Selasa, 08 Januari 2008

Ali Achmad, Maestro Pantun Asal Tanjungpinang

TANYAKAN siapa Ali pada warga kota. Tak semua orang kenal. Tapi tambahkan embel-embel di belakangnya, “Pak Ali Tukang Pantun”. Dalam hitungan detik, orang pun langsung paham. Terlebih bagi warga kota yang pernah menikahkan anaknya dalam adat Melayu, mereka akan langsung teringat, siapa Ali Ipon.
Nama lengkapnya sebenarnya adalah Muhammad Ali Achmad. Ia pensiunan guru Bahasa Inggris di SMP 5 Tanjungpinang. Meski usianya sudah lewat kepala enam, tetapi ayah dari lima anak ini masih kocak. “Saye ni ngajar Bahasa Inggris. Tapi bise berpantun. Tak nyambungkan,” kata Ali, dalam logat Melayu. “Tak percaye?” Ali diam sejenak. Dalam hitungan detik, ia pun langsung mengucapkan pantun empat baris.
“If you want to go to United State/ You can go by plane that high speed/ Because the time is limited/ I just explain only a little bit,” kata Ali.

***
SIANG itu kami berpapasan di Jalan Lembah Purnama, sekitar 200 meter dari rumahnya. Ali tak ada di rumah waktu disambangi. “Kakek tadi pergi ke masjid,” kata seorang cucunya. Tapi waktu zuhur sudah lewat hampir satu jam, Ali belum pulang. Rupa-rupanya ada kesibukan lain yang dilakukan lelaki kelahiran Tanjungpinang 1 Maret 1941 ini.
“Saye dengar memang begitu. Tapi sampai sekarang saya belum mendapat kabar resminya,” kata-kata itulah yang pertama kali keluar dari mulut Ali begitu ditanyakan seputar terpilihnya ia menjadi satu dari 27 maestro budaya Indonesia. Ali dinobatkan sebagai maestro bidang pantun.
Obrolan pun berpindah ke ruang tamu rumahnya. Ali mengambil beberapa tumpukan kertas. Juga menunjukkan dua koran nasional yang didalamnya memuat berita Ali sebagai maestro pantun Indonesia. “Saye pun baru tahu dari koran. Waktu itu seorang kawan telpon saye, suruh beli koran ini. Saye pun beli. Memang tertulis ade name saya,” kata Ali sambil menunjukkan koran yang dimaksudnya.
Karena itu Ali pun masih ragu. Sebab, kalau pun benar ia dipilih sebagai maestro pantun Indonesia, ia yakin pastilah ada orang dari Jakarta yang akan menghubunginya. Padahal berita yang dimuat di dua Koran nasional itu terbit pada edisi minggu keemapt Desember lalu. “Entah buaye/entah kata/ Entah iye/entah tidak,” kata Ali berseloroh dalam pantun yang tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutnya.
Kehebatan Ali memang adalah reflek yang dimilikinya dalam mengolah kata hingga tersusun memiliki akhiran dengan bunyi yang sama. Hanya butuh hitungan detik, otaknya mengolah ribuan kata hingga meluncur empat baris kata yang terdengar enak di gendang telinga.
Tapi Ali mengakui, memang pada sekitar November 2007 lalu, Plt Kepala Dinas Pariwisata Tanjungpinang Abdul Kadir Ibrahim (Akib) mengontaknya. Waktu itu, cerita Ali, Akib mengatakan bahwa Ny Pudentia, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) ingin bertemu dengannya. Pudentia datang ke Tanjungpinang memang dalam rangka untuk mencari masukan, siapa-siapa saja ahli tradisi lisan dari daerah ini yang bisa diusulkan untuk menjadi maestro.
Ali pun sempat diwawancara langsung oleh Pudentia di sebuah hotel di Tanjungpinang. Ternyata Pudentia sebelumnya sudah sempat dua kali melihat Ali menunjukkan kemampuan olah kata menjadi bait pantun. Pertama sewaktu digelar acara revitalisasi Budaya Melayu di Senggarang tahun 2005, dan kedua pada sebuah acara di Gedung Daerah, Tanjungpinang.
Setelah itu, Ali pun diminta Pudentia untuk unjuk kemampuan pada sebuah atraksi acara meminang pengantin dalam tradisi Melayu. Atraksi itu langsung di syuting oleh kru Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

