Kamis, 25 September 2008

Puting Beliung Terjang Kawal



Matinya Komedi Putar di Tangan Sang Angin

TAK ada lagi kisah cinta seorang kembang desa dan seorang bujang kampung di atas komedi putar itu untuk sementara waktu. Puting beliung telah menghentikannya dua hari lalu. Bagi orang kampung, komedi putar tak sekedar hiburan murah milik rakyat kecil saja, tetapi sekaligus tempat cinta pernah bersemi di hati orang-orang sederhana itu.

Berita tentang komedi putar yang berhenti berputar itu pun cepat menyebar ke penjuru kampung di bibir Pantai Trikora itu. Ada yang menghela nafas panjang, tetapi lebih banyak yang tak memperdulikan. Adalah duka yang menggantung di pelupuk mata sekitar 146 jiwa, penghuni 41 rumah, yang meminggirkan kisah tentang berhentinya komedi itu berputar. Dan warga pun mungkin tengah tak membutuhkan komedi putar, sebab, mereka tengah berharap, uluran tangan itu cepat datang.

Tapi tidak demikian halnya dengan Asmawi, pimpinan sekaligus pemilik komedi putar “Dunia Fantasi Bintan”. Baginya komedi putar adalah harapan, sekaligus periuk nasinya. Dan sekaligus, dengan komedi putar itulah, Asmawi berhasil membuka peluang pekerjaan bagi 18 warga untuk menjadi pedagang aneka produk pakaian dan makanan di sekeliling areal pertunjukan komedi putarnya. Berhentinya komedi itu berputar, berarti sama saja dengan membiarkan asap tidak mengepul lagi dari dapur rumah mereka.

“Saya lemas…hampir hancur semuanya,” kata Asmawi, yang masih saja memandangi komedi putarnya yang dijilat puting beliung sehari sebelumnya. Selain menerjang rumah warga yang ada di pesisir pantai, komedi putar itu pun tak luput dari amukan sang angin. Sejumlah perkakas komedi putar rusak, dan barang-barang dagangan dari mulai pakaian hingga makanan terbang disapu angin.

Duapuluh hari yang lalu, atau menjelang awal Ramadhan, Asmawi membawa sepuluh anak buahnya serta 18 pedagang koleganya menempuh rute Tanjunguban menuju Kawal, Kecamatan Bintan Timur. Sebelumnya selama sekitar sebulan, komedi putar itu diparkir di Tanjunguban. Dan awal bulan puasa, ia melihat bahwa sudah saatnya komedi putar itu bergerak ke Kawal, sebuah kelurahan yang berada di pesisir, dengan penduduk yang sekitar lima ribu jiwa.

Sebuah lahan tanah merah kosong yang ia sewa dari PT Bintan Inti Sukses (BIS) senilai Rp 2,5 juta, yang tepat berada di depan Pasar Kawal, kemudian ia sulap menjadi tempat pertunjukan komedi putarnya. Ada empat jenis permainan rakyat yang dibawa Asmawi. Selain komedi putar, juga ada kincir angin, kereta api-kereta apian, dan payung kuda-kuda.

Izin pun ia urus, dari mulai ke Kantor Camat Bintan Timur, sampai ke Kantor Polsek. Setelah semua dikantongi, dengan senyum mengembang, Asmawi pun langsung membuka arena komedi putar itu. Anak-anak nelayan pada malam pembukaan berhamburan, mencoba permainan yang baru bisa mereka nikmati setelah menyerahkan sejumlah rupiah itu.

Dulu, tahun 1990-an, komedi putar adalah kisah tak terpisahkan dari masa kecil bocah-bocah di kota-kota besar. Tapi kemudian adalah play station, nintendo, atau sejenis permainan komputer lainnya menggeser komedi putar. Maka kemudian komedi putar pun lari dari kota, menuju desa, kelurahan, dan pelosok-pelosok kampung nelayan. Di tempat yang belum diserbu oleh mainan karya orang-orang berkacamata tebal itu, komedi putar masih bisa hidup, dan menjadi pilihan hati gadis dan bujang kampung untuk melewatkan malam mingguan.

Dan di Kawal, sejak sekitar 20 hari lalu, komedi putar “Dunia Fantasi Bintan” itu pun menjadi pilihan warga untuk mencari hiburan murah. Tapi sayang, angin tak bisa membaca itu, dan puting beliung pun tak pandang bulu. Dalam hitungan lima menit, komedi putar itu pun benar-benar telah berhenti berputar.

Kerugian 40 Jutaan

“TOTAL kerugian di areal komedi putar ini sekitar empatpuluh jutaan,” kata Asmawi. Asmawi memang tak menanggung sendiri, sebab jumlah kerugian itu merupakan akumulasi dari 18 pedagang yang ikut berjualan di situ. Tapi, angin memang telah menjadi mimpi buruk dalam sejarah komedi putar itu kemudian.

Asmawi adalah orang Tanjungpinang, tapi bersama komedi putar itu, ia sudah melanglang buana ke seantero kampung di pulau yang berbeda, bahkan sampai menyebarnag ke Provinsi Jambi. Sejarah komedi putar itu sduah terbilang tua. Sebelum dipertemukan dengan Asmawi pada tahun 2003, komedi putar ini adalah milik seorang juragan di Surabaya, Jawa Timur. Saat itu, areal mentas komedi putar yang bernama “Dunia Fantasi” ini keliling Jawa Timur.

Setelah dibeli oleh Asmawi seharga Rp 300 juta, komedi putar itu pun naik kapal menuju kepulauan. Satu tahun pertama, komedi putar ini parkir di Batam. Saat itu Batam masih dikenal sebagai surga uang bagi wilayah Kepri. Banyak perkeja di sana yang butuh hiburan murah, dan komedi putar adalah pilihannya. Setahun, Asmawi berkeliling Batam, sebelum tahun 2004, melalui satu kontainer kapal barang, komedi putar itu didaratkan di Tanjungpinang.

Dan setelah itu, mulailah Asmawi dan komedi putarnya menjamah kampung-kampung terpencil, membuka hiburan, bahkan sampai ke Kuala Tungkal, Provinsi Jambi sana. Dan selama perjalanan menjelajah pulau itu, tak pernah putting beliung menerjang. Tapi hari Minggu (21/9) kemarin, untuk pertama kalinya, komedi putar itu diterjang puting beliung.

Asmawi hari Minggu petang itu sedang pulang ke Tanjungpinang. Komedi putarnya dijaga oleh sepuluh karyawannya. Saat itu telpon berdering dari anak buahnya dengan isi singkat saja: puting beliung menerjang!

Dari empat permainan yang ada, komedi putar rusak paling parah. Atapnya, yang terbuat dari terpal terbang enah ke mana, sementara yang tersisa pun sudah robek di sana-sini. Mainan kereta api juga rusak bagian atapnya. Tapi ajaibnya, kincir angin, yang tinggi menjulang sampai belasan meter itu, hanya terjamah sedikit oleh sang angin. Ada yang rusak, tapi tak parah.

“Kalau perbaiki atap kincir angin hanya enam jutaan, atap kereta api hanya dua juta. Tapi lumayan besar juga,” kata lelaki berkacamata minus itu, menghitung kerugiannya. Tapi yang parah adalah kerusakan yang diderita oleh para pedagang yang berjualan memanfaatkan keramaian komedi putar itu. Seorang tukang jual bakso, yang Asmawi tak tahu persis siapa namanya, namun ia kenal baik wajah orang itu, adalah lelaki paling naas pada hari itu. Satu gerobak baksonya yang sudah siap jual, terbalik dihantam angin sore itu.

Tapi pertunjukkan tetap harus berjalan, dan komedi harus kembali berputar, agar ia seperti namanya, yang berarti sebuah kelucuan. Ketika benda permainan anak-anak itu berhenti berputar, maka namanya pun bukan komedi, bisa jadi malah tragedi. “Saya akan perbaiki. Mungkin satu minggu lagi bisa dipakai,” kata Asmawi, sambil menguatkan tekad bahwa ia tak boleh roboh oleh hantaman beliung, bahwa ia akan bertahan di sana sesuai rencana, yakni sampai habis lebaran.

Iwan, seorang pedagang makanan lain yang ikut berjualan di areal komedi putar itu sama seperti Asmawi. Ia punya tekad, untuk kembali berjualan. Ia mengemasi dagangannya yang porak poranda. “Saya akan berjualan lagi,” katanya. (trisno aji putra)

Kamis, 04 September 2008

Luqmaan

AKU selalu merindukan telaga itu....

Telaga berair jernih yang kepadanya aku melihat ada sumur harapan. Saat senja dan fajar, aku selalu datang ke telaga itu, duduk di sampingnya, dan mendapatkan jawaban bahwa hidup ternyata tidak sekedar kebencian dan dendam, tapi cinta, kasih sayang, dan rasa saling berbagi. Bahwa kemudian hidup juga adalah persoalan bagaimana merawat harapan.

Setahun yang lalu, aku menemukan telaga itu. Ya, tepat pada hari ini, setahun yang lalu, 4 September 2007, telaga itu hadir di rumah kecil yang kami tumpangi di Jalan Nila.

Telaga itu kemudian menjadi warna hidup kami, hidup aku dan istriku, Dee. Aku masih ingat, bagaimana setahun yang lalu, air di telaga kecil itu mengalir dalam kehidupan kami. Sebenarnya Dee harus berjuang ekstra ketat. Butuh berhari ia melewati bukaan satu sampai bukaan sembilan, untuk menunggu telaga kecil itu keluar dari rahimnya.

Aku, seperti suami kebanyakan, meski harap-harap cemas, tetap masih terus mengepulkan asap tembakau dari mulutku. Malam itu aku dan Dee menumpang di rumah Jalan Sukarno-Hatta. Sejak mau terlelap, aku tidak mendapat firasat apapun. Karena firasat itu sebenarnya sudah muncul beberapa hari sebelumnya.

Pukul 02.00 WIB dinihari, Dee membangunkanku, memintaku mengantar ke Klinik Pamedan, berjarak sekitar dua kilometer dari tempat kami. Hujan waktu itu rintik-rintik. Kami keluar rumah, dengan mantel. Wajah Dee sudah teramat pucat. Sebuah kamar di lantai dua kami tempati di Klinik yang jarang sepi itu. Malam itu, seorang ibu muda berteriak sekeras-kerasnya. Nyali aku jadi ciut mendengar. Ia akhirnya melahirkan anak pertamanya.

Dee terus gelisah. Semua orang berusaha menenangkannya. Aku juga gelisah. Aku keluar, melihat fajar di ufuk timur, dan kembali menghidupkan rokok entah batang yang keberapa. Pagi itu sepi, dan aku tahu, hati ku pun tengah ciut.

Dua orang perawat berpakaian putih terus mengecek kondisi Dee. Mereka terpaksa memasang oksigen, alat bantu pernafasan, karena fisik Dee teramat lemah saat itu. Kami berdua sejak awal memang menolak untuk menjalani cesar. Meski orang di sekeliling kami akhirnya sudah memberi lampu hijau agar Dee menjalani Cesar, tetap saja kami menolak. Mungkin kami adalah orangtua yang berpikiran agak kolot. Tapi kami hanya ingin memastikan bahwa bayi di rahim istriku itu harus mendapatkan yang terbaik.

Pukul 08.10 WIB, dokter spesialis keluar dari ruangannya dengan keringat jagung di dahinya. Aku tidak sempat menghitung berapa banyak butiran keringat jagung itu, tapi aku yakin, kalau hanya sepuluh butir, pasti lebih. Ia tersenyum padaku, senyum yang penuh beban kelelahan. Aku pun tersenyum. Aku sudah tahu apa yang terjadi, sebab melalui sela di pintu kamar bersalin, aku terus mengintip apa yang terjadi di ruangan yang dipenuhi oleh sekian banyak alat medis yang aku tak tahu namanya satu persatu itu.

"Alhamdulillah, Pak. Sudah lahir. Empat lilitan," kata dokter, seraya menunjukkan empat jarinya ke arahku. Aku agak tercekat. Luar biasa, mungkin apa yang membuat ia lambat lahir, satu di antaranya karena ada empat lilitan tali pusar kepada janin kecil itu. Istriku dulu dilahirkan dengan dua lilitan. Aku sama sekali tak terlilit. eh, anakku ini malah empat lilitan, luar biasa.

Ia menangis juga tersenyum, tangisan dan senyuman pertamanya untuk dunia yang, kata lagu-lagu dangdut, teramat kejam ini.

Aku melantunkan adzan dan iqomah. Aku bersudjud syukur, tapi tak berani aku menggendongnya. Lama aku pandangi dia. Kata orang waktu lahir, ia mirip sepertiku. Tapi kemudian orang yang sama meralat lagi ucapannya, bahwa setelah berusia beberapa bulan, ia lebih mirip ibunya. Entahlah, aku pun bingung juga.

Esoknya, aku membawa Dee dan bayi kecil itu pulang. Ia tidur, lama sekali. Aku hanya melihatnya dari jauh. Kalau pun bangun, ia akan menangis. Waktu berjalan cepat. ia sudah bisa merangkak. Setiap pagi, ia membangunkanku untuk sholat. Ia membangunkan dengan caranya sendiri, yakni naik ke atas tubuhku dan memukul sesuka hatinya. Kebiasaan buruk bangun siangku pun mulai terkikis.

Aku selalu pulang malam. Kadang ia sudah tertidur. Lalu kucuri waktu untuk pulang sebentar siang hari. Aku pandangi matanya. Ada telaga di sana. Ada telaga berair jernih. Aku temukan kehidupan di sana. Dan juga aku temukan banyak jawaban dari sejuta pertanyaanku akan hidup. Setiap datang ke sana, aku menemukan kesejukan. Maka aku pun datang mengunjungi telaga itu, dan menciduk ketentraman di sana.


Telaga itu aku beri nama: Luqmaan...


Selamat ulang tahun yang pertama, Nak....