibu-ibu warga Tambelan,” kata Ajis yang juga pernah menjadi penilik Kebudayaan sewaktu bertugas di Tambelan.

Bubur asyura memang kemudian menjadi simbol, bagaimana warga Tambelan yang merantau ke Tanjungpinang tetap menjaga rasa kekeluargaan mereka. Tak sekedar datang dan mencicipi sendok demi sendok bubur tersebut, tapi mereka juga saling berbagi cerita, sekedar melepaskan rindu pada kampung halaman mereka yang terpisahkan sekitar 20 jam lebih perjalanan dengan menggunakan kapal laut dari Tanjunginang.

Dan bubur asyura sekaligus menjadi penanda bahwa rasa gotong royong masih mereka simpan. Biasanya, sebelum dimulai pembuatan bubur tersebut, sekitar tiga hari sebelum tanggal 11 Muhharram, warga Tambelan satu persatu datang ke rumah Ajis untuk menyumbang berbagai jenis makanan. Ada yang membawa beras, ubi, bahkan ikan. Setelah itu, Mishbach-lah yang kemudian menggolah seluruh bahan makanan itu menjadi bubur asyura yang memiliki cita rasa eksotis tersendiri.

Namun proses pembuatannya tak bisa dibilang mudah. Satu persatu bahan diramu dan kemudian diaduk hingga memiliki cita rasa yang khas. Seperti misalnya untuk ikan yang menjadi satu dari lebih 40 campuran bubur tersebut. Ikan yang dipilih adalah dari jenis tertentu, seperti Ikan Jahan atau Ikan Tamban. “Tapi ikan-ikan itu akan diolah. Hingga sewaktu menjadi bubur, sudah tidak nampak lagi dagingnya. Tapi rasa bubur itu memiliki rasa ikan,” kata Ajis.

Karena rumitnya roses pengolahan itulah, maka minimal dibutuhkan waktu tiga hari sebelum saat penyajian, Mishbach sudah bekerja. Kamis malam, jam dinding di rumah Ajis memang sudah bergerak ke angka 10 lebih. Namun seorang putrinya, Aria Setiani masih tampak memegang pisau dan mengupas bawang. Disamping rumah, sebuah dapur darurat sudah dibuat oleh anak-anak Ajis lainnya. Mereka bahu membahu menyelesaikan hidangan yang hanya muncul sekali setahun itu.

BUBUR ASYURA TERNYATA TAK SEKEDAR JENIS HIDANGAN MAKANAN BIASA. Lebih dari sekitar 500 tahun yang lalu, orang-orang Tambelan yang pulang dari menunaikan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah, Arab Saudi, membawa oleh-oleh. Oleh-oleh itu berupa ingatan mereka tentang satu jenis makanan lezat yang mereka lihat di Mekkah: bubur asyura.

Sesampainya di Tanah Tambelan, ingatan itu un mereka wujudkan. Siapa orang yang pertama kali membuat bubur asyura di Tambelan, mungkin sudah sulit melacaknya. Tapi, keinginan mereka untuk menjaga tradisi yang berkembang sewaktu zaman Nabi Muhammad menyebarkan Islam di Tanah Arab, membuat bubur ini pun pergi jauh, melintasi samudra, sampai ke Tambelan, yang berjarak ratusan mil dari Mekkah.

Dari berbagai literatur Islam, ternyata usia bubur asyura terbilang tua. Jenis makanan seperti ini sudah ditemukan lebih dari seribu tahun yang lalu. Kemunculan bubur asyura ada periode awal terjadi sewaktu zaman perang Tabuk, yang diperkirakan sekitar tahun kedua hijriyah. Ajis Saleh (72), seorang sesepuh warga Tambelan di Tanjungpinang membuka beberapa literatur untuk menjelaskan seputar awal berkembangnya tradisi pembuatan bubur asyura, yang ternyata berkembang sampai di Tambelan.

Bubur asyura ternyata menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan peringatan Hari Asyura yang jatuh ada 10 Muharram. Dalam Islam, setidaknya ada beberapa kejadian menunjukkan bahwa ada 10 Muharram tersebut, terjadi peristiwa-persitiwa besar. Di antaranya adalah diyakini sebagai hari selamatnya Nabi Nuh dari banjir besar yang melanda negeri. Juga sekaligus hari keluarnya Nabi Yunus dari perut ikan Nun. Selain itu, pada 10 Muharram, juga terjadi peristiwa lepasnya Nabi Ibrahim dari hukuman pembakaran yang dilakukan oleh Namruz. Juga sekaligus tanggal tersebut menandakan sebagai hari dibebaskannya Nabi Yusuf dari penjara.

Karena banyaknya momen penting yang terkait dengan 10 Muharram, maka umat muslim pun kemudian dianjurkan untuk berpuasa dan membaca sejumlah doa. Menjelang akhir hidupnya, Nabi Muhammad SAW, pun bahkan sempat menyarankan umat Islam agar berpuasa ada tanggal 9 sampai 10 Muharram.

Lantas apa kaitan Hari Asyura dengan bubur asyura? Ternyata tradisi membuat bubur asyura berkembang pada masa setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Kemunculan bubur asyura terjadi pada masa para sahabat, yang meneruskan penyebaran agama Islam periode setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Waktu itu, para sahabat terpikir, selain berpuasa, juga dianjurkan untuk membuat makanan yang bisa dikonsumsi secara bersama-sama. Lama kelamaan, makanan ini diubah sedemikian rupa sehingga setiap orang yang mampu dan mau menyumbang, dianjurkan membawa bahan makanan.

Namun akar kemunculan jenis makanan yang berbentuk sedikit kental itu sebenarnya terjadi di tengah berlangsungnya perang Tabuk yang berlangsung pada bulan Muharram. “Saat itu terjadi krisis makanan. Sehingga oleh Nabi, makanan yang tersisa diminta untuk diolah menjadi bubur. Namun karena masih kurang juga, akhirnya Nabi membuat kebijakan, beliau sendiri yang membagikan bubur itu sehingga seluruh orang yang ada kebagian,” kata Ajis.

Karena kejadiannya dibulan 10 Muharram, dan bulan tersebut bulan Asyura, maka disebutlah bubur ini sebagai bubur asyura.

DARI TANAH SUCI MEKKAH, bubur asyura melintasi samudra hingga sampai di Tanah Tambelan. Menjelang Hari Asyura, nelayan pergi ke laut mencari ikan, petani memanen sayur dan ubi di kebun, lalu mereka membawa ke rumah seorang warga untuk diolah menjadi bubur asyura. Semua berlangsung tanpa pamrih.

Puluhan mil dari rumah Ajis Saleh (72), di Tambelan, berlangsung kesibukan yang sama. Mereka tengah mempersiapkan bubur asyura untuk dihidangkan pada 11 Muharram, atau (20/1) kemarin. Namun ada yang mulai berubah kini. Setelah hukum ekonomi semakin berkembang, maka tak semua bahan-bahan pembuatan bubur asyura diperoleh cuma-cuma.

Ajis masih ingat, puluhan tahun silam sewaktu ia masih menetap di Tambelan. Menjelang pembuatan bubur asyura, para nelayan pun turun ke laut menangkap Ikan Jahan dan Ikan Tamban. Para petani di kawasan perbukitan turun membawa hasil panen sayuran.

Bahkan ada satu jenis ikan yang diburu oleh nelayan kampung menjelang acara pembuatan bubur asyura tersebut. Ikan itu dikenal dengan nama Ikan Utin, yang merupakan jenis ikan karang. Memang membeli bahan-bahan makanan untuk membuat bubur asyura tak dilarang dalam tradisi orang-orang Tambelan. “Boleh beli. Tapi kalau mencari sendiri, tak banyak mengeluarkan uang,” lanjut Ajis.

Bagi mereka yang dikenal jago memancing, justru warga meminta kesediaannya untuk turun melaut guna mencari ikan Jahan. “Tapi kalau di Tanjunginang, kita terpaksa membeli semuanya,” lanjut Ajis yang terlahir di Tambelan namun kini bermukim di Tanjungpinang ini.

Mereka mengantar semua bahan makanan tersebut ke rumah seorang warga. Di Tambelan, awalnya bubur asyura dihidangkan di masjid. Namun lama kelamaan, di setiap kampung, dipilih satu rumah untuk membuatan bubur asyura. “Satu kampung, satu rumah,” kata Ajis. Rumah yang terpilih, biasanya adalah rumah-rumah warga yang memiliki sedikit kemapanan ekonomi serta kaum perempuannya dikenal pintar memasak. Namun bila tidak pintar memasak, mereka bisa mendatangkan orang yang ahli untuk pembuatan jenis makanan ini.