***
ALI, pantun, dan acara perwkawinan adalah tiga bagian berbeda yang ternyata membentuk kesatuan dalam hidup lelaki lulusan Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) Tanjungpinang ini. Nama Ali jadi berkibar sebagai “Laksemana Pantun” di Tanjungpinang karena kesatuan dari tiga hal tersebut. Tiap akhir pekan, Ali sulit dihubungi, karena mesti memainkan peran sebagai Penghulu Adat di sejumlah acara pernikahan. Penghulu Adat berperan sebagai orang yang mewakili mempelai wanita dalam perkawinan tradisi Melayu. Si Penghulu Adat akan menerima mempelai laki-laki dengan melontarkan sejumlah pantun.
Peran sebagai penghulu adat itu terjadi kebetulan saja dalam hidup Ali.
Ia masih ingat, waktu itu sekitar tahun 1970-an awal. Temannya, yang juga tetangganya, menikahkan anak perempuannya. Ketika mempelai laki-laki sudah hampir tiba, mendadak ternyata tukang pantung yang telah disiapkan mengundurkan diri. Maka sang teman pun memohon agar Ali yang menggantikannya. Dalam situasi darurat serta seperti tak diberi pilihan lain, Ali pun memberanikan diri menerima tawaran itu. “Saye waktu itu seperti bidang terjun, he-he-he,” katanya, terkekeh.
“Untungnya mempelai laki-laki waktu itu Orang Jawa. Jadi tak terlalu paham pantun,” kata Ali tersenyum, sambil mengenang kisah tiga dekade lalu. Maka Ali pun ambil ancang-ancang. “Buah cempedak di tepi pagar/Ambil galah tolong jolokkan/Saye ni budak baru belajar/Kalau salah, tolong ditunjukkan,” itulah pantun pertama yang diucapkan Ali dalam sebuah acara formal.
Ternyata yang punya hajat merasa cukup senang dengan Ali. Dan cerita kehebatan Ali berpantun tersebar dari mulut ke mulut. Mula-mula, ponakannya menikah. Ali pun diminta menjadi penghulu adat. Lalu saudaranya yang lain, hingag kemudian tetangga dan akhirnya masyarakat satu Tanjungpinang pun meminta bantuannya. Kini dalam sebulan, tak kurang dari 15 panggilan untuk menjadi Penghulu Adat dijalankan Ali.
Tapi justru peran itu membawa berkah rezeki tersendiri dalam hidup Ali. Ia pun membisikkan, berapa uang yang ia terima sebagai “honor” atas kemampuannya membawakan pantun dalam setiap acara perkawinan. Jumlahnya pun tidak sedikit, dan jauh lebih besar dari uang pensiun bulanan PNS yang diterimanya.
Tapi Ali tak memperdulikan persoalan honor. Baginya, itu merupakan kepuasan tersendiri, karena masih bisa memasyarakatkan pantun di zaman ketika globalisasi datang seperti tanpa bisa dilawan. “Anak-anak dan cucu-cucu saye saja sudah tidak bisa berpantun,” kata Ali, sedikit menerawang.

***
TANJUNGPINANG sekitar tahun 1950-an adalah Tanjungpinang yang akrab dengan pantun. Anak-anak sekolah bercanda gurau, saling mengejek, bahkan menembak gadis idaman dengan menggunakan pantun. Beda dengan kini. Mereka lebih akrab dengan mal, lagu top forty Amerika, film Hollywood, dan saban akhir pekan nonton sepak bola Liga Inggris.
Ali dibesarkan dalam buaian irama kata yang menghasilkan bunyi eksotis di tiap akhir baitnya. Ali berkisah tentang ibundanya tercinta. Ketika usia enam tahun, Emaknya akan menghantarkan Ali kecil tertidur dengan untaian kata yang dikemas dalam pantun dan syair. Semua itu kemudian tertanam dalam alam bawah sadarnya. Maka ketika ditanyakan kepadanya, mengapa hanya dalam hitungan detik ia sudah bisa menemukan kalimat untuk membalas pantun yangdilontarkan kepadanya, maka jawabannya adalah kenangan masa kecilnya. Emaknya menanamkan semua kemampuan itu ketika ia masih berada dalam buaian.
Selain itu, Ali juga melihat bahwa pantun yang menjadi bagian dari tradisi lisan mulai tersisihkan oleh seni sejenis, seperti puisi dan syair. Ali tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Namun tahun-tahun belakangan, ia melihat ada perkembangan yang berarti. Para pejabat di daerah ini mulai sering melontarkan pantun untuk mengakhiri pidatonya. Dan Ali pun kadang dimintai olehpara pejabat tersebut untuk membuat pantun sebagai pelengkap kata sambutan. Lumayan, kadang ia mendapatkan honor tak sedikit atas kemampuannya itu.
Itulah kisah Ali, sang maestro pantun yang kocak. Kalau seandainya nanti ia akan dinobatkan menjadi maestro pantun, maka obsesi Ali pun hanya satu: memasyarakatkan pantun. (trisno aji putra)

Tidak ada komentar: