Jumat, 31 Oktober 2008

Tembeling, Kampung Tua Penuh Limbah






MENYEBUT nama Tembeling dulu, orang akan teringat pada Ikan Selangat. Tapi kini, laut mereka keruh, berwarna merah. Kalau air surut, yang tampak adalah lumpur kemerah-merahan. Padahal dulu, air begitu jernih dan karang belum tertutup lumpur.

Perjalanan sore yang semakin temaram itu berakhir di sebuah kampung. Orang menyebutnya Kampung Tembeling. Letaknya persis di ujung aspal Jalan Tembeling. Di Singapura, Jalan Tembeling (Tembeling Road) adalah tempat bersejarah, karena di sana, di sebuah rumah di jalan itu, Lee Kuan Yeuw dilahirkan. Tapi di Bintan, Tembeling Road adalah kisah tentang kampung yang sudah tercemar limbah bouksit; juga sekaligus kisah tentang nelayan yang semakin susah hidupnya karena ikan semakin sulit didapat.

Dulu, di tanah di ujung kampung, para ahli geologi menemukan bahwa ada kandungan bouksit yang cukup ekonomis bila dieksplorasi. Dan sebuah perusahaan pertambangan BUMN pun kemudian menggalinya. Setelah bertahun-tahun, akhirnya ekplorasi selesai, dan di penghujung tahun 1980-an, Tembeling ditinggalkan. Tapi ternyata, bekas limbah pencucian masih bertahan di situ. Bahkan sampai tahun 2008, atau sekitar 20 tahun setelah bouksit tidak lagi digali, tetap saja laut di depan Kampung Tembeling masih keruh. Sore itu, ketika air surut, maka dengan mata telanjang, sisa limbah bouksit yang berwarna kemerahan masih tertinggal di lapisan atas lumpur.

“Inilah yang ditinggalkan untuk kami, untuk anak cucu kami,” kata Haji Sanjar (56), tokoh masyarakat setempat. Sanjah masih ingat benar bagaimana 40 tahun lalu, sebelum bouksit di kampung itu digali. Laut di tepi pantai masih jernih, belum tercemar. Dan di bawahnya adalah karang, tempat ikan bermain dan mencari makanannya. Kini karang-karang itu sudah tertutup lumpur berwarna kemerahan.

Dulu nelayan Tembeling adalah pemburu Ikan Selangat. Ikan ini lezat rasanya dan menjadi kegemaran masyarakat sekitar. Ukurannya tak terlalu besar, sekitar 25 sampai 30 ekor, baru beratnya mencapai satu kilogram. Tapi kini, setelah laut tercemar, Selangat pun pergi ke perairan lain. Yang tersisa hanya Ikan Belanak, karena tak peduli pada air yang keruh. Untuk memancing Selangat, tak ada pilihan lain kecuali nelayan harus meninggalkan teluk, yang dikenal dengan nama Teluk Bintan itu.

Dulu dari Selangat dan udang serta kepiting, nelayan melangsungkan hidup. Subuh, ketika hari belum jadi, mereka sudah mendayung sampan menuju Pelantar Dua Tanjungpinang untuk menjual ikannya. Jarak tempuh lewat laut hanya sekitar 2,5 jam. Belum ada jalur darat yang beraspal waktu itu. Adapun jalur jalan tanah, dan itu mesti memutar. Pada periode itu, seluruh kebutuhan masyarakat di datangkan dari Tanjungpinang dengan menggunakan sampan-sampan tradisional.

Tapi nelayan-nelayan Tembeling adalah pelaut-pelaut handal. Nenek moyang mereka yang membuka kampung itu datang Bugis naik sampan. Mereka pergi ke Singapura, sebelum akhirnya memutar lagi ke Bintan naik sampan. Menurut Sanjah, titik pendaratan pertama mereka ada di sebuah teluk kecil di ujung kampung. “Mereka sempat berputar-putar beberapa kali, sebelum menepi,” kata Sanjah, yang juga mantau Ketua MUI Kecamatan Teluk Bintan ini.

Teluk itu dikenal masyarakat dengan nama Tembeling Pantai Cermin. Dinamakan cermin karena ketika sore hari, akibat sorotan sinar matahari, bayangan mereka pun memantul di air, sehingga layaknya cermin. Kini nama Pantai Cermin itu diabadikan menjadi nama lapangan sepak bola yang ada di depan kampung yang dihuni ratusan kepala keluarga itu. Sanjah mengaku sudah tidak tahu ia generasi ke berapa dan kapan kampung itu.

”Tapi mungkin saya sudah generasi ke sepuluh yang tinggal di kampung ini,” lanjut lelaki berjanggut yang juga kini menjabat sebagai Bendahara Badan Amil Zakat (BAZ) Kecamatan Teluk Bintan itu. Tak ada bangunan bersejarah memang yang ada di kampung itu, sebab pusat kerajaan terdekat yang ada adalah di kaki Gunung Bintan, tepatnya di Bintan Bukit Batu. Gunung Bintan sendiri tampak jelas dari belakang kampung. Naik sampan ke sana, hanya perlu waktu sekitar dua jam. Di kaki gunung itu, memang ada sejumlah makam bersejarah.

Itulah Tembeling, kampung yang ada di ujung aspal, yang lautnya kini telah keruh. Kemajuan kini perlahan mulai datang, dan kampung tua itu pun kemudian ditetapkan sebagai ibu kota Kecamatan Teluk Bintan. (trisno aji putra)