“Kemudian bisa juga, orang yang dikenal di kampung itu. Misalnya seperti Datuk Kaya,” lanjut Ajis. Proses pembuatannya dikerjakan secara beramai-ramai. Minimal, 40 jenis bahan makanan dikumpulkan, dari muai beras, ubi, labu, sayur mayur, kelapa, kacang kedelai dan lainnya. Selain bahan untuk membuat bubur, juga diperlukan bahan pelengkap untuk pembuatan pelembut dan serunding.

Setelah bubur selesai, maka orang satu kampung pun dipanggil untuk mencicipi hidangan tersebut. Biasanya acara makan-makan akan digelar menjelang atau selesai sholat zuhur setia tanggal 11 Muhharam. Kalau kebiasaan di Kampung Ujung, Tambelan, acara suguhan hidangan bubur asyura akan digelar di Gedung Bintang Timur atau Sabda Bertuah, sebuah tempat yang sering difungsikan laiknya gedung pertemuan tersebut.

Setelah munculnya era perantauan orang-orang Tambelan menuju Tanjungpinang, tradisi seperti ini tetap mereka jaga. Setidaknya ada dua keluarga yang tetap melangsungkan tradisi ini di tanah perantauan mereka di Tanjungpinang. Selain Keluarga Haji Ahmad Mubara yang bermukim di kawasan Jalan Mawar, Kampung Tambak waktu itu, juga ada keluarga almarhum Muhammad bin Arif beserta amarhumah istrinya Suraibah bin Haji Abdul Rani yang bermukim di Teluk Keriting. Sebelumnya, sewaktu masih bermukim di Kampung Ujung, Tambelan, keluarga inilah yang memimpin pembuatan bubur asyura. Sewaktu merantau ke Tanjunginang pada tahun 1976, tradisi ini tetap diteruskan.

Sewaktu proses pembuatan, telah menjadi kebiasaan orang-orang Tambelan yang ekonominya sedikit lebih untuk menyumbangkan bahan-bahan makanan untuk membuat bubur tersebut. Setelah meninggalnya Suraibah, kemampuan membuat bubur asyura ini diwariskan kepada anaknya Mishbach (60), yang merupakan istri Ajis. Kini Mishbach lah yang melanjutkan tugas sebagai penjaga tradisi itu. Ilmu itu perlahan ia turunkan kepada Aria Setiani, seorang putrinya. Dulu, Mishbach juga mendapatkan ilmu ini dari warisan keluarganya. Kini di tengah zaman yang semakin cepat berubah, mereka masih tetap setia mempertahankan tradisi itu. (trisno aji putra)

Selasa, 19 Februari 2008

Sesuatu Telah Baik Kembali...

Kawan-kawan pembaca blogku... tulisan ini adalah penjelasan posting sebelumnya. Selasa sore kemarin telah terjadi kerusakan terhadap blogku. Namun, sahabatku, Camat Sontoloyo telah memperbaiki kesalahannya. dan kini blogku sudah bisa diakses lagi. dengan demikian, maka kutariklah tuduhanku terhadap Camat Sontoloyo itu. semoga ini bisa memperbaiki tempayan yang telah retak itu....hihi

Sesuatu Telah Terjadi....

Kawan-kawan pembaca blog ku. pada sore ini, telah terjadi sesuatu yang menyebabkan aku kehilangan akses terhadap blogku......dan penyebab dari semua ini adalah paham narsisme....terkutuklah sahabatku pencinta narsis...CAMAT SONTOLOYO........Sekarang kuanggap dia sebagai tertuduh perusak blogku ini......maafkanlah aku pembaca.

Jejak Sebatang Gambir Terakhir di Tanah Bintan...


SORE yang masih mendung di bilangan Jalan Gambir, Tanjungpinang. Seorang gadis berambut panjang melintas persis di sisi plang jalan yang bertuliskan Jalan Gambir, sebuah jalan yang cukup padat lalu lintasnya. Kanan kiri berjajar ruko yang menjajakan aneka produk. Pada satu bagiannya, tepatnya di Lorong Gambir, jadi sentra penjualan sayur mayur dan aneka sembako.

Nama jalan ini adalah sebuah saksi bisu dan sekaligus kenangan kita atas kejayaan komoditas gambir yang sempat mendunia. Beberapa abad lalu, orang bahkan mengenal Tanjungpinang sebagai sentra perkebunan gambir. Peminat komoditas ini, bahkan sampai ke Eropa. Proses transaksi dagangnya, dengan lebih dahulu transit di Singapura, baru kemudian diteruskan ke berbagai negara.

Kabarnya, sewaktu komoditas gambir masih berjaya dulu, persis di tempat yang sekarang dijadikan sebagai Jalan Gambir, pernah berdiri areal gudang, yang digunakan untuk menyimpan komoditas gambir sebelum diekspor ke Singapura. Jadi, para petani gambir yang banyak bercocok tanam di sekitar areal Ulu Riau, Batu Delapan, juga di kawasan Lagoi, Bintan Utara, Kabupaten Kepri, membawa gambir tersebut ke Tanjungpinang. Di tempat inilah terjadi transaksi antara petani gambir dengan pedagang.

Sayang, mungkin sekarang orang sudah tak banyak lagi mengenal tumbuhan yang masuk dalam kelompok kopi-kopian tersebut. Cirinya, selain memiliki batang berkayu yang tumbuh secara merambat pada batang pohon. Selain itu, daunnya, bulat seperti telur. Adapun bagian dri tumbuhan ini yang digemari konsumen adalah getahnya, yang diambil dari bagian daun.

Saking terkenalnya komoditas gambir dari Tanjungpinang, bahkan satu di antara tiga jenis tumbuhan gambir diberi nama Riau. “Jadi ada tiga tipe, yakni udang, cubadak, dan Riau,” kata Arif Wijaya, peneliti sejarah dari Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (Jarahnitra) Tanjungpinang.

Kegunaan gambir sendiri, hingga sampai diburu oleh pedagang dari Eropa, satu di antaranya karena dapat digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan minuman keras sejenis anggur. Selain itu, bagi pabrik-pabrik pembuat sutera maupun perlengkapan baju militer, getah gambir dibutuhkan dalam proses pencelupan. Selain itu, kadang juga digunakan sebagai obat penyakit perut, seperti disentri dan lainnya.

Ada banyak versi tentang bagaimana gambir didatangkan ke Tanjungpinang dan ditanam secara massal. Satu versi, seperti yang diceritakan oleh Arif, adalah masa ketika kawasan Sungai Ulu Riau dijadikan pusat pemerintahan kerajaan Melayu pada sekitar abad 17. Ketika Yang Dipertuan Muda Daeng Celak memegang pemerintahan, perkebunan gambir mulai dikembangkan.

“Pada waktu itu, bibit gambir didatangkan dari Sumatera, yang dibawa oleh Temenggung Tarum dan Temenggung Cedun. Awalnya, kepemilikian kebun gambir dipegang oleh orang Melayu dan Bugis. Sementara Tionghoa memainkan peran sebagai pengolah komoditas tersebut.
***
TIGAPULUH TAHUN LALU, ribuan pohon gambir tumbuh subur di lahan seluas sekitar 50 hektare itu. Kalau dipandang dari kejauhan, kata seorang warga, tampak hijau dan indah, laiknya perkebunan teh di punggung-punggung bukit di sekitar kawasan Puncak, Jawa Barat.

Tapi waktu 30 tahun sudah mengubah semuanya. Yang tertinggal dari ribuan itu kini hanyalah sebatang pohon gambir terakhir. Ia tumbuh tanpa dikehendaki, begitu saja. “Ini sisa-sisa bibit pohon gambir dulu,” kata Suyati, pemilik mangsang, sebutan untuk pabrik gambir di kawasan Kampung Jibut, Bintan Utara, Kabupaten Kepri.

Pohon gambir terakhir itu tumbuh di samping rumahnya. Selain gambir, sisa-sisa kejayaan mangsang yang dulunya dalam seminggu bisa berporduksi sampai 2,5 ton, adalah tempat pembakaran dan beberapa kuali yang digunakan untuk memasak gambir.

Juga mungkin yang tersisa adalah kenangan atas indahnya zaman keemasan gambir. Gambir adalah surga bagi para petani di pedalaman. Bayangkan, satu kilogram di sekitar tahun 1975 saja, getah gambir sudah dihargai sampai tiga ribu rupiah, sebuah jumlah yang lebih dari sekedar cukup untuk bisa hidup sejahtera.

Selain kawasan Simpang Busung dan lembah di tepian Sungai Ulu Riau, Lagoi dulunya juga surga bagi para petani gambir. Ribuan hektar dengan ratusan hingga bahkan jutaan pohon gambir tumbuh subur di sana. Harga gambir tak pernah jatuh. Zaman keemasan gambir produksi Pulau Bintan itu bahkan sempat diburu oleh para saudagar pabrik kulit dari Italia. Getah gambir diyakini, dan terbukti, dapat menjadi alat pencampur yang baik dalam proses produksi sutera dan kulit di Italia. Selain itu, saudagar minuman keras dari jenis anggur di Perancis juga rajin berburu gambir di Bintan.

Tapi semua itu hanya tinggal kenangan indah para petani gambir di Bintan. Hasil pelacakan untuk berburu sisa-sisa kejayaan gambir di kawasan sekitar Simpang Busung dan Lagoi, hanya berhasil menemukan sebatang pohon gambir terakhir di samping rumah Suyati itu. Tak ada lagi yang tersisa. Lagoi kini sudah menjelma menjadi surga bagi wisatawan dan backpacker dari berbagai penjuru dunia. Investasi asing yang masuk dalam jumlah jutaan dolar telah mengubah kawasan itu menjadi pusat wisata internasional, yang gaungnya menembus penjuru dunia, sampai Eropa dan Amerika.

Para saudagar gambir pun, sejak sekitar 1975 ke atas, satu persatu melego mangsang mereka kepada investor. Tak ada lagi kebun gambir tersisa. Tapi, tentang cerita kejayaan para saudagar gambir itu dari mulut ke mulut, masih dapat didengar. Di antara para saudagar gambir yang cukup berhasil kala itu, sebut saja di antaranya, Samui, Yontik, Mayang, Ahue, Kateni, juga Dukut. Mereka tak hanya dari etnis Tionghoa saja. Seperti Kateni dan Dukut, berasal dari Tanah Jawa.

Suyati, mantan pemilik mangsang di Simpang Busung, juga masih ingat tentang nama Tauke Bungyu di Pelantar II. Kepada tauke Bungyu inilah, para petani gambir dari Simpang Busung dan Lagoi menjual hasil getah gambir olahannya.
***
SEKITAR 50 hektar bekas kebun gambir itu kini telah berubah menjadi kebun getah. Ada masa transisi memang, ketika di sela-sela gambir ditanami getah. Namun lama kelamaan, seiring dengan tak ada lagi pembeli gambir, pohon dari jenis kopi-kopian itu pun ditebang habis. “Kalau tak ditebang, mengganggu pohon getah,” kata Suyati, pemilik mangsang, sebutan untuk pabrik gambir, di Simpang Busung, Bintan Utara, Kabupaten Kepri.

Tapi hasil pohon getah tak terlalu menggiurkan bila dibandingkan dengan gambir. Saat ini, sekilo, harga getah dalam bentuk sebelum diolah, hanya sekitar empat ribu rupiah. Padahal harga gambir di tahun 1975 saja sudah mencapai tiga ribu rupiah per kilonya.

Suyati mengaku, terpaksa menebang satu persatu pohon gambirnya, karena komoditas itu sudah tak ada lagi yang tertarik membeli. Seiring dengan dibukanya kawasan wisata internasional Lagoi, mangsang di kawasan itu tutup. Pasokan gambir pun menjadi berkurang. Tauke Bungyu, orang yang dikenal sebagai pembeli getah gambir di Pelantar II Tanjungpinang pun tak bisa berbuat banyak seiring dengan semakin merosotnya pasokan gambir.

Sekedar kenangan, di Lagoi dulu, ada sederet nama yang dikenal sebagai tauke mangsang. Di sekitar 1975 ke atas, satu persatu mereka melego mangsang mereka kepada investor yang akan membangun kawasan Lagoi. Tak ada lagi kebun gambir tersisa. Tapi, tentang cerita kejayaan para saudagar gambir itu dari mulut ke mulut, masih dapat didengar. Di antara para saudagar gambir yang cukup berhasil kala itu, sebut saja di antaranya, Samui, Yontik, Mayang, Ahue, Kateni, juga Dukut. Mereka tak hanya dari etnis Tionghoa saja. Seperti Kateni dan Dukut, berasal dari Tanah Jawa.

Lepas dari itu, Suyati, mantan pemilik mangsang di Simpang Busung, juga masih ingat zaman keemasan gambir dulu. Di ladang gambir miliknya itu, belasan buruh yang rata-rata berasal dari Tanah Jawa, bekerja bahu membahu. Masing-masing pekerja memainkan perannya sendiri. Ada pemetik daun gambir, ada pula sebagai tukang masak, lalu ada sebagai pencari kayu bakar.

Proses memasak gambir butuh waktu sehari penuh. Biasanya dimulai dari sekitar pukul 05.00 WIB di pagi buta, dan baru diangkat dari kuali menjelang maghrib. Biasanya, mereka memetik daun gambir kala sore hari. Daun-daun itu dalam hitungan minggu sudah tumbuh kembali. Sehingga selesai para pekerja memetik satu deret pepohonan gambir, mereka kembali lagi ke awal untuk memetik daun gambir yang mulai merekah. Begitu, berulang-ulang.

Untuk membawa gambir ke Tanjungpinang, biasanya digunakan sepeda, untuk kemudian disambung dengan sampan, dari perairan sekitar Simpang Busung menuju Pelantar II. Alat angkut gambir sendiri diberi nama lonteng, yang terbuat dari kawat. Sebuah lonteng tua yang telah dimakan usia dan tampak berwarna kehitaman karena terlalu sering terkena asap, masih disimpan Suyati di dapur rumah miliknya. Lonteng tua itu sekaligus sebagai pengingatnya, bahwa dulu, dari lembar demi lembar gambir, ia melangsungkan hidup.

Itulah gambir, sebuah komoditas ekspor yang sempat mendunia dari Tanjungpinang. Sayang, budidaya tanaman ini sudah tak lagi dikembangkan. Areal perkebunan gambiri sendiri di Kepri kini hanya ada di Tanjungbatu, Kabupaten Karimun. Padahal, dari lembar demi lembar daun gambir itu dulu, selain menciptakan lapangan kerja, juga sekaligus penggerak sektor ekonomi riil bagi masyarakat pedalaman. (trisno aji putra)

Minggu, 17 Februari 2008

Sebatang Gambir Terakhir di Batas Ingatan...






GAMBIR adalah kisah tentang kejayaan petani Bintan 30 tahun silam. Komoditas yang mendunia dan menjadi produk andalam ekpor dari Tanah Bintan ini bahkan melegenda. Di jantung Kota Tanjungpinang, kenangan akan kejayaan komoditas ini diabadikan menjadi nama jalan: Jalan Gambir. Namun kini, gambir terlupakan. petani enggan menanamnya lagi karena tidak ada jaringan pemasaran yang masih bertahan. Publikasi selanjutnya dari tulisan ini akan mengupas seputar perburuan sebatang gambir terakhir di Tanah Bintan. berikut ditampilkan hasil perburuan terhadap sebatang gambir terakhir yang ditemukan di Desa Jibut, Ekang Anculai, Kabupaten Bintan. Foto-foto selain menampilkan pohon gambir terakhir itu, juga dilengkapi dengan bekas alat perapian untuk memasak gambir....

Sabtu, 02 Februari 2008

Sebuah Sore yang Diam


Kepada siapakah setiap pejalan akan kembali. Kita selalu menjadi penjalan, sebab hidup adalah kumpulan perjalanan. Tapi, di tikungan manakah kita akan melihat akhir perjalanan? Aku sudah berjalan begitu jauh, menurutku. Kadang aku selalu harap-harap cemas ketika sampai pada sebuah tikungan. Apakah ini tikungan terakhir yang harus kulalui?....

Jumat, 01 Februari 2008

Penyelamatan Naskah Kuno di Penyengat :Bagian Dua




SEJARAH peradaban adalah sejarah yang dibuat oleh kertas dan pena. Naskah-naskah kuno di Penyengat menjadi saksi bisu bahwa dulu, seratusan tahun lampau, pernah tumbuh sebuah peradaban di sana. Namun kini, jejak-jejak terakhir peradaban Penyengat yang masih tertuang dalam naskah-naskah kuno itu terancam musnah di makan usia.
SATU hari penuh Jan van der Putten dan koleganya, Alex Teoh, berkeliling Penyengat. Mereka juga sempat mendatang rumah seorang warga Penyengat, Raja Fuad, yang menyimpan naskah-naskah Melayu kuno sebagai koleksi pribadi. Jan dan Alex membawa setumpuk plastik bening, yang sekilas tampak seperti kantong gula. Tapi kantong plastik itu memiliki fungsi tak sekedar sebagai alat pembungkus, tetapi juga sekaligus saringan terhadap sinar ultraviolet yang selalu mempercepat pelapukan naskah.
Ini memang kesibukan baru Jan dan Alex. Jan sebenarnya bukan kali pertama datang ke Penyengat. Pengajar sastra Jawa dan Melayu di National University of Singapore (NUS) ini bahkan sempat “berhutang budi” pada naskah-naskah kuno itu. Disertasi Jan mengangkat seputar surat-surat Haji Ibrahim. Selain itu, Jan juga pernah membuat buku yang berisi kumpulan surat-surat Raja Ali Haji kepada sahabatnya Herman von de Wall.
Sejak sekitar tahun 1995 Jan sudah membuat penelitian tentang naskah-naskah kuno di Penyengat. 13 tahun setelah itu, kini ia kembali lagi bersama Alex, ahli kertas dan manuskrip dari Asean Heritage, Singapura.
Dan pada sebuah pagi di akhir pekan lalu, Alex dengan sigap membersihkan setumpuk naskah yang dimiliki oleh Raja Fuad. Di antara naskah kuno yang usianya jauh lebih tua dari Alex itu, terselip sejumlah surat-surat saham dan surat tanah. Menggunakan sebuah kuas dan beberapa perkakas pelengkap, Alex membersihkan naskah dan menyimpannya dalam plastik khusus. “Ada karat. Ini penyebabnya mungkin menggunakan stapless,” kata Alex. Selain itu, ia menjelaskan bahwa tinta juga bisa memakan kertas. “Coba lihat ini,” lanjutnya seraya menunjukkan sebuah naskah yang bolong tepat di huruf-huruf Arab gundul yang tertera pada naskah.
Alex memperkirakan, bila pola penyimpanan naskah kuno di Penyengat kurang berhati-hati, diperkirakan dua atau tiga tahun lagi naskah tersebut akan musnah. Karena itu perlu dilakukan langkah lain dalam cara penyimpanannya. Dengan cara itu, diharapkan naskah masih bisa bertahan di atas waktu 50 tahun lagi.
Memang, tumpukan naskah itu telah melahirkan kerisauan tersendiri. Jan yang pengajar sastra mengakui, ketertarikan anak-anak muda saat ini untuk memperdalam sejarah dan naskah-naskah kuno sangat kecil. Ia mencontohkan seperti kelas sastra Melayu yang ia ajar di UNS. “Hanya delapan mahasiswanya,” kata Jan yang fasih berbahasa Melayu dan berisitri seorang wanita Indonesia asal Medan.
Tapi fenomena ini bukan terjadi di Asia Tenggara saja. Seluruh dunia menunjukkan gejala yang sama. Anak-anak muda lebih senang memperdalam dunia tekhnologi informasi, karena lebih banyak memberikan peluang kerja dibandingkan menjadi seorang sejarawan. “Tapi kita tidak tahu 50 tahun lagi nanti bagaimana,” kata Jan. Jangan-jangan, justru nanti tren akan berubah dan banyak orang akan kembali mengkaji sejarah. Karena itu, naskah-naskah kuno yang ada sat ini harus dipertahankan dan disimpan untuk diwariskan ke generasi masa depan.
Dan Penyengat di mata Jan, memiliki kekayaan naskah. Ia menolak anggapan bahwa untuk belajar sastra Melayu meski harus pergi ke Museum Leiden di Belanda. Memang, sejak zaman kolonial, banyak naskah yang dibawa ke Eropa oleh para pemburu naskah. Tapi ternyata yang masih tersimpan di Penyengat, cukup banyak, dan diperkirakan jumlahnya bisa mencapai ratusan.
Naskah-naskah Melayu yang dibawa ke Eropa sendiri menurut Jan belum bisa menggambarkan kondisi sastra Melayu secara keseluruhan. “Mereka punya misi ketika membawa naskah tersebut. Sehingga naskah yang dibawa pun hanya seputar hikayat dan cerita-cerita hantu. Dan ini yang mempengaruhi pandangan orang terhadap sastra Melayu klasik.
Padahal masih banyak naskah-naskah seputar dunia Islam yang masih terserak di Penyengat. Jan, yang ternyata adalah seorang muslim ini menyimpan obsesi sendiri. Ia ingin mendata dan menyusun katalog naskah-naskah Melayu kuno di Penyengat. Nantinya ia berharap bisa memberikan gambaran lain bahwa sastra Melayu klasik sangat kaya warna, tidak sekedar bercerita tentang hal-hal mistik saja. (trisno aji putra)